| 13 Views
Kenaikan Pajak Bukti Kegagalan Sistem Kapitalis
Oleh : Nur Hasanah, S.Kom
Aktivis Dakwah Islam
Aktivis Dakwah Islam
Dilansir dari tirto.id tanggal 15 November 2024, pemerintah kembali akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal 2025, melanjutkan kenaikan sebelumnya dari 10% ke 11%. Kebijakan ini diklaim sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung pembiayaan pembangunan, serta mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Namun, apakah kebijakan ini benar-benar memberikan solusi atau justru menambah beban rakyat yang sudah kesulitan? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN lebih banyak membawa dampak negatif bagi perekonomian rakyat ketimbang manfaat yang dijanjikan.
Dampak Negatif bagi Rakyat Akibat Kenaikan PPN
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa. Dengan naiknya tarif PPN, harga barang dan jasa otomatis ikut meningkat. Hal ini tentu menurunkan daya beli masyarakat, terlebih bagi kalangan menengah ke bawah yang pendapatannya sudah tergerus oleh inflasi dan berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok.
Bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kenaikan tarif PPN juga menjadi pukulan berat. Mereka terpaksa menaikkan harga produk agar tetap bisa menutup biaya produksi, tetapi risiko kehilangan pelanggan menjadi tinggi. Situasi ini menciptakan efek domino yang menghambat pertumbuhan ekonomi, bertolak belakang dengan tujuan pemerintah yang ingin mempercepat pembangunan.
Kondisi ini semakin parah di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu. Pemulihan pasca-pandemi masih terasa lambat, sementara harga bahan bakar, pangan, dan energi terus merangkak naik. Rakyat dihadapkan pada pilihan sulit. Memenuhi kebutuhan hidup dengan harga mahal atau menekan konsumsi demi bertahan hidup.
Sistem Ekonomi Kapitalis Sebagai Akar Masalah
Pemerintah berargumen bahwa kenaikan PPN adalah upaya meningkatkan penerimaan negara untuk mengurangi defisit anggaran. Namun, efektivitas langkah ini patut dipertanyakan. Naiknya PPN justru berpotensi menurunkan konsumsi masyarakat, yang merupakan komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi. Ketika konsumsi menurun, penerimaan negara dari pajak juga akan menurun.
Selain itu, masalah mendasar seperti efisiensi belanja negara dan korupsi sering kali luput dari perhatian. Menurut laporan Transparency International, Indonesia masih berada pada peringkat buruk dalam hal indeks persepsi korupsi. Ini menunjukkan bahwa banyak potensi penerimaan negara yang bocor akibat praktik korupsi. Jadi, menaikkan tarif PPN tanpa memperbaiki tata kelola keuangan negara ibarat menambah beban baru tanpa menyelesaikan masalah yang ada.
Di sisi lain, pemerintah berusaha meyakinkan publik bahwa kenaikan PPN dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, data menunjukkan bahwa utang pemerintah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2024, total utang pemerintah diproyeksikan mencapai angka yang fantastis, mendekati Rp8.000 triliun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kenaikan pajak tidak otomatis mengurangi utang, tetapi justru menambah beban rakyat untuk menutupi defisit anggaran.
Ketergantungan pada utang juga berisiko memengaruhi kedaulatan negara. Banyak kebijakan ekonomi yang akhirnya lebih berpihak kepada pemberi utang, seperti lembaga keuangan internasional, daripada kepada rakyat. Ketika utang jatuh tempo, rakyat yang harus menanggung bebannya melalui kenaikan pajak, penghapusan subsidi, atau privatisasi aset-aset negara.
Masalah kenaikan PPN ini tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan yang lebih mendasar, yaitu sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ini, negara cenderung berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi kepentingan pemilik modal, bukan sebagai pengurus rakyat. Pajak dijadikan sumber pemasukan utama negara karena pengelolaan sumber daya alam sering kali diserahkan kepada swasta atau asing melalui privatisasi.
Sebagai contoh, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari tambang emas, batu bara, hingga minyak dan gas. Namun, sebagian besar hasil kekayaan tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, sementara rakyat hanya mendapatkan remah-remah. Akibatnya, negara tidak memiliki cukup pemasukan untuk membiayai pembangunan dan harus mengandalkan pajak serta utang.
Sistem Ekonomi Islam Solusi yang Adil
Islam menawarkan sistem ekonomi yang jauh berbeda dengan kapitalisme. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Negara tidak hanya bergantung pada pajak sebagai sumber pendapatan utama, tetapi memiliki berbagai sumber pemasukan yang dikelola sesuai syariat, seperti:
- Pengelolaan sumber daya alam. Dalam Islam, sumber daya alam yang bersifat vital, seperti tambang, air, dan energi, adalah milik umum. Negara bertanggung jawab mengelolanya demi kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta atau asing. Dengan mengelola kekayaan alam secara mandiri, negara memiliki sumber pendapatan yang besar tanpa harus membebani rakyat dengan pajak yang tinggi.
- Zakat dan jizyah. Islam menetapkan zakat sebagai salah satu pilar ekonomi. Zakat wajib bagi kaum Muslim yang mampu dan didistribusikan untuk membantu golongan yang membutuhkan. Selain itu, jizyah (pajak khusus non-Muslim) hanya dikenakan kepada warga negara non-Muslim sebagai imbalan atas perlindungan negara.
- Pajak sebagai alternatif terakhir. Pajak dalam Islam (dikenal sebagai dharibah) hanya diberlakukan dalam situasi darurat, misalnya ketika baitul mal kosong dan ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Pajak ini bersifat sementara dan hanya dikenakan kepada mereka yang mampu secara finansial.
- Pengelolaan kekayaan negara. Negara juga memiliki pemasukan dari fai’, ghanimah, kharaj (pajak tanah), dan hasil usaha milik negara. Dengan manajemen keuangan yang baik, negara mampu membiayai kebutuhan rakyat tanpa harus terus-menerus menaikkan pajak atau berutang.
Kunci keberhasilan sistem ekonomi Islam terletak pada kepemimpinan yang amanah dan bertanggung jawab. Pemimpin dalam Islam adalah pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT atas setiap kebijakan yang diambil. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan penerapan syariat Islam secara kafah, negara akan mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata dan melindungi rakyat dari kebijakan yang zalim, seperti kenaikan pajak yang memberatkan.
Islam menawarkan solusi yang adil dan berkeadilan melalui pengelolaan sumber daya alam yang benar. Dengan kembali kepada sistem Islam yang berbasis syariat, rakyat akan mendapatkan keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan yang sejati.
Wallahu a’lambishowab.