| 11 Views

Keracunan Berulang, Tepatkah Program MBG sebagai Solusi Permasalahan Gizi Bagi Generasi ?

Oleh : Herta Puspita

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menuai kontroversi. Seperti diawal-awal kemunculannya, program janji kampanye Prabowo kali ini pun kembali menuai polemik di masyarakat. Kali ini karena MBG yang digadang-gadang mampu menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan gizi buruk demi mencapai Indonesia Emas 2045, ternyata malah menjadi sumber permasalahan kesehatan di masyarakat, khususnya di kalangan pelajar.

Keracunan MBG kembali terulang dan jumlah siswa yang menjadi korban pun tidak sedikit jumlahnya. Sebagai contoh, sebanyak 456 siswa di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, mengalami keracunan usai menyantap menu MBG pada Rabu 27/8/2025 (Kompas.com). Selain itu, sebanyak 196 siswa dan guru SD hingga SMP di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, mengalami keracunan massal usai menyantap MBG, pada Selasa 12/8/2025 (CNN Indonesia).

Atas hal tersebut, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan keprihatinannya dan menginstruksikan agar operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dihentikan sementara. Dadan juga menyatakan akan minta kepada 4.000 SPPG baru agar menerapkan SOP secara ketat agar kepercayaan publik tetap terjaga.

Program MBG yang merupakan janji kampanye Presiden Prabowo dilaksanakan untuk mengatasi masalah mal nutrisi dan stunting pada anak-anakn dan ibu hamil. Program ini juga digadang-gadang dapat membantu meningkatkan kualitas SDM dan mendorong pertumbuhan ekonomi local dengan memberdayakan UMKM.

Namun faktanya, keracunan berulang menunjukkan adanya ketidakseriusan dan kelalaian negara dalam menyiapkan SOP dan mengawasi SPPG. Sudah ada 5.226 kasus keracunan akibat MBG ditemukan di puluhan kota dan kabupaten di 16 provinsi (22/9/2025 BBC Indonesia). Niat memberi kecukupan gizi bagi generasi justru malah menimbulkan masalah kesehatan bagi mereka, bahkan bisa mengancam nyawa. Ini tentu menyebabkan kekhawatiran di masyarakat. Sistem pengawasan dan pendistribusian MBG pun dipertanyakan. Terlebih, di awal kemunculan kasus ini, alih-alih meminta maaf kepada masyarakat, malah Menko Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menganggap kasus keracunan bukan disebabkan karena kesalahan pendistribusian atau kualitas makanan yang dikonsumsi, melainkan karena alergi atau ketidakbiasaan penerima MBG dalam mengkonsumsi bahan makanan tertentu (CNN Indonesia).

Jika ditelaah lebih lanjut, inti persoalan yang dialami oleh generasi terkait kurangnya gizi adalah akibat kegagalan negara dalam menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi pencari nafkah, khususnya kepala keluarga, sehingga kebutuhan gizi anggota keluarga yang dinafkahi sulit untuk dipenuhi secara mandiri. Ketidakmampuan negara dalam menjamin ketersediaan bahan pangan dengan harga yang murah, menjadi penyebab terjadi kekurangan gizi di masyarakat. Bahan pangan bergizi, hanya bisa dijangkau oleh sebagian orang yang memiliki kemampuan ekonomi. Bagi rakyat dari golongan di bawah garis kemiskinan, adanya protein di piring makan mereka adalah suatu kemewahan.

Program MBG tidak lebih dari program sosial jangka pendek yang sarat dengan muatan politis dan berparadigma bisnis. MBG adalah salah satu program yang secara instan mampu meraih hati rakyat karena rakyat secara langsung menerima manfaatnya. Pada pelaksanaannya, program MBG hanya menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu saja seperti keberadaan SPPG, pemasok bahan baku, importir nampan makan dan penyedia jasa logistik. Keterlibatan pihak ketiga dalam pelaksanaan program MBG tidak bisa dipungkiri memiliki motif ‘cari untung’ di dalamnya. Tidak menutup kemungkinan anggaran Rp 15.000 per anak harus dipangkas demi mendapatkan keuntungan pihak-pihak terkait. Pada akhirnya negara hanya berperan sebagai regulator, bukan sebagai penjamin pemenuhan gizi rakyatnya. 

Berbeda dengan Sistem Islam, dimana negara/khilafah berfungsi sebagai Raa’in, yang bertanggung jawab penuh terhadap pengurusan rakyat, maka kesejahteraan masyarakat pun menjadi prioritas. Pemenuhan gizi generasi termasuk dalam tanggung jawab nafkah kepala keluarga, sehingga peran negara dalam Sistem Islam adalah memastikan setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan, agar mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarga secara layak. Dan negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka. Negara juga harus memastikan bahwa tidak ada satupun warganya yang kekurangan gizi. Edukasi tentang gizi pun akan diberikan oleh negara agar tidak ada rakyatnya yang mengalami stunting.

Kesejahteraan rakyat akan terwujud karena khilafah dengan Sistem Ekonomi Islam memiliki sumber pemasukan yang besar, yang sesuai dengan ketentuan hukum syara dan mengalokasikannya untuk kebutuhan rakyat. Sehingga rakyat tidak akan hidup dalam penderitaan karena Islam hadir dengan solusi hakiki untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup mereka.

Wallahua’lam bishawab


Share this article via

0 Shares

0 Comment