| 13 Views
Fenomena Fatherless, Generasi Kian Hopeless

Unsplash
Oleh: Permadina Kanah Arieska, S.Si., M.Si
Pemerhati Masalah Generasi
Fenomena fatherless atau ketiadaan figur ayah dalam kehidupan anak kini menjadi perhatian serius di Indonesia. Data menunjukkan jutaan anak tumbuh tanpa peran ayah—baik secara biologis maupun psikis. Ayah secara fisik mungkin ada, tetapi secara emosional dan spiritual tidak hadir. Mereka kehilangan sosok pelindung, pembimbing, dan teladan yang seharusnya menjadi panutan dalam perjalanan hidupnya.
Padahal, dalam masyarakat yang sehat, ayah bukan sekadar pencari nafkah. Ia adalah pemimpin, pelindung, dan pendidik pertama yang membentuk karakter anak. Ketika fungsi itu hilang, anak kehilangan arah, dan keluarga kehilangan pijakan kokoh. Dampaknya meluas: meningkatnya kenakalan remaja, krisis identitas, gangguan mental, hingga lemahnya ikatan keluarga.
Namun, fenomena fatherless tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah buah dari sistem kehidupan yang menempatkan materi sebagai tujuan utama—yakni sistem kapitalistik-sekuler. Sistem ini menilai keberhasilan hidup dari ukuran ekonomi, bukan dari kualitas hubungan keluarga dan pembentukan akhlak generasi.
Kapitalisme dan Lahirnya Generasi Tanpa Ayah
Dalam sistem kapitalistik, nilai manusia diukur dari produktivitas dan daya beli. Waktu menjadi komoditas, bukan amanah. Para ayah bekerja sejak pagi hingga larut malam, mengejar target perusahaan atau proyek bisnis demi menjaga stabilitas ekonomi keluarga. Tetapi tanpa disadari, mereka kehilangan kesempatan emas untuk hadir dalam kehidupan anak-anaknya.
Ketika rumah hanya menjadi tempat singgah, bukan ruang pendidikan dan kasih sayang, maka yang tumbuh bukanlah generasi kuat, melainkan generasi kosong secara emosional. Anak mungkin tidak kekurangan materi, tetapi kehilangan makna kehadiran ayah. Ia tumbuh dengan perasaan terasing di tengah keluarga sendiri.
Inilah wajah pahit dari peradaban kapitalistik-sekuler: sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, menyingkirkan nilai spiritual dari ruang publik, dan mengganti peran keluarga dengan sistem ekonomi yang rakus. Bagi kapitalisme, manusia hanyalah roda produksi, bukan makhluk berjiwa yang membutuhkan sentuhan kasih dan bimbingan moral.
Hilangnya Fungsi Qawwam
Dalam Islam, ayah memiliki posisi sebagai qawwam — pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab keluarga. Allah berfirman:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)
Namun, dalam sistem kapitalistik-sekuler, fungsi qawwam ini tergerus. Ayah hanya dilihat sebagai “mesin pencetak uang”, bukan pemimpin yang menuntun keluarganya pada ketaatan kepada Allah. Ia sibuk mencari nafkah, tetapi kehilangan arah spiritual. Akibatnya, keluarga kehilangan kendali moral, dan anak tumbuh tanpa bimbingan nilai yang kokoh.
Padahal, menjadi qawwam bukan hanya tentang memberi nafkah, tetapi juga menghadirkan rasa aman, menanamkan aqidah, dan menjadi teladan dalam ketaatan. Ketika ayah abai terhadap peran ini, maka pendidikan keluarga akan pincang. Ibu akan kewalahan memikul peran ganda, dan anak kehilangan figur keseimbangan dalam hidupnya.
Islam Menawarkan Solusi Sistemik
Islam tidak memandang peran ayah dan ibu secara parsial, tetapi sebagai kesatuan yang saling melengkapi dalam membangun keluarga sakinah. Dalam Al-Qur’an, kisah Luqman memberikan teladan peran ayah sebagai pendidik: menasihati anaknya tentang tauhid, adab, dan kesabaran. Artinya, ayah memiliki peran langsung dalam pembentukan karakter spiritual dan moral anak.
Sementara ibu memiliki peran vital dalam pengasuhan, penyusuan, dan pengaturan rumah tangga. Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan emosional dan spiritual bagi anak. Inilah konsep keluarga ideal dalam Islam, yang lahir bukan dari sistem ekonomi materialistik, melainkan dari nilai-nilai ketuhanan.
Sistem Islam juga memastikan bahwa ayah dapat menjalankan peran ini secara utuh. Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab untuk menyediakan lapangan kerja yang layak dan memberikan jaminan kehidupan bagi setiap keluarga. Dengan demikian, ayah tidak perlu kehilangan waktu bersama anak demi sekadar memenuhi kebutuhan dasar (basic needs).
Selain itu, sistem Islam memiliki mekanisme perwalian yang menjamin setiap anak tetap memiliki figur ayah atau wali yang melindungi dan membimbingnya. Tidak ada anak yang dibiarkan tumbuh tanpa arahan. Setiap individu dijamin haknya untuk mendapatkan pendidikan, kasih sayang, dan pembinaan moral dalam lingkungan yang Islami.
“Mengatasi fatherless tidak cukup dengan seminar parenting. Diperlukan perubahan sistemik—kembali pada Islam yang menempatkan ayah sebagai qawwam dan keluarga sebagai institusi suci.”
Menegakkan Kembali Kepemimpinan Ayah
Fenomena fatherless sesungguhnya adalah cermin dari kegagalan sistem kapitalistik-sekuler dalam memuliakan peran keluarga. Solusinya bukan sekadar mengkampanyekan pentingnya “ayah hadir” secara individual, tetapi dengan mengembalikan sistem kehidupan kepada aturan Islam.
Islam tidak hanya memberi nasihat moral kepada individu, tetapi juga membangun struktur sosial dan ekonomi yang memungkinkan peran keluarga berjalan dengan seimbang. Ketika aturan Allah diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk ekonomi dan keluarga—maka ayah dapat benar-benar menjadi pemimpin yang menghadirkan ketenangan, bukan sekadar penyumbang materi.
Oleh karena itu, mengatasi fatherless bukan hanya soal kesadaran pribadi, tetapi tentang memperjuangkan sistem kehidupan yang memuliakan keluarga dan menjadikan Islam sebagai pedoman utama.
Khatimah
Fenomena fatherless adalah alarm keras bagi peradaban modern. Ia menandakan krisis kepemimpinan dalam keluarga yang diakibatkan oleh sistem kapitalistik-sekuler. Selama manusia masih menjadikan materi sebagai pusat kehidupan, ayah akan terus tersingkir dari fungsinya sebagai pemimpin spiritual dan moral keluarga.
Islam hadir menawarkan solusi yang menyeluruh—bukan hanya menuntut ayah untuk hadir, tetapi menghadirkan sistem yang memungkinkan kehadirannya bermakna. Hanya dengan kembali kepada Islam sebagai sistem hidup, generasi akan tumbuh dalam dekapan kasih, bimbingan iman, dan kepemimpinan sejati dari figur ayah sebagai qawwam.