| 31 Views

80 Tahun Kemerdekaan RI: Merdeka atau “Mati”?

Oleh: Yessy Inqilaby

Benarkah Merdeka?
Hari Kemerdekaan RI tahun ini diperingati dengan meriah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Namun, usia delapan dekade Indonesia masih diliputi malapetaka. Mungkin secara fisik kita memang sudah merdeka, tetapi wajah penjajahan seolah sekedar berganti rupa. Berbagai problematika tak henti menerpa, mulai dari bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, hingga sosial budaya.

Di bidang politik, korupsi masih menjadi tradisi. Korupsi kuota haji di Kementerian Agama periode 2024. Kemudian kasus terbaru yakni dugaan korupsi penyaluran Bansos beras di Kementerian Sosial Tahun Anggaran 2025, dimana kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 200 miliar. (kompas.id, 20/08/2025). Belum lagi jika kita telusuri berbagai kasus megakorupsi di Indonesia, sebut saja korupsi PT Pertamina dan PT Timah yang kerugiannya mencapai lebih dari Rp 1000 triliun sepanjang tahun 2025.

Ironisnya, meski para koruptor-lah yang jelas merugikan negara, namun tetap saja rakyat yang justru menanggung beban berat akibat kedzaliman ini. Aneh tapi nyata. Ekonomi rakyat makin sekarat. Angka PHK meningkat 32,19% dibanding tahun lalu. (cnbcindonesia.com, 27/07/2025). Angka kemiskinan diklaim turun, tapi faktanya standar garis kemiskinan masih mengadopsi Purchasing Power Parity 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (Rp 20.000)/hari). Nominal yang sebenarnya sudah tidak relevan dengan berbagai harga barang dan jasa tahun ini.

Kapitalisasi SDA makin gencar, meski kerusakan alam yang ditimbulkan sudah sedemikian parah. Kasus-kasus pertambangan, alih fungsi lahan, hingga pagar laut menambah daftar panjang bukti ketidakberdaulatan rakyat atas tanah airnya sendiri. Belum lagi banyaknya pungutan dari negara yang nilainya makin tak masuk akal. Kenaikan PPN 12% dan PBB di berbagai daerah yang dikabarkan naik secara ekstrem hingga lebih dari 1000% menjadi pil pahit yang terpaksa harus ditelan oleh rakyat.

Bidang pendidikan tak kalah miris. Anggaran pendidikan memang meningkat namun tak berkorelasi dengan kualitas pendidikan beserta outputnya. Bahkan separuh dari anggaran tersebut dialokasikan untuk program MBG yang kontroversial dan terkesan sekedar kebijakan populis demi mempertahankan elektabilitas penguasa. Selain itu, persoalan kesehatan seperti stunting, gizi buruk, penyakit menular dan disparitas akses pelayanan kesehatan serta mahalnya biaya pengobatan juga masih menjadi beban di tengah masyarakat.

Pada aspek hukum pun, negeri ini seolah enggan berbenah. Hukum masih saja tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Penegak hukum kini makin tak punya harga diri, karena hukum bisa dibeli. Sistem peradilan yang tidak tegas dan masih dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu membuat masalah ini terus terulang. Kegagalan penegakan hukum ini membuat negara gagal melindungi rakyatnya, kepercayaan rakyat terhadap institusi hukum makin pudar. 

Problem sosial budaya juga makin menyesakkan dada. Globalisasi dan perkembangan teknologi menjadi pisau bermata dua yang dapat membantu sekaligus merusak masyarakat yang belum siap menerima transformasi digital. Berkembangnya gaya hidup liberal yang diimpor dari Barat seperti LGBT, grup-grup asusila di media sosial semacam grup Fantasi Sedarah, hingga tren pamer kemaksiatan semisal S-Line dan sebagainya telah berhasil menyeret generasi muda bangsa ini ke jurang keterpurukan yang dalam.

Akibat Sistem Kapitalisme
Seluruh problematika ini adalah realitas yang harus kita hadapi dan harga yang harus kita bayar akibat diterapkannya sistem kehidupan sekuler kapitalisme di Indonesia. Memang penjajah sudah pergi sejak 17 Agustus 1945 namun pengaruh dan cengkeramannya hingga kini masih eksis bahkan makin kuat dengan berbagai bentuknya. Alih-alih merdeka dan berdaulat, yang ada justru rakyat digiring menuju “kematian”. Demokrasi yang disanjung-sanjung hakikatnya adalah tipu muslihat dari Kapitalisme agar ia diterima sebagai nilai-nilai yang baik dan adil padahal ia hanyalah topeng dari penjajah itu sendiri.

Pada saat yang sama, isu radikalisme dijadikan kambing hitam seolah dialah biang kerok dari segala permasalahan negeri. Disebarkanlah opini bahwa ada kelompok “radikal” yang akan menghancurkan Indonesia, sembari menutupi aib-aib mereka yang menjadi kaki tangan penjajah. Lalu ide moderasi beragama dihembuskan seolah menjadi juru selamat atas carut marutnya negeri ini. Dakwah Islam kaffah dimonsterisasi dan dianggap bertentangan dengan moderasi tersebut agar masyarakat tidak menoleh pada ide perubahan hakiki.

Saatnya Menuju Kemerdekaan Hakiki
Indonesia adalah negeri mayoritas muslim. Tak bisa dimungkiri bahwa dahulu para pejuang-pejuang Islam-lah yang telah menyirami tanah ini dengan darah mereka sehingga para penjajah itu terusir. Jika makna merdeka adalah bebas dari segala bentuk penjajahan, maka selayaknya kita pun berusaha melanjutkan perjuangan para pahlawan dengan menolak semua penjajahan tersebut. 

Satu-satunya cara adalah dengan menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan kita. Syariat Islam telah mencakup berbagai solusi yang lengkap dan sempurna, mulai dari bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, hingga sosial budaya. Tanpa memaksakan agama kepada umat lain, Islam terbukti selama 1300 tahun berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan tanpa diskriminasi. Ya, Khilafah Islamiyyah terbukti berdaulat dan mampu mewujudkan kemerdekaan hakiki bagi seluruh warganya. Maka mengapa tidak kita terapkan kembali?.


Share this article via

23 Shares

0 Comment