| 24 Views

Daya Beli Masyarakat Turun, Apakah Negara Turun Tangan?

Oleh : Sumarni Ummu Suci

Penurunan daya beli masyarakat menjadi fenomena yang meluas di berbagai daerah di Indonesia pasca hari raya idul Fitri 1446 H.

Para pedagang di pasar Inpres kota Lhokseumawe mengeluh dengan minimnya daya beli masyarakat.(dikutip : www.rri.co.id).

Sementara Asosiasi Pengelolaan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebutkan daya beli masyarakat DKI Jakarta menurun sebesar 25 % saat lebaran 2025 atau lebaran idul Fitri 1446 H.(sumber : www.antaranews.com).

Para pedagang di pasar Tanah Abang mengalami penurunan omset signifikan dibandingkan tahun - tahun sebelumnya. (sumber : www.metrotvnews.com). 

Pada skala nasional salah satu indikasi turunnya daya beli masyarakat adalah penurunan jumlah pemudik.

Menteri Perhubungan Dudi Parwagandi mengungkap penurunan mudik lebaran 2025 sekitar 4,69 % di bandingkan dengan realisasi pada 2024 yang mencapai 162,2 juta orang. Tahun ini tercatat hanya 154, 6 juta jiwa. (sumber : www.antaranews.com). 

Penurunan daya beli masyarakat juga bisa di lihat dari persentase penggunaan semua moda yang telah diakui pemerintah turun menjadi 30 %.Penurunan juga terjadi pada sisi akomodasi seperti hotel dan restoran yang mengalami penurunan okupansi sebagai dampak dari menurunnya konsumsi masyarakat.(sumber : www.msn.com).

Menurunnya daya beli dilihat dalam konteks situasi ekonomi yang tidak baik - baik saja.Banyaknya PHK,di tambah dinamika dan kebijakan dalam negeri yang sepenuhnya kondusif.

Kenaikan harga - harga kebutuhan pokok, meningkatkan beban utang rumah tangga, serta tekanan biaya hidup lainnya turut memperparah kondisi.

Tidak hanya itu lesunya perekonomian global juga memberi dampak domino terhadap sektor domestik mempersempit ruang gerak masyarakat dalam melakukan konsumsi.

Semua faktor ini berkontribusi terhadap menurunnya kemampuan dan kepercayaan masyarakat dalam membelanjakan uangnya.

Situasi ini tidak bisa di lepaskan dari dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang selama ini dijalankan. Dimana orientasi utamanya lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan pemerataan kesejahteraan di tengah masyarakat.

Sistem ini cenderung berpihak pada kepentingan pengusaha besar dan oligarki.

Sementara kesejahteraan rakyat justru terabaikan yang pada akhirnya memperlebar jurang kesenjangan sosial dan ekonomi.

Kebijakan yang membolehkan praktek riba, rendahnya standar upah pekerja, serta lemahnya perlindungan sektor - sektor rakyat kecil turut memperparah kondisi daya beli masyarakat.

Terlebih lagi ketika peran negara dibatasi hanya sebagai fasilitator dan regulator.Alih - alih sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan rakyat ketimpangan yang terjadi justru menjadi semakin sistemik dan sulit diatasi.

Islam memiliki sistem ekonomi yang sangat berbeda dengan kapitalisme.Jika sistem kapitalism tidak mampu menjaga daya beli masyarakat agar tetap stabil, Islam justru mampu mewujudkannya.

Dalam sistem Islam yang di terapkan oleh negara khilafah menjaga daya beli masyarakat bukan hanya menjadi tanggung jawab moral negara tetapi merupakan bagian dari kewajiban syar'i mengatur urusan umat.

Islam menjadikan negara sebagai raa'in yang bertanggung jawab mengurus rakyat dan menyejahterakannya.

Rasulullah Saw bersabda :
"Imam adalah raa'in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (gembalaannya)," (HR.Bukhori) 

Dalam sistem khilafah bukan hanya menjaga daya beli masyarakat tetapi juga memastikan sistem ekonomi berjalan adil, manusiawi dan sesuai syariat Islam.

Wallahua' lam bissawab.


Share this article via

14 Shares

0 Comment