| 23 Views

Generasi Z dan Peran Pemuda dalam Perubahan Hakiki

Oleh: Permadina Kanah A., M.Si

Gelombang demonstrasi, aksi protes, hingga berbagai aspirasi yang gencar disuarakan di media sosial belakangan ini menggambarkan cara Generasi Z (Gen Z) menghadapi tekanan. Psikolog Anak dan Remaja, Anastasia Satriyo, M.Psi., menyebut bahwa alih-alih menyalurkan keresahan dengan tindakan merusak, Gen Z lebih memilih berbicara lewat gaya khas mereka, seperti memanfaatkan media sosial, membuat meme, tampilan visual yang estetik hingga poster kreatif. Mereka mampu menyuarakan pendapat tanpa harus melakukan Tindakan destruktif pada fasilitas umum.

Sementara itu, Psikolog Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim, menyoroti meningkatnya keterlibatan anak di bawah umur dalam aksi demonstrasi.

Ia menilai, meskipun unjuk rasa bisa menjadi sarana belajar menyampaikan opini, remaja masih rawan terprovokasi karena kemampuan mengendalikan diri mereka belum sepenuhnya matang. Benarkah, gen Z memiliki karakteristik unik dibandingkan generasi lainnya? Apa yang melatarbelakangi pembagian dan penamaan setiap generasi dengan label boomers, gen X, Milenial, Gen Z hingga Gen Alpha?

Klasifikasi Generasi : Sarat Kepentingan Barat

Istilah Baby Boomers, Gen X, Milenial, dan Gen Z sangat populer di Amerika Serikat. Sejak awal, klasifikasi ini sarat dengan kepentingan ekonomi dan pemasaran.Baby Boomers lahir dari fenomena pasca-Perang Dunia II, saat angka kelahiran meningkat pesat. Perusahaan dan lembaga pemasaran kemudian memperluas pembagian ini untuk memahami pola konsumsi tiap kelompok usia agar strategi iklan lebih tepat sasaran.

Riset dalam Cohort Segmentation: An Exploration of Its Validity (Journal of Business Research, 2003) menyebut bahwa klasifikasi generasi lebih banyak dipakai untuk segmentasi pasar ketimbang analisis ilmiah.

Misalnya, Baby Boomers cenderung ditargetkan dengan iklan rumah atau pensiun, Gen X dengan produk karier dan keluarga, Milenial dengan gaya hidup digital dan traveling, sedangkan Gen Z dengan gaming, fashion, dan isu media sosial.

Pengaruh besar Amerika di bidang ekonomi dan budaya membuat klasifikasi ini diadopsi global, termasuk di Indonesia. Padahal, konteks sosial-budaya tiap negara berbeda. Dengan demikian, jelas bahwa label generasi bukan kajian ilmiah murni, melainkan memiliki muatan bisnis dan bahkan politik.

Klasifikasi Generasi: Antara Fakta dan Kritik

Istilah generasi seperti Baby Boomers, Generasi X, Milenial, hingga Generasi Z kini akrab di telinga kita. Media, akademisi, bahkan perusahaan kerap menggunakannya untuk menjelaskan perilaku masyarakat berdasarkan tahun kelahiran. Namun, di balik popularitasnya, klasifikasi generasi ini tak luput dari kritik tajam.

Pertama, klasifikasi ini menyamaratakan pengalaman. Tidak semua orang lahir pada periode sama mengalami hal serupa. Seorang milenial di kota besar tentu berbeda dengan yang tumbuh di desa. 

Kedua, konsep ini bukan hasil penelitian ilmiah yang mutlak, melainkan kategori sosial yang dibentuk media dan peneliti
tertentu.

Ketiga, klasifikasi sarat bias Barat. Baby Boomers lahir dari konteks pasca-perang di AS. Ketika dipaksakan ke negara lain, konteks sosial dan budayanya sering tidak relevan. 

Keempat, label generasi lebih berorientasi bisnis. Tujuannya mengelompokkan konsumen agar produk lebih mudah dipasarkan.

Kelima, pelabelan berpotensi menimbulkan stereotipe. Boomers dicap kaku, Milenial dianggap manja, Gen Z disebut mudah baper. Stigma semacam ini justru memecah belah antar kelompok usia. (Forbes – Generational Labels: Why It’s Time toPut Them to Rest, 2022).

Keenam, klasifikasi mengabaikan faktor penting lain, seperti kelas sosial, pendidikan, budaya, dan lokasi. Semua itu jauh lebih memengaruhi perilaku ketimbang sekadar tahun lahir. Maka,meski bermanfaat untuk memahami tren sosial, klasifikasi generasi bisa menyesatkan jika dipakai secara kaku. Manusia memiliki pengalaman unik yang tak bisa disederhanakan dengan label generasi semata. 

Perspektif Islam : Fitrah dan Tugas Pemuda

Islam menawarkan cara pandang berbeda. Manusia dipandang memiliki fitrah istimewa, yakni khasiatul-insan: dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan tuntunan syariat, bukan sekadar pedoman psikologi modern. Syariat mengarahkan manusia agar aktivitasnya selaras dengan tujuan penciptaan, yaitu beribadah kepada Allah Swt.

Dalam konteks amar makruf nahi mungkar, Islam menempatkan muhasabah lil hukkam sebagai mekanisme penting untuk mengoreksi penguasa. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt.:

"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125)

Rasulullah saw. juga bersabda:
"Pemimpin para syuhadā’ adalah Hamzah binAbdul Muthalib, dan (juga) seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahkannya (kepada kebaikan) dan melarangnya(dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya." (HR. al-Hakim)

Sejarah mencatat peran penting pemuda sebagai garda terdepan perjuangan Islam. Ali bin Abi Thalib masuk Islam di usia belia, Mus’abbin Umair membawa dakwah ke Madinah, dan mayoritas Anshar yang memberi baiat Aqabah juga masih muda. Mereka menunjukkan bahwa pemuda adalah motor utama perubahan hakiki (taghyir).

Potensi besar pemuda tidak pernah diremehkan dalam Islam. Dengan iman, keberanian, dan idealisme, mereka menjadipelopor mengoreksi penguasa zalim sekaligus pembawa cahaya peradaban.

Relevansi untuk Masa Kini

Kini, di tengah krisis multidimensi, pemuda Muslim kembali dituntut tampil sebagai penggerak perubahan hakiki. Tantangan zaman menuntut mereka untuk tidak terjebak dalam label generasi atau stereotipe buatan Barat, melainkan berpegang teguh pada syariat.

Perubahan sejati bukan sekadar tren atau gayahidup, melainkan usaha kolektif untuk menegakkan kebenaran. Semangat kepemudaan Islam relevan dihidupkan kembali agar pemuda Muslim berani menyuarakan kebenaran, mengoreksi penguasa zalim, dan mengarahkan energi mereka pada perjuangan yang membawa manfaat hakiki bagi umat.

Dengan demikian, alih-alih terjebak dalam label generasi, Islam mengingatkan bahwa fitrah manusia dan peran pemuda dalam perjuangan jauh lebih menentukan arah perubahan peradaban.


Share this article via

7 Shares

0 Comment