| 118 Views
Ironis, Food Estate Tidak Membuat Rakyat Sejahtera

Oleh : Iven Cahayati Putri
Pegiat Literasi
Program Food Estate atau lumbung pangan akan dilanjutkan di masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman, bahwa proyek lumbung pangan yang telah dirintis untuk masa depan negara.
Amran menyebut bahwa proyek Food Estate yang salah satunya ada di Kalimantan Tengah, yang dirancang dengan konsep pengembangan pangan secara terintegrasi itu telah dilengkapi dengan sistem irigasi tanaman padi pada bentang cetak lahan sawah sekitar 100 ribu hektar (Liputan6.com, 23-10-2024).
Food Estate Tetap Gagal
Beberapa titik di negeri ini sudah dibidik menjadi tempat food estate. Meski sebelumnya pemerintah gagal mewujudkannya, namun akan terus melanjutkan dengan cara baru. Sebenarnya program ini adalah program lama, hanya saja kembali diusung oleh pemerintah akibat kekhawatiran akan krisis pangan di masa mendatang.
Layaknya program yang lain, proyek ini pun menuai pro dan kontra. Pihak kontra, salah satunya berasal dari kelompok masyarakat adat asal Merauke, Papua Selatan, yang menyuarakan penolakannya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate di daerah mereka. Pasalnya, berdasarkan keterangan tokoh agama sekaligus pemilik tanah adat, Pastor Pius Manu proyek berlangsung brutal, tanpa ada sosialisasi dan konsultasi guna mendapatkan persetujuan masyarakat adat.
Satu fakta dari sekian banyaknya protes masyarakat di wilayah sekitar PSN Food Estate, menunjukkan bahwa pembukaan lahan besar-besaran demi proyek tersebut nyata merugikan masyarakat. Pasca merusak lingkungan, proyeknya pun berakhir gagal total.
Kegagalannya dapat dilihat sejak masa-masa sebelumnya. Di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan menempatkan Papua sebagai lokasinya, saat itu programnya bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pun gagal dan menyisakan masalah besar untuk masyarakat Papua. Hal serupa terjadi di Kalimantan Tengah setelah program ini tiga tahun berjalan, ribuan hektare lahan ditemukan banyak terbengkalai. Lahan yang dulu dibuka kembali ditumbuhi semak belukar akibat para petani menyerah karena beberapa kali gagal panen.
Pemerintah seharusnya belajar dan menyadari jika food estate tidak akan berhasil, dan jika dipaksakan hanya akan mengulang kegagalan yang sama. Hal tersebut bisa diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, karena pemilihan lahan tidak cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Terbukti di beberapa wilayah, lahan yang digarap tidak efektif meski telah melalui perawatan dan pemupukan. Sebab, lahan yang digunakan pemerintah adalah lahan gambut.
Kemudian, minimnya perhatian dan pendampingan terhadap petani. Minimnya pengetahuan para petani lokal dan kurangnya pendampingan ahli terhadap apa yang seharusnya mereka butuhkan. Beberapa fakta ditemukan, pemerintah hanya membukakan lahan bahkan hanya memberikan lahan, sementara bibit dibiarkan mandiri. Meski program ini mengadakan beberapa sosialisasi, tetap saja tidak menyentuh persoalan petani.
Ketiga, banyaknya para mafia proyek yang dibiarkan begitu saja. Anggaran proyek panyak terpangkas oleh oknum-oknum tertentu, sehingga ketika sampai di masyarakat tinggal sedikit. Hal ini terus membudaya dan menjadi rahasia umum.
Jika hal demikian terus dibiarkan, maka harapan ketahanan pangan tinggal angan semata. Kita harus menyadari bahwa persoalan krisis pangan yang tidak kunjung membaik, bukan sekadar karena kurangnya lahan pertanian, melainkan kesalahan paradigma pengelolaan lahan yang telah ada, termasuk setengah-setengahnya negara dalam memperhatikan para petani. Bagaimana tidak, pupuk mahal, bibit mahal, peralatan pertanian mahal, sehingga produksi pertanian sekadarnya.
Tidak ada cara lain, kecuali mengubah paradigma pengelolaan pertanian dengan cara yang benar. Tentu saya bukan layaknya hari ini yang merujuk pada pengelolaan versi kapitalisme yang menyandarkan segala sesuatunya pada materi, tanpa melihat lebih jauh berkaitan dengan dampak baik-buruknya.
Islam Menujudkan Ketahanan Pangan
Satu-satunya sistem yang mampu menjaga ketahanan pangan adalah sistem Islam. Sistem ini berasal dari Allah SWT untuk mengatur seluruh makhluk hidup. Pemerintah dalam Islam berperan sebagai ra'in (pelayan), mashul (penanggung jawab), dan junnah (pelindung). Maka keberadaan proyek apapun bentuknya dalam Islam, tentunya bertujuan untuk menyejahterakan rakyat.
Terkait dengan proyek lumbung pangan yang sekarang dikenal dengan food estate adalah cara pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan. Sebagaimana pangan adalah kebutuhan primer atau kebutuhan pokok. Maka hal ini menjadi perhatian pemerintah karena menyangkut hajat al udhuwiyah atau kebutuhan jasmani. Maka pemerintah dalam Islam melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama, hadir sebagai penanggung jawab dengan menyediakan lahan yang baik, bibit unggul, pupuk yang baik, dan pendampingan oleh para ahli di bidang pertanian. Selain itu, pemerintah memberikan dukungan moril bahwa pertanian adalah sektor penting bagi ketahanan sebuah negara. Lahan-lahan yang tidak ditanami akan diambil oleh negara untuk dimanfaatkan, salah satunya dengan ditanami oleh siapapun yang mampu menghidupkannya.
Kedua, negara mandiri dalam pembangunan dan pengelolaan, tanpa bergantung kepada swasta atau asing. Negara pula mandiri secara kebijakan harga tanpa bergantung kepada pihak lain, termasuk di dalamnya kebijakan ekspor atau impor. Tentunya negara tidak akan memasok bahan dari luar, ketika di saat yang bersamaan bahan dalam negeri sedang ada.
Berikutnya, pemerintah Islam tidak akan membiarkan ada mafia-mafia proyek. Akan diberlakukan sanksi kepada mereka sesuai kadar perbuatannya. Sehingga tidak ada kecurangan yang terjadi.
Begitu detail pengaturan sistem IsIam menjaga ketahanan pangan. Seharusnya sebagai muslim, kita wajib mengambil aturan Islam untuk menyelesaikan ragam persoalan masyarakat, termasuk pangan. Wallahua'lam bishowwab.