| 47 Views
Job Hugging Melanda Kaum Muda, Dampak Kapitalisme Global

Oleh : Siti Nurhasna Fauziah, S.Ag
Aktivis Dakwah dan Pemerhati Generasi
Istilah job hugging ini sedang tren di masa sekarang, dimana para pekerja muda lebih memilih untuk bertahan dengan perkejaan sekarang. Tidak mudah lagi tergiurkan dnegan tawaran pekerjaan baru ataupun kenaikan gaji. Karena melihat kondisi ekonomi yang tidka baik-baik saja. Job hugging mencerminkan rasa aman yang dicari pekerja di tengah pasar kerja yang melambat, perekrutan yang lesu, dan ketidakpastian politik.
Data di Amerika Serikat (AS) mendukung tren ini. Tingkat pengunduran diri sukarela di AS sejak awal 2025 hanya 2%, level terendah dalam hampir satu dekade. Artinya, karyawan makin enggan melepaskan pekerjaan yang sudah digenggam.
Survei ZipRecruiter juga mencatat, pekerja yang sama sekali tidak yakin akan ketersediaan lowongan kerja meningkat menjadi 38% pada kuartal-II (Q2) 2025. Angka ini naik dari 26% tiga tahun lalu. "Pasar tenaga kerja saat ini stagnan, baik dari sisi perekrutan, PHK, maupun pengunduran diri," ujar Direktur Riset Ekonomi di Indeed Hiring Lab, Laura Ullrinch (CNNnews.id)
Perlambatan ekonomi juga memperburuk situasi, di mana dengan suku bunga tinggi, perusahaan enggan berekspansi dan cenderung menahan perekrutan. Data terbaru menunjukkan rasio lowongan kerja terhadap pengangguran di AS turun dari 2:1 pada Maret 2022 menjadi sekitar 1:1 pada Juni 2025.
Guru Besar UGM menyebut munculnya Fenomena job hugging (kecenderungan untuk tetap bertahan dalam satu pekerjaan yang tengah dijalani, meskipun sudah tidak memiliki minat dan motivasi dalam pekerjaan tersebut) karena Faktor Ketidakpastian Pasar Kerja. Lulusan PT (Perguruan Tinggi) terjebak dalam job hugging demi keamanan finansial dan stabilitas.Lebih baik asal kerja daripada menjadi pengangguran intelektual.
Ini adalah bukti gagal nya sistem kapitalisme, ditambah impitan hidup masyarakat yang semakin menjadi. Sistem kapitalisme telah menciptakan kesenjangan dan kesengsaraan sosial di masyarakat. Meningkatnya arus jasa antarnegara akibat globalisasi saat ini SDM dalam negeri harus bersaing dengan SDM lintas negara, karena banyak lulusan PT pun tidak diterima di perusahan.
Dari sistem kapitalisme juga lah, para swasta dengan bebasnya mengambil alih tanggungjawab negara, untuk mengatur regulasi pekerjaan pada waraganya. Hal ini tidak lepas dari tata kelola negara yang membuka keran kerjasama bilateral maupun multilateral SDA, serta tunduknya negara pada sistem sekarang. Seharusnya yang mengemban tanggungjawab ini adalah sepenuhnya negara, menjami kesejahteraan masyarakat dan kebutuhan dasar.
Tidak hanya itu pada sistem kapitalisme “Praktik ekonomi non riil dan ribawi minim menggerakkan ekonomi dan menyerap tenaga kerja” menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi yang tidak berbasis pada sektor produktif seperti transaksi spekulatif, judi, atau praktik riba—tidak memberikan dampak nyata bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Aktivitas semacam ini cenderung hanya memutar uang di kalangan tertentu tanpa menciptakan barang atau jasa yang dibutuhkan banyak orang. Akibatnya, peluang kerja baru sangat sedikit terbuka karena tidak ada proses produksi, distribusi, atau layanan yang membutuhkan tenaga manusia secara luas. Berbeda dengan ekonomi riil, seperti perdagangan, pertanian, atau industri, yang jelas menghasilkan produk, membuka lapangan kerja, dan menggerakkan roda perekonomian secara lebih sehat dan berkeadilan.
Karena dalam peradaban kapitalisme, meskipun dalam kurikulum PT disiapkan untuk adaptif dengan dunia kerja/ lapangan pekerjaan, tetapi prinsip liberalisasi perdagangan (termasuk jasa) menjadikan negara lepas tangan dalam memastikan warganya dapat bekerja untuk memenuhi kebuthan dasar mereka.
Seharusnya negara menjamin itu semua,negara menjami kebutuhan dasar waragnya, negara yang menyediakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya. Karena lapangan pekerjaan kaitannya sangat erat dengan sistem ekonomi yang berjalan. Jika dalam sistem kapitalisme memberikan peluang pada pemilik modal dan menguasai aset strategis dan mengembangkan tanpa batas dan bebas.
Berbeda dengan sistem ekonomi dalam islam, justru diatur didalamnya terkait aspek kepemilikan secara jelas. Adanya kepimilikan umum yang menjadikan negara dapat membuka lapangan pekerjaan, negara pun akan membuka sektor jasa untuk mewujudkan kemashlahatan rakyatnya. Jika kita berkaca, sistem saat ini sebaliknya, korporasi berorientasi pada untung dan rugi saja.
Dalam sistem ekonomi islam, kebijakan khilafah ialah mneyediakan lapangan kerja dnegan mengelola SDA, indrustrialisasi, ihyaul mawat, memberikan tanah produktif, memberikan bantuan modal, sarana dan keterampilan bagi warga yang membutuhkan. Dalam Islam, pekerjaan didasari dengan ruh dan keimanan, sehingga rakyat dan negara menjalani kewajibannya maisng-masing atas dasar ibadah, serta standarnya adalah hukum syara halal haram. Maka sudah seharusnya kewajiban negara dalam melayani kebutuhan rakyatnya, jangan seperti anak yang kehilangan induknya, mencari sendiri dan bertahan dalam sistem yang sudah terpuruk ini.
Wallahu’alam bii sawwab