| 109 Views
Kisruh Rebutan Pulau, Antara OTDA, SDA dan Ancaman Disintegrasi

Oleh: Yeni Ummu Alvin
Aktivis Muslimah
Keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), nomor 300.2.2- 2138 pada April 2025, yang menetapkan Pulau Mangkir gadang, Mangkir ketek, Lipan dan Panjang masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut), telah menuai reaksi keras dari masyarakat Aceh karena merasa keputusan pusat tersebut telah mencederai keistimewaan Aceh dan semangat perdamaian yang dibangun sejak nota kesepahaman (mou) Helsinki 2005. Pemerintah Aceh juga memprotes keputusan tersebut karena menganggap keempat Pulau itu adalah bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.
Menurut Kemendagri, keputusan penetapan tersebut tidak terkait kepada kepentingan politik, tetapi upaya menegaskan batas administratif demi pelayanan publik. Kepemilikan wilayah akan menentukan akses terhadap pembangunan, pendapatan dan pengelolaan sumber daya. Di sisi lain Gubernur Sumut Bobby Nasution menyatakan bahwa penetapan pulau adalah kewenangan pusat, ia juga mengajak semua pihak untuk berdialog dan tidak menyebarkan narasi provokatif seperti tuduhan pencurian wilayah.
Pengalihan 4 pulau dari provinsi Aceh ke provinsi Sumatera Utara ini mengundang perdebatan, apalagi adanya dugaan potensi migas di wilayah tersebut. Ini adalah salah satu persoalan yang muncul ketika pengelolaan pemerintahan daerah menggunakan sistem otonomi daerah (OTDA). Sistem ini akan memberikan kewenangan penuh bagi tiap daerah untuk mengatur urusan pemerintahan termasuk dalam mengatur pendapatan daerah. Otonomi daerah akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-masing daerah. Oleh karena itu wajar jika adanya dugaan kandungan migas atau kekayaan alam lainnya memicu terjadinya perebutan wilayah. OTDA juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki pendapatan asli daerah ( PAD)tinggi, perbedaan tingkat kesejahteraan juga dapat memicu adanya disintegrasi.
Beginilah watak asli dari sistem kapitalisme, tidak peduli dengan disintegrasi wilayah, penguasa dapat dengan mudah merubah dan membuat undang-undang sesuai dengan kepentingan dan kekuatan uang para kapitalis dan pemilik modal, bahkan untuk memenuhi kepentingan para pemilik modal, mereka tidak peduli kalau negeri-negerinya terpecah belah, seperti halnya yang terjadi antara Aceh dan Sumut yang karena permasalahan ini hubungannya menjadi renggang bahkan cenderung bersitegang.
Disintegrasi jelas akan membuat suatu negara menjadi lemah baik secara politik, pemerintahan maupun kedaulatannya.Untuk menghilangkan disintegrasi wilayah, dibutuhkan adanya konsep sentralisasi wilayah, namun untuk menjalankan konsep tersebut dalam sistem kapitalisme, maka dikhawatirkan sentralisasi ini akan melahirkan model pemerintahan yang represif dan otoriter. Hal ini berbeda dalam sistem sentralisasi dalam Islam.
Islam telah menetapkan adanya pengelolaan wilayah oleh negara secara sentralistik. Negara bertanggung jawab untuk mewujudkan kegiatan secara merata pada seluruh wilayah, tidak bergantung pada pendapatan masing-masing wilayah, semua dikelola oleh negara untuk kepentingan semua rakyat untuk seluruh wilayah. Sentralisasi pemerintahan dalam Islam tegak di atas aqidah Islam, sehingga dengan demikian tidak ada peluang bagi penguasa untuk berkhianat ataupun menjadikan manfaat sebagai tujuan dalam menjalani amanah jabatan yang diembannya. Negara akan berlaku adil dalam mengurusi rakyat karena Islam menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah bagi rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Negara akan bertanggung jawab penuh dalam menjaga persatuan dan kesatuan umat agar dapat terhindar dari segala macam bentuk perpecahan maupun disintegrasi wilayah.
Wallahu a'lam bish showwab.