| 4 Views

Bara Sudan di Sulut Oleh Kekuatan Global tanpa Segan

AFP/Getty Images

Oleh: Kursiyah Azis 

Aktivis Muslimah

Konflik yang terus membara di Sudan bukanlah sekadar benturan dua jenderal atau perselisihan internal yang “tiba-tiba” meledak. Ia adalah potret telanjang dari perebutan pengaruh global atas negeri Muslim yang dianugerahi kekayaan alam luar biasa, namun dibiarkan rapuh, tercerai, dan mudah diintervensi. Sudan adalah contoh paling gamblang bagaimana sistem internasional kapitalis menempatkan negeri-negeri Muslim sebagai “wilayah sumber daya”, bukan entitas berdaulat.

Melansir dari Republika.id (31/10/2025) sebanyak 1.500 warga Sudan meninggal dalam waktu tiga hari menyusul penguaasaan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di el-Fasher. Angka ini menandai eskalasi mengerikan perang saudara di Sudan.

Sebagaimana Aljazirah juga melaporkan bahwa, RSF yang berperang melawan militer Sudan untuk menguasai negara tersebut telah menewaskan sedikitnya 1.500 orang selama tiga hari terakhir. ketika warga sipil mencoba melarikan diri dari kota yang terkepung, Jaringan Dokter Sudan mengatakan pada hari Rabu. Kelompok tersebut, yang memantau perang saudara di negara tersebut, menggambarkan situasi tersebut sebagai “genosida yang nyata”.

Kekayaan Melimpah Menjadi Sasaran Empuk Para Pemburu Kepentingan

Sebagaimana diketahui bahwa Sudan memiliki banyak kekayaan alam. Baik berupa emas, minyak, gas, uranium, lahan pertanian subur, hingga cadangan air Nil yang strategis. Secara geopolitik, ia adalah gerbang Afrika Timur dan titik penting jalur perdagangan Laut Merah. Sehingga tidak mengherankan bila Barat dan kekuatan global lain menganggap Sudan sebagai “poin strategis” yang harus diamankan pengaruhnya.

Namun di bawah sistem kapitalisme global, kekayaan alam bukan berarti kesejahteraan rakyat. Justru sebaliknya. Setiap inci kekayaan menjadi magnet sekaligus sasaran empuk bagi intervensi politik, dukungan militer terselubung, hingga proyek pecah-belah yang dirancang agar negeri target tidak punya stabilitas yang cukup untuk mengelola kekayaannya sendiri.

Narasi umum yang disebarkan media. Arus utama sering menyederhanakan konflik Sudan sebagai perseteruan antara SAF (tentara nasional) dan RSF (pasukan paramiliter). Padahal, konfigurasi sebenarnya jauh lebih kompleks dan berdimensi global. Ia merupakan sebuah konflik yang di sulut oleh kepentingan asing yang sengaja di narasikan seolah murni merupakan konflik interna sematal.

Ketika terjadi perebutan tambang emas di Darfur, konsesi minyak, jalur logistik, dan kontrak asing menjadi akar yang terus dipelihara hingga hari ini. Drama ini sengaja dibuat oleh mereka yang memiliki kepentingan dengan cara memberikan dukungan kekuatan tertentu pada satu kelompok, sementara kelompok yang lain mendapatkan simpati dan senjata dari aktor global lainnya. Kondisi demikian menjadikan Sudan  sebagai arena perebutan pengaruh antara kekuatan Barat, Rusia, bahkan negara-negara regional yang memiliki kepentingan ekonomi masing-masing.

Pada akhirnya konflik terus menyala, dan rakyat menjadi korban abadi. Rumah hancur, rumah sakit runtuh, anak-anak kehilangan masa depan, dan jutaan orang terjebak kelaparan dan pengungsian. Lagi-lagi inilah wajah asli kapitalisme global yang senantiasa menciptakan konflik yang  tidak ada habisnya.

Sudan di kepung Neo-Kolonialisme dalam Wajah Baru

Jika kolonialisme dulu hadir dengan serdadu dan kapal perang, tapi kini ia hadir dengan wajah barunya yakni  lewat kontrak investasi, bantuan militer, “mediasi” internasional, serta rezim politik yang dipelihara untuk tunduk pada kepentingan asing.

Sebagaimana diketahui bahwa Barat membutuhkan emas Sudan untuk menguatkan cadangan ekonominya. Sementara itu Rusia juga tertarik pada akses jalur Laut Merah dan uranium. Negara-negara regional ingin mengamankan ruang pengaruh dan sumber daya alam yang dimiliki Sudan. Mereka semua berlomba, bahkan memperebutkannya hingga tega mengabaikan harkat dan nyawa rakyat Sudan.

Dalam skema neo-kolonialisme modern, konflik justru menjadi alat untuk memastikan negeri kaya sumber daya tetap lemah. Negara yang stabil akan menegosiasikan harga sedangkan negara yang rapuh akan menerima syarat apa pun termasuk kehilangan hak hidup sekalipun.

Demikianlah ketika sistem yang mengatur dunia saat ini merupakan sistem buatan manusia yang melahirkan paradigma sekuler-kapitalistik. Dalam paradigma tersebut tidak ada kesatuan politik yang melindungi umat Islam, tidak ada satu kepemimpinan yang menyatukan suara negeri-negeri Muslim, tidak ada kemandirian ekonomi kolektif, dan bahkan tidak ada perisai yang menghalangi intervensi asing.

Sudan sesungguhnya tidak sendiri. Nasib yang sama dialami Libya, Irak, Suriah, Yaman, hingga Afghanistan. Negeri-negeri kaya sumber daya tersebut tidak mampu menyejahterakan rakyatnya meskipun memiliki banyak kekayaan alam, yang terjadi justru menjadi medan eksperimen kepentingan asing karena tidak ada entitas yang benar-benar menjaga kedaulatan mereka.

Sudan Membutuhkan Solusi Sistemik, Bukan Sekadar Gencatan Senjata

Gencatan senjata hanyalah “jeda konflik”, bukan solusi akar. Selama paradigma yang mengatur negeri-negeri Muslim tetap pecah, selama mereka tunduk pada sistem kapitalisme global, dan selama para pemimpinnya berada dalam orbit kepentingan asing, Sudan akan terus menjadi bara.

Oleh karena itu maka solusi yang dibutuhkan Sudan bukan sekadar perdamaian teknis, akan tetapi perubahan fundamental yang mencakup beberapa hal; diantaranya adalah kehadiran negara yang berdaulat penuh dan bebas dari subordinasi asing, selain itu sistem politik yang diterapkan harus menolak dikte global dan mengelola SDA untuk kepentingan rakyat, bukan korporasi asing. Di samping itu persatuan negeri-negeri Muslim juga harus diwujudkan agar tidak menjadi mangsa satu per satu bagi para penjajah
Dan yang terakhir paradigma pemerintahan harus yang menjadikan amanah, syariah, dan kemaslahatan rakyat sebagai dasar, bukan keuntungan ekonomi global.

Inilah yang tidak dapat diberikan oleh sistem kapitalis, demokrasi sekuler, atau rezim boneka. Sejarah telah banyak membuktikan bahwa hanya sistem politik Islam yang pernah mengelola sumber daya secara adil, melindungi wilayah-wilayah Muslim, dan menghalangi kolonisasi selama berabad-abad.

Bara Sudan adalah Salah satu Cermin Kegagalan Sistem Dunia

Sudan membara bukan karena rakyatnya gagal berdamai, tetapi karena sistem global membiarkan bahkan membutuhkan Sudan tetap terbakar. Kekayaan alam negeri Muslim ini menjadi rebutan kekuatan global, sementara rakyatnya menanggung luka yang tak kunjung sembuh.

Demikianlah yang akan terjadi ketika negeri-negeri Muslim tidak kembali pada identitas politiknya yang sejati dan tidak memiliki kekuatan kolektif untuk menjaga kekayaannya, maka bara Sudan akan terus menyala, dan negeri Muslim lainnya menunggu giliran.

Olehnya itu maka, sudah saatnya kita membuang sistem yang merusak tersebut dan menggantinya dengan sistem Islam yang memiliki identitas politik sejati yang mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya. Sudan adalah satu dari sekian banyak negri muslim yang kini terus menjadi korban sistem rusak yang diterapkan hari ini. Sudah saatnya kita mengakhiri semua kerusakan tersebut dengan kembali pada sistem Islam. Wallahu alam.


Share this article via

0 Shares

0 Comment