| 127 Views
DPR Panen Tunjangan, Kesejahteraan Rakyat Terabaikan

Oleh : Yeni Ummu Alvin
Aktivis Muslimah
Belakangan ini ramai diberitakan terkait kenaikan anggaran untuk DPR RI tahun 2025, sebagaimana diketahui pada rapat paripurna DPR RI telah menyetujui kenaikan anggaran yang mencapai Rp 9,25 triliun, anggaran ini melonjak dari sebelumnya yang 5,6 triliun di tahun 2024. Mirisnya kenaikan ini terjadi di tengah gejolak kondisi ekonomi masyarakat yang tidak menentu, Kebijakan demi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu menimbulkan kontroversi, begitupula dengan kebijakan kenaikan anggaran ini, sungguh telah menyakiti hati rakyat, lembaga yang menyatakan dirinya sebagai perwakilan dari rakyat tapi pada faktanya tidak mewakili urusan rakyat.
Saat ini rakyat tengah didera berbagai persoalan, diantaranya arus gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal, lonjakan tarif pajak bumi dan bangunan ( PBB), serta masih banyak lagi persoalan lainnya akibat imbas dari kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah. Di saat rakyat terdampak efisiensi, anggota dewan malah menikmati relaksasi atau mendapat penambahan dana tunjangan. Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan tunjangan rumah senilai Rp 50 juta perbulan, sehingga total gaji dan tunjangan DPR saat ini menjadi lebih dari Rp 100 juta perbulan.
Menurut Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, dalam program Beritasatu Utama di Beritasatu TV, (Rabu, 20/8/2025), kenaikan pendapatan DPR sampai menjadi Rp100 juta perbulan, menyakiti perasaan masyarakat secara umum, kondisi ini menunjukkan seolah-olah rakyat sedang dikorbankan oleh para elit demi menunjang kebutuhan hidup mewah mereka.
Sungguh fantastis angka yang diberikan kepada wakil rakyat, derasnya tunjangan yang mengalir ke kocek mereka tidak sebanding dengan kinerja yang dilakukan, institusi yang dikenal sebagai wakil rakyat namun yang tergambar dalam ingatan rakyat bukan prestasi melainkan kebijakan ngawur, parade rapat tengah malam, tertidur di ruang rapat, perjalanan dinas yang berlebihan, perayaan ulang tahun dan anniversary di luar negeri serta tidak lupa juga dengan gorden Senayan yang harganya mencengangkan dan semuanya dibiayai dengan uang rakyat, dan ironinya untuk itu rakyat semakin ditekan dan dipalak dengan pajak. Begitulah DPR yang tergambar dalam benak rakyat saat ini, yang lupa pada kewajibannya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kesenjangan adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme, politik transaksional adalah keniscayaan, karena materi lah yang menjadi tujuan utama, bahkan merekalah yang menentukan besaran anggaran untuk kepentingan mereka sendiri. Kenaikan anggaran dianggap hak konstitusional. Tidak jarang jabatan dijadikan alat untuk memperkaya diri, hilang empati pada rakyat yang diwakili, bahkan abai dengan amanahnya sebagai wakil rakyat. Maka ketika rakyat kian sulit membayar pajak dan mencari pekerjaan, wakilnya justru menambah tunjangan penghasilan. Wakil rakyat menjadi elit rakyat bahkan seringkali menjadi beban bagi rakyat. Sistem demokrasi kapitalisme telah menciptakan jurang antara rakyat dan wakil rakyat.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan aqidah Islam sebagai asas, dan menjadikan syariat Allah sebagai pedoman dan bukannya akal manusia seperti dalam sistem demokrasi. Islam telah menegaskan bahwa setiap jabatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, kekuasaan harus dimanfaatkan untuk menegakkan hukum syarak, termasuk amanah sebagai anggota majelis umat, jabatan juga tidak akan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau untuk memperkaya diri sendiri, keimanan akan menjadi penjaga untuk selalu terikat pada aturan syariat Islam, halal dan haram sebagai satu-satunya standar perbuatan termasuk dalam menjalankan kekuasaan.
Majelis umat atau wakil rakyat merupakan salah satu struktur dalam kepemimpinan islam yang memiliki fungsi mengawasi sekaligus mengkoreksi (muhasabah) terhadap berjalannya fungsi pemerintahan agar berjalan sesuai dengan hukum-hukum Allah subhanahu Wa ta'ala. Akan halnya gaji bagi para anggota majelis umat /wakil rakyat, mereka bukanlah pegawai negara yang berhak digaji ataupun meminta gaji dari negara akan tetapi mereka boleh diberi tunjangan sekedar agar mereka bisa menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, untuk itu anggarannya diambil dari Baitul mal dengan besaran yang diserahkan pada ketetapan Khalifah, namun dipastikan mekanisme ini tidak mempengaruhi fungsinya dalam melaksanakan muhasabah.
Dengan penerapan Islam secara Kaffah maka semua fungsi pemerintahan akan berjalan sesuai dengan tupoksinya masing-masing, dan di atas landasan ruhiyah yang akan menjadikan setiap pengemban amanah taat pada syariat Allah, baik itu penguasa, wakil rakyat maupun rakyat maka semuanya akan hidup semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah subhanahu wa ta'ala dengan menjalankan semua perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA
Wallahu a'lam bishowab.