| 32 Views

Beras Mahal Setok Banyak Masyarakat Yang Terkena Dampaknya

Oleh : Dewi yuliani
Aktivis Pengemban Dakwah

Beras Mahal Saat Stok Melimpah, Distribusi Bermasalah, Rakyat Terkena Imbasnya.
Mentan Ungkap Penyebab Harga Beras Mahal, Berdasarkan data BPS, produksi beras hingga Oktober 2025 mencapai 31,04 juta ton, surplus 3,7 juta ton dibanding periode sama tahun sebelumnya yang produksinya hanya 28 juta ton. Artinya produksi di atas surplus 3,7 juta ton dibanding tahun lalu. Dan yang menarik adalah 31 juta ton itu sampai Oktober. Tahun lalu produksi hanya 30 juta ton,” kata Amran di kompleks DPR RI, dikutip Kamis (4/9/2025).

Di sisi lain, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menyebut sudah berbulan-bulan harga beras medium dan jenis premium di atas HET. Menurutnya, kondisi ini terjadi salah satunya lantaran sebagian besar gabah/beras diserap oleh Bulog dan menumpuk di gudang Bulog.

Diketahui, Presiden Prabowo Subianto akan menyalurkan bansos beras untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat dengan total 360.000 ton periode Juni dan Juli secara bersamaan. Di samping itu, pemerintah juga akan menggelontorkan beras SPHP sebanyak 250.000 ton.

Bapanas juga menyampaikan bantuan pangan beras selama Juni—Juli 2025 masing-masing 10 kilogram (kg) akan mulai disalurkan pekan ini. Deputi III Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Bapanas Andriko Noto Susanto mengatakan penyaluran bantuan pangan selama dua bulan (Juni—Juli 2025) merupakan dari bagian target enam bulan penyaluran yang telah ada di Perum Bulog, melalui dana operator investasi pemerintah (OIP) senilai Rp16,6 triliun

Kebijakan ini sepintas membahagiakan petani, tetapi menjadi buah simalakama bagi pemerintah ketika tidak diimbangi dan didukung kebijakan lainnya, yakni memastikan distribusi atau penyaluran beras Bulog dengan baik dan tepat. Sebagai contoh, masalah kenaikan harga beras muncul di tengah melimpahnya stok beras nasional lantaran terjadi penumpukan di gudang Bulog. Jika kebijakan menyerap beras petani sudah dimaksimalkan, maka penyalurannya juga harus tepat dan merata. Apabila penyaluran beras belum optimal dilakukan, beras yang tersimpan di gudang Bulog berpotensi turun kualitas dan mutunya. Masalah semacam ini yang tidak diperhitungkan oleh pemerintah.

Permasalahan distribusi beras pernah terjadi ketika ada temuan 300.000 ton beras di gudang Bulog berkutu hingga sempat menghebohkan publik pada awal 2025. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp3,6 triliun. Artinya, negara lalai dalam menjaga kualitas beras di gudang penyimpanan serta tidak terdistribusi hingga terbuang sia-sia sebanyak itu.

Tidak mengherankan jika muncul desakan agar pemerintah segera menyalurkan beras melalui bantuan pangan atau bansos agar kualitas beras di penyimpanan Bulog tidak mengalami risiko turun mutu, susut volume, bahkan jika tersimpan lama bisa rusak. Singkatnya, ketika beras kian lama tersimpan maka kian membebani keuangan negara.

Di sisi lain, penyaluran bansos beras yang dijadikan satu untuk dua bulan (Juni—Juli) mengindikasikan distribusi beras masih menjadi masalah klasik yang tidak ada habisnya. Pemerintah beralasan tertundanya penyaluran bansos dan beras murah Bulog sebagai bentuk intervensi atas mahalnya harga beras di pasar. Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengatakan gabah di beberapa daerah masih di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang dipatok Rp6.500 per kilogram. Jika bansos dan SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) disalurkan, dianggap bakal menekan harga gabah serta beras di pasar.

Inilah contoh kebijakan yang kurang dipersiapkan secara matang sehingga memunculkan masalah yang seharusnya tidak perlu ada. Negara menetapkan kebijakan penyerapan beras petani, tetapi lalai mengoptimalkan dan memaksimalkan pengawasan realisasi kebijakan tersebut sehingga distribusi terhambat.

Sistem Distribusi Bermasalah, Rakyat Kena Imbas
Sistem kapitalisme telah mereduksi peran penting negara dalam mengelola pangan (beras). Negara telah melalaikan tanggung jawabnya dari aspek pengawasan. Dalam kapitalisme, pangan tidak menjadi hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, melainkan komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan ekonomi. Negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Alhasil, rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga.

Masalah muncul dari proses distribusi yang panjang, mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa. Tiap level memiliki tantangan logistik dan administratif yang sering kali tidak transparan.

Perjalanan beras dari sawah hingga ke meja makan konsumen melibatkan beberapa tahapan distribusi yang kompleks. Secara umum, jalur distribusi ini dimulai dari petani yang memanen padi, kemudian melalui berbagai tangan seperti pengumpul, pedagang besar (wholesaler), distributor, hingga akhirnya sampai ke pengecer (retailer) seperti warung, toko kelontong, atau supermarket. Rantai panjang distribusi inilah yang membuka celah bagi para tengkulak dalam memainkan harga beras di pasar, termasuk menimbunnya sehingga terlihat langka.

Bulog sebagai pelaksana kebijakan dan penyalur beras dalam negeri juga berpotensi tidak terlepas dari kecurangan dalam proses distribusi. Terlebih jika kita bicara distribusi beras untuk masyarakat miskin, prosesnya berbelit dari sisi administrasi dan teknis. Salah satu hambatan utamanya adalah ketaksinkronan data antara pusat dan daerah. Ada nama-nama yang muncul dalam daftar penerima bantuan, tetapi ternyata telah pindah, meninggal, atau status ekonominya berubah sehingga bantuan tidak tepat sasaran.

Distribusi yang bermasalah akan menjadi beban bagi rakyat bawah. Harga beras mahal, pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan juga akan terhalang dan susah. Negara seharusnya memikirkan dampak buruk akibat kelalaian yang berulang terjadi. Hingga saat ini, belum tampak upaya negara untuk segera membenahi sistem pendataan dan distribusi yang transparan dan berbasis teknologi untuk mengurangi manipulasi dan mempercepat distribusi.Minimnya pengawasan dan sinkronisasi data akan selalu membuka peluang munculnya oknum pejabat, tengkulak, bahkan distributor nakal yang berbuat curang.

Distribusi Pangan yang Adil dalam Islam
Dalam Khilafah, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk beras dan komoditas pangan lainnya. Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang.

Negara akan berperan langsung dalam memastikan beras yang akan dikonsumsi rakyat terjamin kualitasnya, seperti memberi subsidi bibit, pupuk, maupun sarana produksi pertanian (saprotan) kepada petani secara cuma-cuma agar menghasilkan kualitas beras yang sama. Tidak ada dikotomi beras untuk orang kaya dan miskin.

Negara akan melarang praktik penimbungan, kecurangan, monopoli, dan pematokan harga. Praktik monopoli pasar, termasuk kartel, adalah cara perdagangan yang diharamkan Islam. Praktik perdagangan seperti ini hanya menguntungkan para pengusaha karena mereka bebas mempermainkan harga. Negara Khilafah akan memberangus praktik-praktik perdagangan yang diharamkan. Khilafah akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar, bukan dengan mematok harga.

Dari Anas ra., Rasulullah bersabda, “Harga pada masa Rasulullah ﷺ membumbung. Lalu mereka lapor, ‘Wahai Rasulullah, kalau seandainya harga ini engkau tetapkan (niscaya tidak membumbung seperti ini).’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Menggenggam, Yang Maha Melapangkan, Yang Maha Memberi Rezeki, lagi Maha Menentukan Harga. Aku ingin menghadap ke hadirat Allah, sedangkan tidak ada satu orang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah.’” (HR Ahmad).

Haramnya pematokan harga tersebut bersifat umum untuk semua bentuk barang, tanpa dibedakan antara makanan pokok dengan bukan makanan pokok (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam hlm. 448).

Negara akan menyediakan sarana dan prasarana dalam mendukung proses pendistribusian beras dengan infrastruktur publik yang memadai. Hal ini dilakukan agar akses pangan menjangkau seluruh wilayah, terutama wilayah terpencil yang mengalami keterbatasan pasokan pangan. Terhambatnya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan akan memicu kenaikan harga dan mengurangi daya beli masyarakat. Oleh karenanya, negara akan memperhatikan akses pangan ke daerah terpencil dan terluar dengan mekanisme penyaluran yang lancar hingga sampai di tangan konsumen dengan mudah.

Negara juga akan mengoptimalkan fungsi lembaga pengawasan serta penegakan hukum yang tegas bagi para pelanggar. Dalam kitab Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah hlm.197, struktur khusus yang mengawasi berjalannya pasar secara sehat ialah kadi hisbah. Tugasnya adalah melakukan pengawasan dan berwenang memberikan putusan dalam berbagai penyimpangan secara langsung begitu ia mengetahuinya, di tempat mana pun tanpa memerlukan adanya sidang pengadilan.

Negara Khilafah akan memastikan agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan pangannya, bantuan pangan tepat sasaran, distribusi adil dan merata, serta teknis administratif yang mudah dan tidak memberatkan. Semua itu dapat terwujud dengan diterapkannya sistem Islam secara kafah dalam mengelola pangan, baik dari rantai produksi, distribusi, maupun konsumsi.

Wallahu allam bishawab


Share this article via

30 Shares

0 Comment