| 39 Views
Harga Pangan Naik, Rakyat Menjerit di Bulan Suci

Oleh : Ummu Balqis
Aktifis : Muslimah
Kenaikan harga-harga makanan pokok menjelang Ramadhan kembali terulang. Kenaikan beberapa komoditas sembako seperti cabai, bawang merah, bawang putih, beras, minyak, telur, ayam, dan gula konsumsi, naik tajam melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.
Dikutip dari RUBICNEWS.COM (07/02/2025), BPS (Badan Pusat Statistik) memeringatkan masyarakat terkait potensi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan di bulan Ramadhan 2025. Sejumlah pangan diprediksi akan mengalami lonjakan harga akibat meningkatnya permintaan selama bulan Ramadhan dan menjelang hari raya idul fitri.
Kondisi ini jelas tidak menggembirakan banyak masyarakat yang sangat sensitif terhadap kenaikan harga sembako. Maklum, kenaikan harga-harga tersebut tidak didukung oleh peningkatan dari sisi pendapatan mereka.
Dari sisi lain, stok yang menipis juga mendorong produsen dan pedagang menaikkan harga. Masyarakat juga ada kecenderungan meningkatkan konsumsinya di bulan Suci sehingga secara umum harga-harga barang cenderung meningkat.
Kenaikan harga menjelang Ramadhan jelas sangat berdampak pada peningkatan biaya hidup kelas menengah bawah sehingga kemampuan mereka memenuhi kebutuhan primer mereka berkurang. Solusi yang diberikan pemerintah juga tidak dapat mengatasi problem yang telah menjadi adat selama Ramadhan. Jumlah permintaan yang meningkat menjadi alasan klise peningkatan harga bahan makanan pokok jelang bulan puasa.
Padahal ada problem lain yang memengaruhi naiknya harga di tengah daya beli masyarakat yang semakin menurun seperti pendistribusian yang tidak merata, adanya masalah dalam rantai pasok dengan adanya mafia impor, penimbunan, monopoli, dan lain-lainnya.
Kenaikan harga pangan seolah sudah menjadi tradisi setiap menjelang Ramadan dan terus berulang setiap tahunnya. Penyebab lonjakan harga ini antara lain penimbunan barang, mekanisme permintaan dan penawaran, serta gangguan dalam rantai pasok.
Penimbunan barang sering terjadi karena adanya permainan pelaku pasar. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dalam negara yang menganut sistem kapitalis sekuler, sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Alhasil, sistem ini melahirkan individu yang hanya mengejar manfaat materi tanpa memikirkan kesulitan orang lain. Mereka memandang masyarakat sebagai pasar potensial untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli dampak buruk yang ditimbulkan.
Tak hanya itu, sistem ini juga menjadikan negara sekadar regulator. Sejatinya, negara berperan sebagai pelayan rakyat yang harus memenuhi kebutuhan serta mengedepankan kepentingan masyarakat. Namun, negara justru lalai dalam menjalankan tugasnya. Seharusnya, negara melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi lonjakan harga, menjaga stabilitas, serta memastikan pasokan pangan cukup agar fenomena ini tidak terus berulang setiap tahun. Dengan demikian, masyarakat bisa fokus beribadah selama bulan suci Ramadan.
Di samping itu, bulan Ramadan memang merupakan momen rawan inflasi. Namun, kesyahduan Ramadan seharusnya tidak terganggu oleh persoalan duniawi yang menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pengelola urusan publik. Pasokan stok serta fluktuasi harga komoditas perlu diatur melalui regulasi yang sistematis, termasuk penjagaan ketersediaan barang dan stabilitas harga. Dengan demikian, keagungan Ramadan tetap terjaga tanpa tercemar oleh permasalahan ekonomi yang seharusnya dapat diantisipasi.
Namun, semua ini tampak mustahil selama sistem yang diterapkan adalah kapitalisme. Tak heran jika dari tahun ke tahun, kondisi tetap menyedihkan. Seharusnya, Ramadan menjadi momen khusyuk bagi kaum Muslim untuk beribadah, tetapi mereka justru harus mengalihkan perhatian pada gejolak kenaikan harga pangan.
Islam sebagai Solusi
Ramadan adalah momentum untuk berlomba-lomba dalam meraih pahala. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Di masa Rasulullah, Ramadan adalah bulan yang penuh dengan suasana ibadah, perjuangan, dan kedekatan dengan Allah. Saat itu, Allah melipatgandakan pahala bagi kaum Muslim, baik dalam ibadah mahdhah seperti membaca Al-Qur’an, salat tarawih, sedekah, zikir, maupun dakwah.
Berbeda dengan kondisi saat ini, sebelum runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah pada 1924, kaum Muslim menjalani ibadah di bawah naungan Khilafah yang dipimpin oleh khalifah yang memiliki komitmen kuat untuk menjaga Islam dan melindungi umatnya.
Dalam Islam, negara memiliki peran penting dalam mengurus umat dan melayani rakyat. Negara wajib menyelesaikan berbagai problematika masyarakat, termasuk kenaikan harga pangan menjelang Ramadan. Negara Islam akan memastikan ketersediaan pangan serta menstabilkan harga agar tetap terjangkau bagi masyarakat.
Untuk mendukung produksi pangan, negara akan memberikan berbagai bantuan bagi para petani, seperti lahan, bibit, pupuk, serta obat pembasmi hama. Di sektor peternakan, negara juga menyediakan bibit, pakan, vaksin, dan vitamin bagi peternak.
Negara Islam bahkan tak segan memberikan subsidi dan hibah kepada petani, peternak, serta pengusaha guna memastikan produksi pangan berjalan optimal. Hal ini bisa dilakukan karena negara Islam memiliki Baitul Mal sebagai sumber pemasukan besar, termasuk dari sektor tambang dan sumber daya alam milik umum.
Dalam aspek distribusi, negara Islam akan melakukan pengawasan ketat terhadap harga komoditas untuk mencegah lonjakan harga yang tidak wajar. Negara juga akan mengumpulkan data produksi, konsumsi, dan harga komoditas, serta mengembangkan strategi guna mengantisipasi kelangkaan atau kenaikan harga yang berlebihan.
Selain itu, Islam tidak membiarkan praktik yang merusak keseimbangan pasar, seperti penimbunan pangan oleh individu atau korporasi, permainan harga, serta mafia impor. Dengan demikian, masyarakat bisa memperoleh pangan dengan harga yang wajar dan stabil.
Negara Islam juga akan bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kondisi pemerintahan saat ini, di mana kaum Muslim harus menjalani Ramadan di bawah sistem sekuler yang justru memperburuk keadaan umat dengan hukum-hukum yang tidak sesuai syariat.
Saat ini para pemimpin hanya mementingkan kepentingan pribadi dan membiarkan masyarakat menghadapi kenaikan harga pangan, sehingga mengganggu kekhusyukan Ramadan. Padahal, bulan ini adalah waktu terbaik untuk meraih pahala dibanding bulan lainnya. Belum lagi, berbagai masalah sosial, politik, ekonomi, utang luar negeri, serta meningkatnya kemaksiatan semakin memperparah kondisi masyarakat hal itu tentu saja tak bisa terus untuk kita diamkan sudah saatnya kaum Muslim kembali pada penerapan syari’at Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bishshawab.