| 16 Views

Hari Santri: Momen Aktivasi Santri sebagai Agen Perubahan

Oleh: Ummi Alif

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan ucapan selamat Hari Santri Nasional Tahun 1447 Hijriah kepada para santri, santriwati, kiai, nyai, hingga keluarga besar pondok pesantren di seluruh tanah air. Dalam ucapannya, Kepala Negara menekankan bahwa Hari Santri merupakan momentum untuk mengenang jasa para ulama dan santri yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ia juga mengingatkan kembali kontribusi santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, merujuk pada momen Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dipelopori KH Hasyim Asy’ari. Menurut Presiden, semangat jihad yang digelorakan para santri 80 tahun silam tetap relevan hingga hari ini, yaitu menjaga keutuhan bangsa dengan ilmu dan keimanan, (setneg.go.id. 24/10/2025). 

Setiap tanggal 22 Oktober negeri ini merayakan Hari Santri Nasional, spanduk dan baliho bertebaran menampilkan slogan Mengawal Indonesi Merdeka Menuju Peradaban Dunia. Hari Santri mendapat banyak perhatian publik dengan serangkaian seremonial, dari upacara, kirab, baca kitab sampai festival sinema. 

Peringatan Hari Santri seharusnya bukan sekedar seremonial, yang tidak menggambarkan peran santri sebagai sosok yang fakih fiddiin dan agen perubahan, tetapi menjadi momentum kebangkitan ideologis untuk mengembalikan peran santri sebagai pelopor tegaknya syariah Islam kaffah yang selama ini ditinggalkan oleh kaum muslimin dan negeri negeri Islam dalam mengemban kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan cita cita perjuangan para ulama terdahulu. Adapun pujian terhadap peran santri dalam jihad melawan penjajah di masa lalu sudah tidak sejalan lagi dengan berbagai kebijakan dan program menyangkut santri dan pesantren di masa kini. Santri justru dimanfaatkan untuk menjadi agen moderasi beragama dan agen pemberdayaan ekonomi.

Sejarah mencatat Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 lahir dari seruan Hasyim Asy’ari agar umat Islam mempertahankan kemerdekaan dengan darah dan iman. Fatwa ulama ini telah berhasil memobilisasi kekuatan para santri untuk melakukan jihad fi sabilillah melawan pihak Belanda yang berupaya membonceng pada tentara NICA (sekutu) untuk kembali menjajah Indonesia. Hingga selanjutnya, terjadilah puncak perlawanan para santri tersebut pada 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Salah satu karakter yang menonjol dari umat Islam adalah jiwa perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman dan penjajahan. Semuanya terpancar dari pemahaman tentang ajaran Islam, khususnya ajaran jihad fi sabilillah. Spirit inilah yang terus terpelihara hingga sepanjang era kolonialisme bangsa-bangsa Eropa.

Hal yang perlu disadari oleh para santri saat ini bahwasanya Indonesia dan negeri negeri muslim belum benar benar terbebas dari penjajahan. Meskipun secara fisik dan militer mereka tidak menampakan penjajahan namun cengkraman mereka di bidang politik, ekonomi, social, hokum, pendidikan , budaya dan berbagai sendi kehidupan telah merusak sendi sendi kehidupan kaum muslimin. Paham Nasionalisme yang mereka tancapkan sudah melemahkan kekuatan kaum muslimin, sehingga tidak bisa lagi menolong sesamanya yang kesulitan. Sistem Kapitalisme yang mereka emban telah menguras sumber daya alam  negeri negeri kaum muslimin, tercatat sekitar 25,3 juta penduduk miskin, sedang utang pemerintah menembus Rp 8.338 triliun di tahun 2025. 

Belum lagi kerusakan moral yang diakibatkan dari faham liberalisme telah menghancurkan masa depan generasi kaum muslimin. Sekulerisme yang menjauhkan agama dari kehidupan telah menyuburkan berbagai kemaksitan, korupsi dan kerusakan akhlak akibat hokum Allah tidak dijadikan dasar kehidupan. Syariah dibatasi menjadi urusan pribadi sehingga umat kehilangan arah dan marwah kehidupan.

Untuk keluar dari cengkraman penjajahan gaya baru tidak jauh berbeda dengan perjuangan para ulama masa lalu yang teguh memegang asas Islam dalam mengusir penjajah dari tanah air. Santri harus sadar bahwasanya jalan perubahan tidak cukup dengan mengisi lembaga sekuler, apalagi sekedar pelengkap dalam demokrasi yang cacat sejat lahir. Fakta demokrasi menjalankan hokum buatan manusia dan mengesampingkan hokum yang berasal dari Allah SWT. Sistem ini terbukti gagal dalam menegakkan keadilan dan mensejahterakan rakyat.

Arah perubahan yang hakiki dalam Islam adalah transformasi total menuju kehidupan yang sepenuhnya berdasarkan syariat Islam ( Islam Kaffah ), yang melibatkan perubahan fundamental pada individu, masyarakat dan negara. Perubahan ini bertujuan untuk mewujudkan peradaban yang berlandaskan nilai nilai kebenaran dan kemuliaan Allah, serta menyiapkan kehidupan akhirat, bukan hanya parsial atau tambal sulam.
 
Khilafah bukan ancaman bagi bangsa, melainkan pelindung hak hak rakyat. Dalam sejarah lembega ini menjaga stabilitas ekonomi, melindungi kaum kafir serta menegakkan keadilan lintas negeri selama 13 abad. Baitul Mal menjadi instrument distribusi kekayaan bukan sebagai alat oligarki menguasai kekayaan hak umat. Rakyat tidak di tindas dengan pajak, jaminan pendidikan, kesehatan dan keamanan dipenuh oleh negara. Semua bisa terwujud bila system Islam diterapkan secara total bukan hanya sekedar tambal sulam.

Hari santri seharusnya menjadi momentum kebangkitan ideologis untuk kembali kepada cita luhur perjuangan Islam. Santri mesti berani melanjutkan estafet jihad intelektual para ulama terdahulu yang menjadikan syariah Islam sebagai dasar perjuangan bukan sekedar symbol. Para santri harus siap berdiri di garda terdepan melawan penjajahan dan kezaliman yang sedang dihadapi negara saat ini.

Inilah saatnya santri menjadi pelopor kebangkitan Islam Kaffah bukan dengan jalan kompromi terhadap sekulerisme melainkan dengan dakwah yang mengarah kepada tegaknya syariah dan khilafah, sebab hanya dengan system Islam yang kaffah negeri ini akan benar benar menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Wallahu ‘alam bish shawwab.


Share this article via

4 Shares

0 Comment