| 28 Views
Kolusi Korupsi Keniscayaan Dalam Sistem Demokrasi Semakin Mengkhawatirkan
Oleh : Sumarni Ummu Suci
Presiden Prabowo Subianto menyebut ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang. Prabowo mengatakan bahaya itu adalah state capture. (Sumber : www. kumparan.com)
State capture yang dimaksud adalah kolusi antara kapital besar dan pejabat pemerintahan serta elit politik. Hal ini diungkapkan Prabowo saat jadi pembicara di acara St Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, Jum'at (20 /6). (Sumber : www. kumparan.com)
Fakta menunjukkan bahwa kasus korupsi di negeri ini semakin mengkhawatirkan. Salah satunya adalah skandal korupsi CPO CRUD Palm Oil yang melibatkan Wilmar Group. (Sumber : www. tempo.co)
Kejaksaan Agung membongkar kasus korupsi yang melibatkan Wilmar Group dengan total penyitaan dana sebesar Rp 11,8 triliun terkait izin ekspor CPO dan produk turunannya pada tahun 2022. (Sumber : www. tempo.co)
State capture sebagaimana yang diungkapkan Presiden Prabowo, sejatinya merupakan keniscayaan dalam sistem politik demokrasi Kapitalisme sekuler yang diterapkan hari ini.
Dimana kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai amanah untuk mengurus rakyat, melainkan sebagai sarana meraih kepentingan duniawi dengan menghalalkan segala segala cara termasuk kolusi antara penguasa dan pengusaha.
Dalam sistem ini politik transaksional menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan karena proses kontestasi kekuasaan membutuhkan biaya yang sangat besar.Sehingga para calon penguasa bergantung pada sokongan dana dari para pemilik modal.
Ketergantungan ini kemudian melahirkan hubungan timbal balik yang syarat kepentingan dimana para pengusaha akan menuntut balas jasa dalam bentuk kebijakan atau proyek yang menguntungkan mereka. Saat penguasa yang mereka dukung berhasil menduduki jabatan.
Inilah yang pada akhirnya menjadikan arah kebijakan negara lebih tunduk pada kepentingan elit pemilik modal ketimbang berpihak kepada kepentingan rakyat secara luas.
Pemberantasan korupsi dalam sistem Kapitalisme demokrasi pun tampak dilakukan secara setengah hati, karena meskipun lembaga - lembaga antikorupsi dibentuk dan berbagai regulasi dibuat praktek korupsi tetap marak terjadi.
Bahkan korupsi juga melibatkan aktor - aktor politik dan ekonomi kelas atas yang kerap kali lolos dari jerat hukum atau hanya dikenai sanksi ringan yang tidak menimbulkan efek jera.
Alhasil upaya pemberantasan korupsi lebih sebagai formalitas politik ketimbang komitmen serius menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Sebab utama dari suburnya persoalan seperti korupsi dan ketidakadilan adalah karena sistem Kapitalisme telah menjauhkan peran agama dari kehidupan.
Aturan yang berlaku di susun berdasarkan asas manfaat dan kepentingan golongan tertentu bukan berdasarkan nilai benar dan salah menurut syari'at.
Sehingga kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak pada pemilik modal dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Sejatinya sistem yang mampu memberikan solusi tuntas dan shohih atas persoalan korupsi hanyalah sistem Islam.
Islam menjadikan aqidah Islam sebagai asas kehidupan, baik pada level individu maupun negara.
Aqidah ini bukan hanya menjadi landasan keyakinan, tetapi juga menjadi sumber dalam menetapkan seluruh aturan kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum.
Dengan aqidah yang kokoh setiap individu muslim didorong untuk senantiasa terikat dengan hukum syara' dalam setiap perbuatannya. Sehingga ia akan merasa diawasi oleh Allah SWT dalam segala tindakannya.
Hal ini akan membentuk pribadi yang jujur, amanah dan bertanggung jawab serta tidak menjadikan jabatan (kekuasaan) sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri melalui perbuatan curang atau korupsi.
Dalam sistem Islam pemimpin dipilih bukan untuk mencari keuntungan duniawi, melainkan untuk menjalankan amanah dalam mengurus urusan umat sesuai dengan syari'at.
Rasulullah Saw bersabda :
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya". (HR. Bukhori dan Muslim)
Selain itu Islam membentuk masyarakat yang senantiasa melakukan kontrol terhadap penguasa melalui aktivitas muhasabah Lil hukkam.
Sistem Islam yang diterapkan dalam naungan khilafah juga memiliki sistem sanksi (uqubat) yang tegas dan menjerakan.
Dalam Islam perbuatan seperti korupsi, suap dan pengkhianatan terhadap amanah termasuk dosa besar yang tidak hanya merusak kepercayaan publik tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Islam menegaskan larangan keras terhadap suap dan kecurangan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui".
(QS. Al - Al Baqarah : 188)
Rasulullah Saw juga bersabda : "Allah melaknat pemberi suap, penerima suap dan perantara antara keduanya". (HR. Ahmad)
Dengan penerapan sistem sanksi yang adil dan transparan dalam negara yang menjalankan syari'at Islam secara kaffah, para pelaku tindak kejahatan termasuk korupsi akan mendapatkan hukuman yang setimpal tanpa pandang bulu.
Ditambah dengan kontrol sosial dan budaya taqwa yang hidup ditengah masyarakat potensi penyimpangan akan ditekan secara signifikan.
Oleh karena itu dalam negara yang menerapkan syari'at secara menyeluruh, korupsi tidak hanya bisa ditekan tetapi dicegah sejak awal karena sistemnya membentuk manusia bertaqwa dan mekanisme hukumnya menutup celah kejahatan.
Wallahua'lam bissawab.