| 4 Views
Dampak Komersialisasi Kuota Haji terhadap Keadilan Jemaah
(Dok. Humas Kemenag)
Oleh : Karnili
Aktivis Dakwah Masyarakat
Dilansir dari Kompas.com, 12/11/2025, Baru-baru ini ramai berita mengenai Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang mendapatkan tambahan kuota haji untuk keberangkatan tahun 2026, yang sebelumnya hanya 2.100 orang menjadi 3.500 orang. Kenaikan ini sekaligus menurunkan masa tunggu jamaah dari 30 tahun menjadi 26,4 tahun. Itu artinya, Kabupaten Bekasi memperoleh tambahan kuota haji sebanyak 1.400 orang. Hal ini disampaikan oleh Kepala Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umroh (SPHU) Kementerian Agama Kabupaten Bekasi, Mulyono Hilman, setelah menerima pemberitahuan resmi dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jawa Barat.
Menurut Hilman, penambahan kuota ini berdasarkan penghitungan regulasi baru dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2025 tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, yang menyesuaikan kuota di tiap daerah berdasarkan daftar tunggu, meskipun data rinci jamaah dari Kanwil Jawa Barat masih menunggu.
Saat ini, Kementerian Haji dan Umrah tidak lagi mendistribusikan kuota berdasarkan kabupaten atau kota, melainkan berdasarkan nomor urut Provinsi. Kebijakan baru ini diharapkan bisa membuat sistem keberangkatan lebih adil dan proporsional bagi seluruh jamaah di Jawa Barat. Boy Hari Novian sebagai Ketua Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kanwil Kemenag Jawa Barat, menyatakan bahwa sistem baru ini memprioritaskan jamaah yang memiliki nomor porsi lebih kecil, tanpa melihat asal daerahnya.
Lalu Siapa saja yang kena dampak dari perubahan aturan ini? Dan siapa sebenarnya pihak yang diuntungkan?
Saat ini kita tahu bahwa antrean haji panjangnya semakin tak masuk akal.
Tentu saja ketika ada kenaikan kuota di wilayah tertentu dan kelangkaan kuota Nasional akan menciptakan peluang bagi travel premium, jalur cepat berbayar, serta para aktor politik-birokratis yang mampu mempengaruhi alokasi kuota haji.
Namun di sisi lain, akan ada kelompok yang rentan dirugikan seperti calon jamaah yang berpenghasilan menengah ke bawah, kemudian daerah yang kuotanya dipangkas, serta calon jamaah lansia yang berisiko yang harus terdesak oleh data yang tidak sinkron, di mana harus menunggu daftar antrean yang panjang dan juga akses semakin mahal.
Tidak bisa dipungkiri, perubahan kebijakan ini akan menimbulkan efek berbeda di setiap wilayah. Kabupaten Bekasi bisa saja termasuk daerah yang diuntungkan karena banyak jamaah dengan nomor urut kecil yang belum sempat berangkat. Namun sebaliknya, daerah dengan antrean pendek seperti Kabupaten Cianjur dan Sukabumi justru mengalami pengurangan kuota karena sebagian besar jamaahnya sudah berangkat lebih dulu.
Sebenarnya akar masalah dari problematika semua ini sangat sistematik yaitu transparansi formula alokasi lemah, satu data yang belum terbentuk, dan komersialisasi haji dibiarkan tumbuh karena kelangkaan kuota sehingga menghasilkan kesenjangan akses antar daerah dan kisruh yang terus berulang. Belum lagi penerapan sistem ekonomi kapitalis membuat para pelaku modal menguasai sektor-sektor kebutuhan masyarakat yang mengakibatkan terciptanya jurang kesenjangan sosial.
Islam diturunkan sebagai pedoman hidup yang harus diemban oleh setiap individu, masyarakat dan Negara. Dalam Islam, Haji dikembalikan sebagai pelayanan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala bukan pelayanan komersial. Sudah Semestinya menjadi kewajiban Negara (Khilafah) yang mendanai dan mengurus seluruh kebutuhan jamaah haji melalui Baitul Mal (Kas Negara) tanpa paket reguler dan khusus, tanpa logika bisnis, dan tanpa mencari keuntungan.
Kemudian adanya penghapusan kuota antar daerah atau bahkan antar Negara melalui satu otoritas tunggal. Ketika umat disatukan dalam satu kepemimpinan, persaingan kuota akan hilang dan distribusi jamaah diatur secara syar'i dan terpusat. Ditambah pembangunan infrastruktur manasik yang masif. Negara akan memperluas fasilitas dari Mina ke Arafah hingga sampai Masjidil Haram dengan menggunakan dana publik sehingga kapasitasnya mampu menampung umat tanpa ada batasan administratif maupun ekonomi.
Wallahu a'lam bish shawab