| 59 Views
Gaji Guru Minim, Solusi Islam Menjamin

Oleh: Sinta Lestari
Pegiat Literasi dan Aktivis Dakwah
Kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan kabar baik dan menjadi salah satu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025. Namun, di sisi lain, hal ini menjadi sorotan dari berbagai pihak, khususnya para guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu. Pasalnya, guru PPPK paruh waktu yang mengabdi sebagai tenaga pendidik menginginkan keadilan. Hal ini didasarkan pada mekanisme upah yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup, sehingga sulit bagi mereka meraih kesejahteraan. Ini memunculkan rasa ketidakadilan yang mendalam di dunia pendidikan.
Dilansir dari SindoNews (23 September 2025), gaji guru PPPK paruh waktu bahkan kurang lebih Rp18.000,00 per jam. Angka ini dihitung dari gaji rata-rata per bulan yang diterima, lalu dibagi dengan jumlah waktu hitungan per jam selama seminggu.
Perhitungan ini berdasarkan ketentuan pemerintah yang memetakan upah guru PPPK paruh waktu, di mana mekanisme kerjanya dihitung dari jumlah jam kerja kurang dari 40 jam selama seminggu, atau setengah dari jam kerja guru PPPK penuh waktu. Bahkan, ada yang digaji di bawah Rp1 juta per bulan.
Bukan hanya soal upah minim, kondisi guru juga diperparah dengan banyaknya yang terjerat pinjaman online (pinjol) karena sulit memenuhi kebutuhan hidup dengan upah yang kurang layak.
Di sisi lain, dengan adanya tingkatan status guru, seakan-akan karir seorang guru begitu sulit diraih meskipun latar belakang pendidikan mereka tergolong tinggi (S2/S3).
Kegagalan Sistem Kapitalisme dalam Kesejahteraan Guru
Dengan mekanisme yang berlaku hari ini, kita bisa menilai bahwa nasib guru bergantung pada setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan setempat, juga kebijakan yang berubah-ubah di setiap pergantian pejabat. Hal ini dirasa tidak memberikan rasa adil dalam upaya menyejahterakan guru, apalagi dengan pemetaan status bagi guru honorer, PPPK penuh waktu, PPPK paruh waktu, dan ASN. Ini adalah bukti nyata ketidakadilan yang jelas terasa di dunia pendidikan kita.
Inilah wajah negara dalam sistem kapitalisme. Negara tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menggaji guru dengan layak. Meskipun pajak dan utang menjadi salah satu sumber terbesar dalam pendapatan negara, tetap saja tidak mampu menyelesaikan problematik. Yang terjadi justru menambah beban rakyatnya.
Hal ini juga terbukti dari seringnya terjadi defisit anggaran yang mengakibatkan banyak dana khusus, seperti dana haji, digunakan dan dialokasikan untuk kepentingan negara. Inilah ketidakjelasan tata kelola keuangan dalam sistem kapitalisme. Negara tidak menempatkan alokasi dana dan merealisasikannya sebagaimana mestinya.
Dari sini kita bisa memahami bahwa negara sangat bergantung pada pajak dan utang. Ini merupakan mekanisme ekonomi yang tidak sehat dan akan membahayakan kedaulatan negara, dengan menumpuknya utang luar negeri untuk menambal sulam problematika hari ini.
Pada akhirnya, guru seakan-akan dipandang hanya sebatas faktor produksi, bukan sebagai pendidik mulia generasi.
Sekalipun memiliki sumber pendapatan lain, yaitu Sumber Daya Alam (SDA), negara dalam sistem kapitalisme tetap tak mampu menyelesaikan persoalan keuangan dan defisit anggaran. Sebab, pengelolaan SDA yang seharusnya dikelola negara dan hasilnya dirasakan rakyat justru dikelola asing dan swasta. Sementara negara hanya sebagai regulator. Keuntungan pun mengalir ke kantong asing dan swasta.
Hal ini menandakan kegagalan negara dalam menyejahterakan rakyatnya, hingga guru menjadi korban kedzaliman dari mekanisme yang diterapkan.
Kita harus menyadari, mana mungkin sistem kapitalisme ini mampu memberikan solusi, saat kita masih menaruh harapan pada sistem yang sudah jelas banyak melahirkan kerusakan dan ketidakmampuan menyelesaikan berbagai persoalan.
Solusi Islam: Kesejahteraan Guru yang Terjamin
Berbeda dengan mekanisme keuangan Islam. Islam menggaji guru dari pendapatan yang diambil dari Baitul Mal. Tidak hanya itu, Islam memiliki tiga pos kepemilikan sebagai sumber pendapatan: (1) Pos kepemilikan negara, (2) Pos kepemilikan umum, dan (3) Pos kepemilikan individu.
Dalam menentukan upah guru, semua didasarkan dari nilai jasa yang diberikan, bukan didasarkan dari status ASN ataupun guru honorer seperti saat ini. Artinya, Islam memberikan kedudukan yang sama untuk semua guru tanpa membeda-bedakan status yang dibuat dengan aturan sendiri. Semua sama di mata negara. Semua guru berhak mendapatkan penghargaan sebagai apresiasi dari negara dalam memandang ilmu dan guru sebagai sesuatu yang mulia dan berjasa, bukan malah dianggap beban negara.
Gaji guru pun bernilai fantastis. Gaji tersebut mampu memenuhi kebutuhan bukan hanya satu orang, namun berikut seluruh anggota keluarganya. Guru tidak perlu melakukan pekerjaan sampingan seperti saat ini untuk memenuhi kebutuhannya, apalagi sampai terjerat pinjol. Inilah kesejahteraan sejati yang dirindukan para guru hari ini.
Bukan hanya guru yang terjamin kesejahteraannya, namun Islam mampu memberikan pelayanan terbaik dalam riayah (pengurusan) umat, dengan memberikan jaminan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan keamanan bagi seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu, dan yang pasti dengan kualitas terbaik. Semua ini didasarkan semata-mata pada ketakwaan kepada Allah SWT.
Ketakwaan individulah yang menjadikan para penguasa tunduk pada aturan Allah SWT, sehingga memandang suatu kepemimpinan adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw.,
"Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya." (HR. Bukhari & Muslim).
Jelas, mekanisme kepemimpinan suatu negara sangat memengaruhi nasib rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme, gaji guru minim, namun dalam Islam, gaji guru terjamin.
Wallahu a'lam bish-shawab