| 67 Views
Ironi Guru Sebagai Pahlawan Dalam sistem Kapitalisme

Oleh : Irmawati
Guru adalah pahlawan. Seluruh dunia telah mengakui itu. Posisi guru dimata masyarakat sangat mulia. Generasi muda masa depannya ada di pundak para guru yang tanpa kenal lelah mentransferkan ilmu pengetahuan dari masa lampau hingga ke masa kini. Karena itu, guru harus dihormati, disegani dan disayangi.
Akan tetapi, saat ini sungguh menyayat hati guru tidak lagi dihargai. Terbukti dengan banyak kasus yang menimpa guru yang honorer atau bukan.
Diantaranya Guru agama di SDN 1 Towea di Desa Lakarama, Kecamatan Towea, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra), dipolisikan orang tua siswa atas dugaan penganiayaan. Awalnya seluruh siswa diarahkan untuk kerja bakti di lingkungan sekolah. Namun korban diduga tidak mengindahkan arahan tersebut, sehingga guru mengayunkan sapu lidi ke arah korban. Kemudian korban reflek menunduk dan sapu lidi mengenai pipi korban anak. Korban melaporkan ke orang tuanya dan langsung melaporkan guru agama itu ke Polsek Towea.
Selain itu, Supriyani, guru honorer di SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), juga ditangkap polisi. Korban dilaporkan atas dugaan kekerasan terhadap siswanya. (Kendari Info,21/10/2024)
Guru memiliki peran penting dalam pembelajaran. Namun di Indonesia justru menunjukkan hal sebaliknya. Guru dihadapkan dengan berbagai persoalan di antaranya banyak guru-guru yang dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Ditambah lagi, gaji yang belum menyejahterakan sehingga merasa bahwa pekerjaannya tidak ada artinya, karena tidak menghasilkan. Padahal profesi guru sangat mulia, tetapi negara tidak menghiraukan nasib guru dengan memberikan upah ala kadarnya dari jerih payah seorang guru.
Di sekolah, guru adalah pengganti orang tua. Tugas dan tanggungjawab guru tidaklah mudah dalam membentuk karakter dan kebiasaan anak agar mampu bertumbuh menjadi generasi cerdas dan memiliki akhlak yang mulia, maka dari itu di butuhkan pendidik atau pengajar yang kapabel.
Mendidik siswa memang merupakan perjalanan yang penuh tantangan. Dedikasi yang dicurahkan tidak sebanding dengan penghargaan yang didapatkan. Inilah realita pahit yang harus diterima oleh guru di negeri ini. Karena guru tidak hanya sekedar penyampai ilmu tetapi juga arsitek moral bagi siswa.
Inilah gambaran hidup guru dalam penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini hanya terfokus pada kepentingan pribadi dan tidak mendengar keluh kesah rakyat. Tidak sejahtera, administrasi pendidikan yang melelahkan dan moral siswa yang berantakan. Padahal guru adalah seorang pendidik yang sangat berjasa dan memiliki jiwa keikhlasan dalam mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Akan tetapi, pengorbanan guru justru tidak dihargai.
Pemberdayaan guru bukan hanya tentang memberikan beban tugas. Melainkan juga memberikan jaminan ekonomi yang layak. Semestinya gaji yang mencerminkan nilai pekerjaan dan kualitas pengajaran menjadi prioritas. Apalagi guru sering dihadapkan pada tugas berat. Sehingga pengakuan akan dedikasi mereka harus tercermin dalam bentuk penghargaan finansial yang adil. Hak-hak mereka harus dijamin dengan tegas adalah langkah awal untuk merevolusi sistem pendidikan yang terkungkung oleh kapitalisme.
Apalagi dengan kurikulum hari ini yang menuntut guru harus kreatif dalam proses belajar mengajarnya. Tidak hanya dituntut kreatif, guru pun harus menanamkan pendidikan karakter pada anak didiknya. Baik dengan pendidikan agama, atau penanaman nilai-nilai moral pada mereka.
Akan tetapi, lagi-lagi penerimaan anak didik dan wali murid tak selalu positif. Tak sedikit kasus hukum menjerat para guru yang bermula dari pelaporan wali murid kepada pihak berwajib, lantaran tak terima anaknya diperlakukan keras oleh gurunya. Bahkan seorang murid pun berani menganiaya gurunya. Ini mencerminkan catatan kelam bagi negeri ini.
Karena itu, sangat jelas bahwa sistem kapitalisme hanya mementingkan materi dan manfaat. Guru honorer menderita dan terhina dalam sistem kapitalisme sekuler. Meski guru merupakan tulang punggung pendidikan nasional yang akan menentukan nasib bangsa. Seharusnya pemerintah menghargai jasa-jasanya. Tetapi malah abai dalam membuat peraturan untuk menyejahterakan para pencetak generasi.
Berbeda dengan Islam. Kedudukan guru dalam Islam sangat mulia. Sehingga dijamin kedudukannya tersebut. Dari guru seseorang dapat mendapatkan ilmu dan menemukan minat dan bakat. Terbukti dalam catatan sejarah bahwa pada masa Umar bin Khattab kehidupan guru sejahtera.
Umar bin Khattab memberi gaji guru lima belas Dinar (1 Dinar = 4.25 gram emas, 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp800rb saja, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp51.000.000).
Demikian pula yang terjadi pada Kekhalifahan Abbasiyah, gaji guru mencapai 1000 dinar per tahun atau setara dengan 4.250 gram emas atau Rp5.559.000.000. Bagi yang mengajarkan Al-Qur'an Khalifah akan memberikan gaji dua kali lipat.
Serta pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, memberikan imbalan bagi ulama yang menulis buku dengan emas seberat timbangan kitabnya. Bukan hanya guru yang sejahtera, melainkan sekolah juga dibangun dengan fasilitas terbaik di eranya. Islam sangat menghargai ilmu, serta orang yang berilmu dan mengajarkannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang artinya:
"Belajarlah kalian ilmu untuk ketenteraman dan ketenangan, serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya." (HR. Ath-Thabrani)
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang guru harus dihormati akan ilmunya. Rasulullah saw. bersabda yang artinya:
"Allah tidak akan mengutusku sebagai orang yang kaku, tetapi mengutusku sebagai seorang pendidik dan mempermudah." (HR. Muslim)
Sungguh guru adalah seseorang yang harus dimuliakan. Semestinya pemerintah peduli dan bertanggung jawab terhadap nasib para guru termasuk guru honorer.
Dalam Islam juga, guru bukan sekadar pengajar. Tetapi juga sebagai pendidik generasi Islam. Corak peradaban Islam ditentukan oleh para guru. Karenanya, para guru haruslah orang-orang yang bertakwa, berakhlak mulia, memiliki ilmu pengetahuan, disiplin, profesional, dan memiliki kemampuan mendidik. Negara bahkan akan menguji para calon guru sebelum mereka dinyatakan layak mengajar.
Selain itu, sistem pendidikan dengan metode dan kurikulum berbasis akidah Islam serta didukung oleh sistem politik ekonomi Islam mampu mewujudkan kesempurnaan hidup. Hanya akan membawa nestapa jika berpaling dari sistem Islam . Tidak bernaung di bawah ideologi yang sahih adalah satu-satunya alasan terpuruknya kondisi dunia Islam.
Sungguh wahai guru, engkaulah pewaris nabi selayak mentari. Sungguh sering tak kami sadari, tanpa cahaya yang kau biaskan, indahnya bulan di malam hari tak akan mampu kami nikmati.
Menjadi guru muslim yang mulia sejatinya merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Ini adalah konsekuensi keimanan kepada Allah Swt.. Seorang guru yang mulia tidak hanya puas saat muridnya mampu memecahkan berbagai soal dalam mata pelajaran. Namun guru akan puas ketika ia mampu mencetak generasi muslim yang saleh, cerdas, dan turut menjadi pejuang Islam. Guru muslim yang mulia juga tak cukup untuk mendidik generasi agar tidak terseret arus sekularisme. Akan tetapi, ia juga akan berupaya untuk mengembalikan kehidupan Islam agar rahmat dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia.
Wallahu A'lam