| 5 Views
Ketika Gelar Tak Lagi Menjamin

(merdeka.com/Arie Basuki)
Oleh : Ummu Tazkia
Muslimah Tamansari Bogor
Rani baru saja lulus kuliah tahun ini. Nilainya bagus, skripsinya selesai dengan pujian, tapi sudah tiga bulan ia kirim lamaran ke sana-sini, belum juga ada panggilan kerja. Ia sempat senang ketika mendengar kabar pemerintah membuka program magang berbayar bagi fresh graduate, dengan gaji setara UMP (CNBC Indonesia, 2 Oktober 2025). Setidaknya, pikirnya, bisa dapat pengalaman dan sedikit penghasilan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu — ini bukan pekerjaan tetap. Ini hanya kesempatan sementara.
Kisah Rani bukan satu-satunya. Menurut laporan World Bank East Asia and The Pacific Economic Update Oktober 2025, satu dari tujuh anak muda di Indonesia dan China menganggur (CNN Indonesia, 8 Oktober 2025). Bayangkan, dari tujuh orang lulusan muda, satu tidak punya pekerjaan. Angka ini bukan sekadar data — ini realita yang dirasakan banyak anak muda yang sudah menempuh pendidikan tinggi tapi tetap sulit mencari kerja.
Pemerintah memang berusaha membantu dengan membuka program magang berbayar di berbagai perusahaan. Bahkan, kuotanya ditargetkan mencapai 100 ribu peserta hingga akhir tahun (Kontan, 10 Oktober 2025), dengan lebih dari 1.100 perusahaan yang ikut berpartisipasi (Kontan, 6 Oktober 2025).
Tapi di balik semangat program ini, ada pertanyaan besar: mengapa lulusan muda harus “magang” lagi setelah bertahun-tahun belajar dan membayar biaya kuliah yang mahal?
Inilah potret suram dari politik ekonomi kapitalisme yang sedang berjalan. Di sistem ini, harta dan kekayaan hanya berputar di kalangan orang-orang tertentu. Segelintir perusahaan besar menguasai sumber daya dan lapangan kerja, sementara rakyat kebanyakan hanya jadi tenaga murah atau bahkan menganggur. Akibatnya, aktivitas ekonomi rakyat melambat, daya beli turun, dan ketimpangan ekonomi makin parah.
Padahal, kalau sistem ekonominya adil, seharusnya harta bisa berputar ke seluruh lapisan masyarakat.
Bukan hanya segelintir pemilik modal yang menikmatinya.
Islam punya pandangan yang berbeda tentang ekonomi.
Dalam politik ekonomi Islam, fokusnya bukan pada sekadar pertumbuhan angka, tapi pada distribusi harta agar semua orang bisa hidup layak. Negara punya kewajiban menyediakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki balig agar mampu menafkahi diri dan keluarganya.
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa sumber-sumber kekayaan dibagi menjadi tiga:
1. Harta milik individu, seperti hasil kerja, warisan, atau jual beli.
2. Harta milik umum, seperti sungai, laut, hutan, dan tambang besar.
3. Harta milik negara, yang digunakan untuk kepentingan umat.
Nah, harta milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu atau swasta. Negara harus mengelolanya dan hasilnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Kalau sungai, laut, dan tambang besar dikelola dengan cara ini, banyak lapangan kerja bisa tercipta di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan pertambangan.
Kalau rakyat butuh modal, Islam mengenal kebijakan iqtha’, yaitu pemberian lahan atau modal dari negara bagi warga yang mau bekerja tapi tidak punya sarana. Sedangkan untuk tambang besar yang butuh teknologi tinggi, negara yang wajib menyediakan peralatan dan infrastrukturnya, sementara rakyat bisa bekerja di sektor tersebut.
Dengan begitu, negara memiliki sumber pemasukan yang stabil dari pengelolaan harta milik umum dan negara. Pemasukan inilah yang digunakan untuk menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyat, tanpa bergantung pada pajak tinggi atau utang luar negeri.
Mekanisme seperti ini menjamin setiap warga punya akses terhadap harta milik umum. Jadi, bukan hanya sebagian kecil orang yang kaya, tapi seluruh rakyat ikut merasakan manfaatnya.
Kalau sistem seperti ini diterapkan, Rani dan jutaan fresh graduate lain tidak perlu bersaing berebut program magang berbayar senilai Rp5 juta per bulan di pabrik besar seperti Toyota (Bloomberg Technoz, 9 Oktober 2025). Mereka akan punya banyak pilihan kerja nyata, bukan sekadar magang sementara.
Karena sejatinya, pengangguran bukan disebabkan kurangnya program pemerintah, tapi salahnya sistem yang mengatur harta.
Selama harta hanya berputar di tangan segelintir orang, selama itu pula anak muda harus rela terus “magang” di negeri sendiri — meski sudah punya gelar, kemampuan, dan semangat tinggi untuk bekerja.