| 242 Views
Akankah MBG Menjadi Solusi ?

Oleh : Annisa Rofiqo, S.Pd
MBG atau Makan Bergizi Gratis merupakan program unggulan Presiden terpilih Indonesia periode 2024-2020 Prabowo Subianto, yang telah berlangsung sejak 6 Januari 2025 di beberapa sekolah. Untuk menyukseskan program ini, pemerintah membuat badan khusus untuk mengampu pelaksanaan program MBG, yakni Badan Gizi Nasional (BGN). Pada periode awal perencanaan MBG sejak Januari hingga April 2025, menargetkan 3 juta penerima manfaat yang mendapat MBG dan akan terus bertahap menaikkan jumlahnya di setiap periode. Harapan Presiden akhir tahun 2025 target tercapai 82.9 juta jiwa yang mendapatkan MBG. Sasaran MBG ini terdiri dari seluruh peserta didik mulai jenjang PAUD hingga SMA, santri di pesantren, balita, ibu hamil dan ibu menyusui.
Program ini sangat disoroti media karena menjadi program 100 hari kerja pertama pemerintahan Prabowo. Tujuan dari program ini adalah untuk menyukseskan Indonesia Emas pada 2045, dengan dalih memperbaiki gizi anak-anak bangsa sehingga diharapkan kualitas SDM Indonesia akan membaik dan siap untuk menuju Indonesia Emas. Dilansir dari laman Kementerian Sekretariat Negara (setneg.co.id), angka prevalensi stunting di Indonesia masih terlampau tinggi, yakni di angka 21,5% hingga pertengahan tahun 2024 kemarin. Selain itu, data dari situs World Population Review, diketahui rata-rata IQ orang Indonesia pada 2024 adalah 78,49. Angka ini berada di bawah rata-rata IQ global yang berkisar antara 85 hingga 115. Dengan jumlah IQ ini, Indonesia menduduki peringkat ke 127 dari 197 negara yang diuji pada tahun 2024. Faktor-faktor inilah yang menjadi dasar tercetusnya program MBG.
Polemik Dalam MBG
Belum genap satu bulan program MBG berjalan, program ini telah menghadapi berbagai polemik. Kamis, 16 Januari 2025 lalu, sebanyak 40 siswa SD Negeri Dukuh 03, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami keracunan setelah mengonsumsi menu yang disediakan oleh program makan bergizi gratis (genmuslim.id). Selain itu, banyak pula penerima yang mengeluhkan ayam keras ataupun sayur yang kurang segar. Sejumlah pakar kesehatan pun menyayangkan menu MBG ini tidak memenuhi ketentuan gizi seimbang yang dibuat oleh Kemenkes. Hal ini menuai kritik masyarakat terkait kualitas makanan yang diberikan.
Tak hanya itu, sisi pendanaan pun menuai banyak kontroversi. Dari laman Tempo, Prabowo Subianto pernah menyatakan bahwa 10.000 rupiah cukup untuk satu porsi makanan bergizi per anak dan ibu hamil di daerah tertentu. Anggaran dalam APBN pun telah dialokasikan untuk program MBG sebanyak 71 triliun rupiah. Namun, pada 17 Januari 2025 lalu, Presiden Prabowo dengan sejumlah menteri Kabinet dan kepala BGN melakukan rapat membahas program MBG. Dadan Hindayana, selaku ketua BGN menyampaikan, untuk mencapai target 82.9 juta penerima MBG di akhir tahun 2025, dana yang dibutuhkan sebesar 100 triliun rupiah, artinya masih kurang 29 triliun rupiah lagi untuk tercapainya target tersebut. Untuk menutupi kekurangan biaya tersebut, banyak pihak yang mengusulkan sejumlah dana alternatif untuk menjadi solusinya. Beberapa usulan itu diantaranya mengambil dana zakat, dana cukai rokok, infaq masyarakat, dana sitaan koruptor, dan dana CSR perusahaan. Dana yang tidak sedikit, bahkan sejumlah program lain harus dipangkas untuk memberikan alokasi dana yang cukup besar untuk program MBG. Polemik yang ada menimbulkan pertanyaan, sudahkah direncanakan dengan matang program unggulan ini? Tepatkah program ini untuk mencapai tujuannya memperbaiki kualitas SDM Indonesia?
Islam Punya Sejarah dan Solusi
Program Makan Bergizi Gratis adalah program yang baik dengan tujuan yang mulia. Namun rasanya kurang tepat untuk dijadikan solusi bagi permasalahan stunting atau IQ yang rendah. Sejatinya, terbatasnya akses masyarakat terhadap makanan bergizi, pelayanan kesehatan yang berkualitas, juga lingkungan yang baik dan sehat merupakan faktor utama dari permasalahan stunting maupun kurang gizi pada anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan oleh Indonesia yang mengedepankan persaingan dan keuntungan, sehingga terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Termasuk kesulitan mencari dana untuk memenuhi program MBG, karena negara tidak memiliki sistem pengaturan kepemilikan sebagaimana yang dimiliki dalam sistem Islam. Oleh karena itu, sistem Islam sebenarnya adalah solusi yang tepat untuk permasalahan-permaslahan yang ada di Indonesia. Dengan menerapkan sistem kepemilikan yang terkontrol dan adil dalam Islam, bisa meminimalisir masalah yang kerap kali terjadi di sistem kapitalisme, seperti ketimpangan ekonomi ekstrem atau praktik ekonomi yang tidak berkelanjutan. Dalam Islam, kepemilikan umum seperti sumber daya alam adalah milik rakyat kemudian dikelola oleh pemerintah dan akan diberikan untuk kepentingan rakyat. Selain itu, disiapkan lapangan pekerjaan yang memadai untuk rakyat agar memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Negara Islam atau Khilafah akan membangun kedaulatan pangan yang ada dalam Departemen Kemaslahatan Umum yang akan bertanggung jawab menjaga kualitas pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Departemen ini juga akan melibatkan pakar-pakar yang terkait untuk memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan terkait pemenuhan gizi, pencegahan stunting, serta upaya meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Sebagai bukti sejarah, pada masa kekhilafahan Utsmani terdapat Imaret (dapur umum), Amy Singer peneliti dapur umum pada masa kekhilafahan Utsmani menulis Serving Up Charity: The Ottoman Public Kitchen, yang diterbitkan oleh Journal of Interdisciplinary History 2005, menceritakan bahwa pihak Kesultanan memberikan makanan gratis dengan jumlah banyak kepada individu yang kurang beruntung. Imaret ini pun beroperasi sejak abad 14 hingga abad 19 (khazanah.republika.go.id). Demikianlah Islam memuliakan manusia dengan syariatnya.
Wallaahu A’lam Bisshowwab