| 308 Views

Kantong Jebol karena PPN Naik?

Oleh : Panca Andini
Mompreuner dan Aktivis Peduli Ummat

Mulai 1 Januari 2025, pemerintah akan memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, serta menyesuaikan dengan standar internasional. Kenaikan PPN ini akan berdampak pada harga berbagai barang dan jasa, termasuk beras, daging, buah, jasa pendidikan, dan pelayanan kesehatan premium, serta tagihan listrik golongan tertentu. (tirto.id/21 esember 2024)

Kebijakan perpajakan yang membebani masyarakat atas berbagai barang dan jasa merupakan suatu konsekuensi logis dari sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, di mana pasar bebas dan persaingan menjadi pendorong utama aktivitas ekonomi, pemerintah berperan sebagai regulator yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk aktivitas ekonomi. Salah satu cara pemerintah untuk membiayai berbagai program dan layanan publik adalah melalui penerimaan pajak. Dengan demikian, penarikan pajak menjadi instrumen yang tak terelakkan dalam sistem kapitalisme, berfungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan dan pembiayaan pembangunan.

Konsep dasar kapitalisme, yaitu kebebasan individu dalam berproduksi dan mengkonsumsi, secara inheren menciptakan disparitas ekonomi. Mereka yang memiliki modal dan sumber daya yang lebih besar cenderung memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Untuk mengurangi kesenjangan ini dan memastikan adanya keadilan sosial, pemerintah menerapkan kebijakan perpajakan progresif. Artinya, semakin tinggi penghasilan atau kekayaan seseorang, semakin besar pula proporsi pajak yang harus dibayarkan. Namun demikian, seringkali kebijakan perpajakan ini menjadi subjek perdebatan, terutama terkait dengan tingkat pajak yang dianggap adil dan efisien, serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam negara kapitalis, pajak menjadi tulang punggung keuangan negara untuk mewujudkan pembangunan nasional. Konsep ini didasarkan pada premis bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berkontribusi pada kesejahteraan bersama. Namun, implementasi kebijakan perpajakan dalam praktik seringkali menyimpang dari prinsip keadilan. Peran negara sebagai regulator dan fasilitator dalam sistem kapitalisme seringkali condong memihak kepada kelompok pengusaha. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, seperti pemberian keringanan pajak bagi korporasi besar, justru semakin memperberat beban pajak bagi masyarakat luas. 

Hal ini menimbulkan ketimpangan yang signifikan, di mana segelintir kelompok menikmati keuntungan ekonomi yang besar, sementara mayoritas rakyat harus menanggung beban hidup yang semakin berat akibat beban pajak yang terus meningkat. Akibatnya, kewajiban pajak yang seharusnya menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, justru dirasakan menyengsarakan rakyat banyak.

Dalam sistem ekonomi Islam, negara memiliki peran yang sangat sentral sebagai ra'in atau pengurus rakyat. Konsep ra'in ini menuntut negara untuk aktif dalam mengelola sumber daya dan kekayaan negara demi memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya. Negara tidak hanya berfungsi sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator yang menciptakan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan dalam sistem Islam selalu berorientasi pada tujuan akhir yaitu tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Negara berkewajiban untuk merancang dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu, negara juga bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan damai, sehingga rakyat dapat hidup dengan tenteram dan sejahtera.

Konsep ra'in ini berbeda dengan konsep negara dalam sistem kapitalisme liberal. Jika dalam kapitalisme negara cenderung lebih pasif dan membiarkan pasar mengatur dirinya sendiri, maka dalam sistem Islam negara memiliki peran yang jauh lebih aktif dalam mengatur perekonomian. Prinsip keadilan sosial yang menjadi landasan utama sistem ekonomi Islam mengharuskan negara untuk melakukan intervensi dalam pasar jika diperlukan untuk mencegah terjadinya eksploitasi dan penimbunan kekayaan oleh segelintir kelompok.

Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan atas sumber daya alam (SDA) memiliki karakteristik yang unik. Islam memandang bahwa SDA merupakan anugerah Allah yang harus dikelola dengan baik dan adil. Oleh karena itu, SDA dianggap sebagai milik umum yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara. Negara memiliki kewajiban untuk mengelola SDA secara optimal dan memastikan bahwa hasil pengelolaannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir kelompok. 
Berbagai mekanisme yang diatur dalam syariat Islam, seperti zakat, infak, dan sedekah, menjadi instrumen penting dalam mendistribusikan hasil pengelolaan SDA secara merata kepada masyarakat. Pendapatan negara dari sektor SDA ini kemudian dapat digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, SDA tidak hanya menjadi sumber pendapatan negara, tetapi juga menjadi instrumen penting untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam Islam menjadi opsi terakhir yang diambil oleh negara dalam membiayai kebutuhan publik. Pendapat ini didasarkan pada premis bahwa negara idealnya sudah memiliki sumber pendapatan yang cukup dari berbagai sektor, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam atau pendapatan dari BUMN. Pajak baru dipungut ketika kas negara benar-benar kosong dan terdapat kewajiban mendesak yang harus ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Selain itu, prinsip keadilan juga mengharuskan pajak hanya dipungut dari kelompok masyarakat yang mampu atau kaya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi seharusnya memberikan kontribusi yang lebih besar bagi negara. Dengan demikian, beban pajak tidak membebani kelompok masyarakat miskin yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.


Share this article via

176 Shares

0 Comment