| 10 Views

Kerapuhan Ekonomi Global dan Domestik

Ilustrasi. Foto: Freepik

Oleh : Ummu Aisyah
 
Dua raksasa ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat dan Cina telah mengalami tekanan yang cukup tinggi. IMF telah memprediksikan ekonomi AS hanya akan tumbuh berkisar 2,6% pertahun kemudian akan melambat hingga menjadi 1,9% pada tahun ini. Cina hanya tumbuh 5% dan diperkirakan akan merosot menjadi 4,5% pada tahun yang akan datang. Beberapa persoalan fundamental akan menghambat pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut.
 
Berdasarkan survei Pew Research Center yang telah digelar tahun lalu, tiga dari lima masalah teratas yang akan dihadapi AS menurut pandangan masyarakatnya terkait dengan perekonomian.Inflasi tersebut akan menjadi masalah yang paling mendesak,karena terkait dengan kenaikan biaya hidup dan stabilitas ekonomi yang menyeluruh. Urutan yang kedua adalah kemampuan Partai Demokrat dan Republik untuk bekerjasama telah dianggap sebagai masalah yang begitu serius. Mahalnya pelayanan kesehatan telah menduduki posisi yang ketiga. Kemudian kecanduan narkoba berada pada posisi urutan yang keempat. Adapun defisit anggaran federal berada pada peringkat yang kelima. Di mana utang pemerintah federal yang terus meningkat dan hanya mengandalkan penjualan obligasi kepada para investor baik itu berasal dari negara asing maupun swasta yang sangat sensitif terhadap stabilitas ekonomi negara yang berutang
 
Federal Feserve sendiri telah memulai pemotongan suku bunga pertamanya dalam empat tahun akan mengurangi suku bunga pinjaman utama sebesar 0,5% dari poin persentase.Tentu saja keputusan tersebut telah mencerminkan kekhawatiran yang akan berkelanjutan atas pertumbuhan ekonomi yang sedang tertekan oleh suku bunga tinggi yang telah diberlakukan dalam rangka meredam inflasi yang masih di atas 2%. Dan penurunan suku bunga tersebut diharapkan akan merangsang pengeluaran konsumen yang masih mengandalkan pembiayaan kredit.
 
Sementara itu, Cina yang menjadi lokomotif utama pertumbuhan ekonomi global dalam dua dekade terakhir juga mengalami masalah perekonomin yang sangat serius:
Pertama:Perlambatan pertimbuhan ekonomi di Cina telah menjadi perhatian global dalam beberapa tahun terakhir. Dari tingkat pertumbuhan dua digit pada awal tahun 2000 an, perekonomian Cina mengalami penurunan signifikan. Dan dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan PDB(Produk Domestik Bruto) Cina hanya di sekitar 5% dan sangat jauh di bawah rata-rata 9,5% yang dicapai antara tahun 1978 hingga 2018 lalu. Pertumbuhan rendah tersebut bukan hanya mengindikasikan turunnya performa ekonomi negara tersebut, akan tetapi juga menjadi alarm bagi negara- negara yang mengandalkan Cina sebagai pasar ekspor termasuk negara Indonesia.
 
Kedua : Krisis properti di negara Cina telah menjadi ancaman tang sangat serius bagi stabilitas ekonomi negara tersebut. Di sektor real estate yang menyumbang sekitar 25% hingga 30% dari PDB negara Cina telah mengalami guncangan yang sangat berat. Rendahnya permintaan properti telah mendorong pemerintah Cina untuk menerbitkan sekitar 1 triliun yuan ( sekitar$ 140 miliar) utang jangka panjang  dalam upaya mengatasi krisis tersebut. Namun inisiatif tersebut dianggap tidak memadai jika dibandingkan dengan besarnya gagal bayar yang dialami sejumlah perusahaan properti di negara tersebut.

Ketiga:Tingginya utang pemerintah menjadi masalah sangat kronis bagi perekonomian Cina.Pada akhir 2023 lalu total utang pemerintah termasuk utang pemerintah pusat, daerah dan LGFV (Local Government Financing Vehicles) mencapai 116% dari PDB naik 35% sejak tahun 2018.Adapun peningkatan ini akan menambah resiko krisis utang di masa depan. Sebelum krisis properti,sektor tersebut telah menyumbang 40% pendapatan pemerintah daerah, akan tetapi talah mengalami kemerosotan sangat tajam setelah krisis melanda . Dua dari tiga lembaga pemeringkat utama yaitu Moody's dan Fitch yang telah menempatkan negara Cina dalam outlook negatif sejak Desember lalu.Yang mengakibatkan ruang gerak pemerintah dalam kebijakan fiskal seperti pemberian subsidi dan stimulus(dorongan memberi respon) menjadi semakin terbatas dan beresiko krisis keuangan kian meningkat.
 
Keempat:Penuaan populasi Cina merupakan tantangan demografis secara signifikan.Berdasarkan data Biro Statistik Nasional Cina pada akhir tahun 2023 yang lalu sekitar 20% populasi Cina berusia di atas 60 tahun dan meningkat jauh jika dibandingkan pada tahun 2010 yaitu 13,3%. Sementara angka kelahiran turun ke level terendah dalam sejarah modern Cina ,yaitu 6,39 kelahiran perseribu orang di ahir tahun 2023 lalu. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara Indonesia yang mencapai 16 perseribu orang.
 
Perubahan demografis ini merupakan fenomena yang mulai jamak terjadi di negara- negara maju.Hal tersebut akan mengurangi ketrsediaan tenaga kerja produktif dan meningkatkan biaya pensiun serta perawatan kesehatan dikarenakan lebih banyak orang yang tidak berada dalam usia bekerja. Yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan lebih rendah dan pada gilirannya akan melemahkan daya saing perekonomian di negara tersebut di tingkat global.
 
Fundamental Domestik Rapuh
 
Ketidakstabilan ekonomi secara global dapat dipastikan akan berdampak yang sangat serius terhadap perekonomian Indonesia.Tekanan ekonomi yang dihadapi AS dan juga Cina serta adanya konflik di antar kedua negara tersebut secara langsung berdampak signifikan bagi Indonesia. Permintaan ekspor Indonesia diperkirakan akan menurun ,terutama untuk komoditas utama seperti batu bara dan minyak kelapa sawit. Selain itu, krisis properti di Cina dan ketidakstabilan keuangan global yang akan berdampak pada nilai tukar mata uang rupiah dan juga pasar keuangan Indonesia.
 
Di dalam negeri, kondisi ekonomi juga akan semakin tidak solid. Penurunan kelas menengah di Indonesia hampir mencapai 10 juta orang dari 57,33 juta pada tahun 2019 lalu dan menjadi 47,85 di tahun ini. Tentu saja hal tersebut telah mencerminkan berkurangnya daya beli masyarakat di negeri ini.Di mana tingkat kemiskinan juga masih sangat tinggi di Indonesia. Menurut Bank Dunia, dengan standar kemiskinan US$ 3,65 perhari penduduk miskin di Indonesia pada tahun lalu sebanyak 18,25% dan sekitar 50,65 juta orang. Angka ini sebesar dua kali angka pemerintah yang mencapai 9,40% atau sekitar 24 juta orang pada periode yang sama. Jika dimasukkan standar yang lebih tinggi sebesar US$ 6,9 perhari, maka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi 62%. Tentu saja hal tersebut mencerminkan ketimpangan ekonomi yang semakin akut diakibatkan terkonsentrasinya kekayaan di kalangan kelas menengah atas.

Penurunan angka kelas menengah di Indonesia diakibatkan meningkatnya biaya hidup yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Dalam dua tahun terakhir ini harga pangan terutama beras mengalami kenaikan signifikan. Biaya trasportasi juga menjadi naik dkarenakan naiknya harga BBM.Biaya listrik tetap tinggi karena sebagian besar bahan bakunya diimpor. Kenaikkan biaya hidup ini akan berlanjut jika pemerintah memberlakukan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi dan juga naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% termasuk pada cukai minuman berpemanis dan juga rokok.
 
Pengetatan suku bunga Bank Indonesia telah menyebabkan kenaikan suku bunga kredit dan investasi.Akibat dari kondisi tersebut masyarakat yang mengandalkan kredit untuk membiayai komsumsi mereka seperti rumah , kendaraan dan usaha mereka akan ikut tertekan.Yang akhirnya nasib penduduk yang mengakses pinjol jauh lebih tragis lagi. Di sisi lain dengan maraknya PHK,pertumbuhan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup serta penurunan pendapatan akibat turunnya harga komoditas pertanian dan pertambangan yang mengakibatkan turunnya pendapatan masyarakat. Sebagai gambaran tingkat inflasi rata- rata dari Februari 2019-2024sekitar 3% bahkan makanan mencapai 4% sementara pertumbuhan upah hanya sekitar 1,7%. Bahkan banyak pekerja yang upahnya tumbuh hanya sekitar 1% seperti transportasi, jasa pendidikan , penyedia makanan dan minuman. Deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir menjadi indikasi turunnya daya beli masyarakat.
 
 
 
Indikator Semu
 
Di dalam sistem kapitalis liberal, pertumbuhan ekonomi sering kali dijadikan indikator utama untuk mengukur keberhasilan suatu negara dalam bidang ekonomi. Angka pertumbuhan yang tinggi kerap diasumsikan sebagai tanda bahwa perekonomian sedang sehat dan juga kehidupan masyarakatnya sejahtera.
 
Secara teknis,pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan peningkatan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu periode waktu. Adapun salah satu komponen utama dalam perhitungan tersebut adalah  konsumsi rumah tangga yang dijumlahkan secara keseluruhannya tanpa membedakan kontribusi antar individu atau kelompok pendapatan. Artinya, apabila sebagian kecil masyarakat meningkat belanjanya secara signifikan, sementara mayoritas masyarakat mengalami penurunan daya beli maka angka pertumbuhan ekonomi akan tetap terlihat meningkat. Hal inilah yang menyebabkan adanya paradoks “ekonomi secara makro tampak tumbuh”akan tetapi di tingkat mikro kesenjangan dan kemiskinan memburuk.
 
Dengan menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu- satunya tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi adalah suatu hal yang meyesatkan. Dibutuhkan indikator tambahan yang lebih inklusif dan berfokus kepada distribusi kesejahteraan seperti tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan akses terhadap pelayanan dasar. Tanpa mempertimbangkan dimensi tersebut akan beresiko pada kebijakan ekonomi yang hanya akan menguntungkan segelintir elit kapitalis oligarki,sementara mayoritas masyarakat tidak akan merasakan manfaatnya.

Itulah gambaran perekonomian global dan domestik dalam sistem kapitalis sekuler. Selama sistem tersebut masih terus diadopsi oleh negeri- negeri muslim khususnya, tidak akan mungkin merasakan perekonomian yang akan mensejahterakan dan stabil serta mandiri. Oleh karena itu, diperlukan adanya pergeseran paradigma dalam mengevaluasi kembali tentang perekonomian di negeri ini. Bukan hanya sekadar mengejar angka pertumbuhan, akan tetapi bagaimana dapat menciptakan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan di suatu negeri. Begitu juga, harus mengupayakan agar tercipta perekonomian yang mandiri tanpa bergantung pada negara lain terutama negara kafir penjajah.
 
Kembali Kepada Islam
 
Dalam perspektif Islam, yang menjadi penyebab terjadinya berbagai persoalan perekonomian global dan domestik dapat dikembalikan pada faktor yang mendasar yaitu segala sesuatunya haruslah mengikuti sesuai syari'at Islam. Islam juga telah menetapkan kategori dan juga batasan dalam kepemilikan barang-barang ekonomi. Barang milik publik misalnya : air, hutan dan energi tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh swasta. Semua itu harus dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Tanah menjadi milik negara dan didistribusikan secara adil kepada mereka yang membutuhkan dan sanggup dalam mengelolanya.
 
Keuangan negara juga menjadi lebih sehat karena negara tidak akan mengandalkan pendapatan negara dari sumber utang ribawi. Adapun pendapatan negara diperoleh dari pengelolaan harta milik negara yang diperoleh dari gonimah, fa'i, kharajiyah, jiziyah, khumus, 'usyur, harta gulul para pejabat,harta waris yang tak ada ahli waris dan yang lainnya. Begitu juga pengelolaan harta miik umum seperti tambang batubara, migas dan juga emas berpotensi meraup pendapatan besar bagi negara. Apalagi jika dinilai dari tambahnya ditingkatkan dengan mengadopsi teknologi terbaru dan sistem produksi yang efisien.Mekanisme ini berpotensi menghilangkan porsi penerimaan negara dari pajak yang syar'l yang hanya berlaku untuk orang kaya dan temporer yaitu pada saat baitulmal tidak mencukupi membiayai pengeluaran yang wajib.
 
Sistem moneter di dalam Islam bersandar pada mata uang emas (dinar) dan perak (dirham). Dengan demikian stabilitaas nilai mata uang dan pengendalian inflasi lebih terjaga. Sistem keuangan di dalam Islam juga menolak transaksi yang zholim seperti riba dan spekulasi (gharar). Adapun kerja sama dalam bisnis seperti syirkah mudharabah (bagi hasil) dan charity seperti pemberian pinjaman yang tidak berbunga (qardh hasanah), waqaf dan sedekah didorong untuk senantiasa tumbuh.
 
Beberapa aspek dari sistem perekonomian Islam tersebut sangat relevan bagi kehidupan masyarakat dan pemerintah di negeri ini yang mendambakan perbaikan kesejahteraan, kemajuan,kestabilan dan kemandirian ekonomi serta peningkatan daya saing di tingkat global. Apalagi aturan-aturan Islam merupakan kewajiban yang berasal dari Allah SWT Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
 
Wallahu'alam bishshawab.


Share this article via

7 Shares

0 Comment