| 221 Views

Anggaran Pendidikan Yang Carut Marut

Oleh : Rita Rosita

IRT

Kementerian Keuangan tengah mewacanakan perubahan pengalokasian anggaran pendidikan dari berbasis belanja negara menjadi berbasis pendapatan negara. Alasan di balik usulan ini adalah bahwa anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, yang berdasarkan belanja negara, cenderung berpotensi menyulitkan pengelolaan keuangan dalam negara.

Selain itu, jika masih mengacu pada belanja negara, ada risiko peningkatan defisit APBN. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan bahwa belanja APBN 2022 mengalami lonjakan akibat peningkatan subsidi energi, yang berdampak pada kenaikan anggaran pendidikan untuk memenuhi ketentuan minimal 20% dari belanja APBN. Padahal, kenaikan subsidi energi disebabkan oleh harga minyak dunia yang tinggi, bukan karena peningkatan pendapatan negara. Hal ini mengakibatkan defisit APBN semakin membesar.

Banyak pihak menolak wacana tersebut karena menganggap reformulasi anggaran ini berpotensi menurunkan anggaran pendidikan secara signifikan. Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, berpendapat bahwa wacana tersebut melanggar Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 dan berpotensi mengurangi dana pendidikan di APBN hingga Rp100-150 triliun.

Meskipun anggaran pendidikan penuh polemik, mulai dari tidak tepat sasaran hingga indikasi korupsi, bukan berarti anggaran tersebut layak dikurangi. Reformulasi seharusnya dilakukan untuk mendorong perbaikan efektivitas dan kualitas belanja fungsi pendidikan, bukan sekadar mengubah perhitungan anggaran berdasarkan belanja atau pendapatan negara.

Salah satu bukti ketidak efektifan anggaran pendidikan saat ini adalah tidak terserapnya anggaran pendidikan hingga Rp111 triliun atau hanya terserap sebesar 16% dari APBN 2023. Padahal, masalah pendidikan akibat kurangnya biaya masih menjadi pekerjaan rumah, seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin tidak terjangkau, gedung sekolah yang rusak, dan nasib guru honorer yang digaji tidak memadai.

Andai saja Rp111 triliun itu dapat terserap dengan baik, masalah-masalah tersebut mungkin bisa berkurang. Belum lagi, korupsi dan anggaran tidak efektif lainnya seperti perjalanan dinas dan penyelenggaraan rapat di hotel mewah seharusnya dihindari mengingat dana pendidikan yang sangat terbatas.

Pemerintah semakin menunjukkan karakter kapitalistiknya dengan kembali mengubah dana pendidikan. Tahun lalu, mandatory spending (belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang) untuk kesehatan dihapuskan. Kini, mandatory spending untuk pendidikan juga terancam dihapuskan.

Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah semakin lepas tangan terhadap pemenuhan hak-hak rakyatnya. Padahal, pendidikan berkualitas adalah kunci untuk mewujudkan negara yang maju.

Mengapa pemerintah semakin abai terhadap kebutuhan rakyat? Semua itu tidak bisa dipisahkan dari paradigma kepemimpinan kapitalistik. Negara dengan kepemimpinan kapitalistik memandang rakyat sebagai pembeli dan memposisikan penguasa sebagai pihak penjual, sehingga hubungan antara keduanya sebatas untung-rugi. Dalam hal ini, pemerintah tentunya tidak mau rugi dan ingin selalu untung.

Perubahan anggaran pendidikan yang berdasarkan pada perhitungan anggaran dan bukan pada kebutuhan biaya pendidikan itu sendiri, menunjukkan bahwa pemerintah menganggap pendidikan sebagai beban yang dapat memperbesar defisit APBN. Selain itu, negara cenderung menyerahkan urusan pendidikan kepada sektor swasta. Sekolah-sekolah swasta menjamur, dibarengi dengan ketersediaan fasilitas yang baik, tetapi hanya golongan menengah ke atas yang dapat merasakan pendidikan berkualitas.

Paradigma kapitalistik ini juga mempengaruhi pemerintah daerah yang enggan mengalokasikan dana APBD untuk pendidikan. Data dari Kemendikbudristek (2024) menunjukkan bahwa belum banyak pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang mengalokasikan APBD mereka sebanyak 20% untuk pendidikan.

Kepemimpinan kapitalistik dalam sistem demokrasi yang penuh dengan orang-orang bermental oportunis membuat dana pendidikan yang sedikit tetap saja dikorupsi. Mereka menutup mata terhadap anak-anak yang bahkan tidak memiliki seragam dan buku untuk sekolah serta nasib guru honorer yang gajinya tidak memadai. Rendahnya gaji mereka jelas membuat kualitas pendidikan menurun karena para guru tidak fokus mendidik siswa, melainkan harus mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Parahnya lagi, pada saat yang sama, ada kebijakan yang katanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tetapi nyatanya ditetapkan berdasarkan kepentingan politik pragmatis, seperti program MBG untuk anak sekolah yang mencapai Rp722,6 triliun. Seharusnya, dana tersebut dialokasikan untuk gaji guru honorer dan pembangunan fasilitas belajar yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, agar lebih bermanfaat.

Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara. Pembiayaan pendidikan tidak didasarkan pada pendapatan atau belanja negara, melainkan pada kebutuhan pendidikan itu sendiri. Pembahasan anggaran fokus pada kemaslahatan umat, bukan semata kemudahan perhitungan apalagi berdasarkan kepentingan penguasa. Seluruhnya akan ditanggung negara tanpa ada campur tangan pihak lainnya. Jika kas negara (baitulmal) tidak mencukupi, kewajiban pendidikan akan dibebankan kepada umat.

Namun, kosongnya kas negara Islam sangat jarang terjadi karena kas tersebut memiliki pemasukan yang melimpah. Kekuatan negara, yang dikelola melalui baitulmal, memungkinkan penyelenggaraan pendidikan berkualitas. Kekuatan baitulmal ini berasal dari pengaturan yang sangat baik yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Terlebih di negeri yang kaya akan SDA, regulasi kepemilikan dalam Islam mengharamkan pihak swasta memiliki dan mengelola SDA sehingga pemerintah akan mandiri mengelola SDA tersebut. Inilah yang akan menjadi pemasukan utama baitulmal dan menjadi bekal untuk terwujudnya sistem pendidikan terbaik dan berkualitas.

Sumber pendapatan negara menurut syariat terbagi menjadi tiga, yakni dari fai dan kharaj, kepemilikan umum, serta zakat. Dana untuk layanan publik, termasuk pendidikan, dapat dialokasikan dari pos kepemilikan umum. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.”

Dengan kas negara yang memadai, negara dapat mengelola pendidikan secara mandiri, sehingga pendidikan bisa tersedia secara murah atau bahkan gratis. Meskipun individu juga bisa berkontribusi dalam pembangunan pendidikan dengan dorongan keimanan, seluruh pengelolaan pendidikan tetap berada di bawah kontrol negara. Dengan dukungan dari baitulmal, semua warga akan memperoleh layanan pendidikan yang terjangkau atau bahkan tanpa biaya.


Share this article via

114 Shares

0 Comment