| 14 Views
Korupsi Menggurita Dampak Penerapan Sistem Kapitalisme Demokrasi
Oleh : Anne
Muslimah Peduli Umat, Ciparay kab Bandung
Media kembali diramaikan dengan mencuatnya kasus korupsi, dimana kali ini melibatkan bank berpelat merah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC). KPK telah melakukan penggeledahan di dua lokasi kantor pusat, mengamankan berbagai dokumen proyek, buku tabungan, serta bukti elektronik. Semua barang bukti kini tengah dianalisis lebih lanjut oleh tim penyidik. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp 2,1 triliun, dan berlangsung pada periode 2020 hingga 2024. (beritasatu.com, 30-6-2025).
Tiada henti kasus korupsi di negeri ini. Ironisnya, kasus demi kasus korupsi muncul di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran, yang mana kebijakan tersebut jelas telah berdampak pada berkurangnya kualitas dan kuantitas layanan negara atas hak dasar rakyatnya.
Pun, beberapa waktu lalu Prabowo menegaskan komitmennya untuk memerangi korupsi, mengajak masyarakat khususnya pemuda untuk mendukung pemberantasan korupsi, agar Indonesia diwariskan dalam kondisi bersih, kuat, tanpa kemiskinan dan juga kelaparan. Namun, semua hanya isapan jempol, nyatanya kasus korupsi terus saja terjadi. Kasus baru menyusul kasus lama yang proses hukumnya masih belum tuntas dan penuh dengan drama.
Sudah bukan rahasia, semua pihak mengetahui efek korupsi amat sangat buruk. Efek buruk ini tidak mengenai si pelaku korupsi tersebut, melainkan rakyat tidak bersalah jua akan ikut merasakannya. Korupsi makin menggurita, jika kita tetap berada pada sistem ekonomi kapitalisme demokrasi. Dimana, pada sistem saat ini koruptor dilindungi oleh sistem, sehingga korupsi akan sulit diberantas. Korupsi seolah sudah menjadi kebiasaan atau tradisi di lini kekuasaan atau departemen yang notabene sebagai pemangku kebijakan dan penguasa.
Ibarat sebuah mata uang, demokrasi dan korupsi, menjadi dua sisi yang saling menopang. Dikarenakan, dalam demokrasi membutuhkan dana yang begitu besar untuk target kemenangan dari para voters. Alhasil, money politic seakan membudaya, padahal modal untuk menjalankan money politic tersebut, bisa jadi itu adalah hasil korupsi. Ujungnya kepentingan rakyat apalagi kesejahteraan rakyat jadi terabaikan karena hal ini.
Akan tetapi, berbeda jika kita berada dalam sistem Islam. Dalam pandangan Islam, budaya korupsi dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Korupsi adalah lingkaran setan, sehingga sistem Islam akan mencegahnya sedari awal. Sistem pendidikan Islam, akan mencetak individu bertakwa yang selalu merasa diawasi Allah dan memiliki orientasi akhirat, bukan semata-mata materi. Alhasil, akan melahirkan pemimpin yang selektif, profesional, dan amanah.
Negara dengan sistem Islam, akan menerapankan syariat Islam secara menyeluruh. Maka, jika terbukti korupsi pelaku akan mendapat hukuman tegas sesuai syariat, bahkan mungkin bisa sampai hukuman mati jika berdampak besar. Hal itu, dikarenakan Islam memiliki perangkat aturan yang akan mampu meminimalisir munculnya kasus pelanggaran seperti korupsi, serta penyalahgunaan jabatan. Maka, jika peraturan Islam diterapkan secara kaffah, bukan hanya menjadi penebus dosa, akan tetapi akan menjadi efek jera bagi pelaku serta mencegah orang lain untuk melakukan tindakan yang serupa.
Fakta sejarah keemasan Islam menjadi bukti, bahwa masyarakat ideal tanpa korupsi dan penyimpangan betul-betul bisa dicegah, sehingga masyarakat hidup dalam level kesejahteraan tanpa tandingan. Semuanya itu hanya akan terwujud jika umat hidup dalam naungan Daulah Islamiyah. Maka, sudah saatnya umat meninggalkan sistem sekuler dan beralih ke sistem Islam.
Wallahu a'lam bish shawwab.