| 305 Views

Anak-anak adalah Amanah, Bukan Objek Kekerasan

Oleh : Welly Okta Milpia 

Seorang ibu idealnya menjadi tempat perlindungan paling nyaman bagi anaknya. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan JBD (37) di Batam, yang justru harus berurusan dengan hukum karena melakukan penganiayaan terhadap anak kandungnya, AF (13). Kejadian tragis ini terjadi pada Senin pagi, 11 November 2024, sekitar pukul 08.30 WIB.

Kekerasan terhadap anak bukan hanya terjadi di Batam, tetapi juga di berbagai kota lainnya. Salah satu kasus yang mencengangkan terjadi di Desa Jatiwangi, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, di mana dua bocah, AL (8) dan AD (7), dirantai oleh ayah kandung mereka. Leher kakak beradik ini dikunci dengan rantai tebal yang dilengkapi gembok besar.

Dalam video yang viral, terlihat warga berjuang keras memotong rantai tersebut dengan tang, karena sang ayah memasangnya sendiri. Kedua bocah malang ini, yang masih duduk di bangku kelas 1 dan 2 SD, harus mengalami trauma mendalam akibat kejadian tersebut. Kepala Desa Jatiwangi, Yuda Hendri Saputra, mengungkapkan bahwa insiden memilukan ini terjadi pada Selasa, 12 November 2024.

Kasus kekerasan terhadap anak bukan lagi hal yang asing dalam sistem saat ini. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2023, tercatat sebanyak 20.205 anak menjadi korban kekerasan. Dari jumlah tersebut, 4.025 anak mengalami kekerasan fisik, dan 3.800 anak mengalami kekerasan psikis.

Sementara itu, menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hingga Agustus 2023 terdapat 2.355 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya mencakup kekerasan seksual (487 kasus), kekerasan fisik atau psikis (236 kasus), korban kebijakan pendidikan (27 kasus), dan korban perundungan (87 kasus).

Meski data dari berbagai sumber berbeda, fakta menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak terus terjadi dan cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 2020, terdapat 11.278 kasus kekerasan terhadap anak, meningkat menjadi 14.517 kasus pada 2021, dan kembali naik menjadi 16.106 kasus pada 2022. Fenomena ini menunjukkan dampak terkikisnya pemahaman Islam, yang menjadikan budaya sekuler semakin mengakar dalam masyarakat.

Mengapa kekerasan terhadap anak terus berulang, dan jumlah korbannya kian meningkat? Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti penelantaran, pola asuh yang buruk, lemahnya kontrol terhadap anak, dan merosotnya moralitas. Semua ini berakar pada paradigma orang tua dalam mendidik anak.

Dalam paradigma sekuler, penelantaran anak sering kali disebabkan oleh kesibukan orang tua, kurangnya pemahaman tentang pengasuhan, atau dampak perceraian. Akibatnya, anak tumbuh tanpa pengawasan yang memadai.

Tanpa pola asuh Islami, seperti penanaman akidah sejak dini, anak kehilangan identitas sebagai hamba Allah, menjadi permisif terhadap perilaku buruk, dan lebih rentan terhadap pengaruh negatif. Survei yang dilakukan oleh UIN Jakarta menunjukkan bahwa tingkat religiositas generasi milenial dan Gen Z berada pada level terendah. Hal ini merupakan dampak dari kuatnya pengaruh sekularisme yang telah mengakar dalam diri mereka.

Solusi untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan terhadap anak bukan hanya sekadar memberikan penyuluhan anti-kekerasan atau merevisi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Perlindungan dalam Islam mencakup berbagai aspek, seperti fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya.

Islam menjabarkan perlindungan ini melalui pemenuhan hak-hak anak, seperti menjamin kebutuhan sandang, pangan, dan kesehatan, menjaga nama baik serta martabatnya, memilihkan lingkungan pergaulan yang baik, dan menghindarkan mereka dari berbagai bentuk kekerasan. Allah SWT telah menegaskan hal ini dalam QS. An-Nisa (4): 9:

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar."

Ayat ini menekankan pentingnya menjaga masa depan anak, baik dari segi fisik maupun moral, agar mereka tidak terabaikan. Ini menjadi pedoman bagi para orang tua untuk melindungi dan membimbing anak-anak dengan sebaik-baiknya. Namun, perlindungan yang menyeluruh bagi generasi hanya dapat terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan.

Solusi untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan terhadap anak bukan hanya sekadar memberikan penyuluhan anti-kekerasan atau merevisi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) akan tetapi lebih daripada itu seperti perlindungan anak dalam Islam yang mencakup berbagai aspek, seperti fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya.

Islam menjabarkan perlindungan ini melalui pemenuhan hak-hak anak, seperti menjamin kebutuhan sandang, pangan, dan kesehatan, menjaga nama baik serta martabatnya, memilihkan lingkungan pergaulan yang baik, dan menghindarkan mereka dari berbagai bentuk kekerasan. Allah SWT telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar." (QS. An-Nisa: 9).

Ayat tersebut menekankan pentingnya menjaga masa depan anak, baik dari segi fisik maupun moral, agar mereka tidak terabaikan. Ini menjadi pedoman bagi para orang tua untuk melindungi dan membimbing anak-anak dengan sebaik-baiknya. Namun, perlindungan yang menyeluruh bagi generasi hanya dapat terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan.


Share this article via

58 Shares

0 Comment