| 18 Views

Tatanan Ketahanan Keluarga di Sistem Kapitalisme yang Rusak

Oleh : Umi Silvi
Aktivis Dakwah

Menilik kondisi hari ini dalam kehidupan keluarga yang merupakan lingkup terkecil dari sebuah kumpulan individu, kini dalam kondisi yang memprihatinkan. Pasalnya angka perceraian terus meningkat setiap tahunnya, sehingga keutuhan keluarga dalam kondisi terancam dan bercerai berai.

Masih melekat dalam ingatan kita, berbagai kasus pembunuhan yang dilakukan suami kepada istrinya di berbagai tempat di negeri ini, bahkan ada yang dimutilasi. Belum lagi kasus rudapaksa oleh ayah kandung atau tiri terhadap anak gadisnya.

Berita terbaru yang membuat kita mengelus dada dan prihatin adalah kasus pencabulan oleh ibu kandung terhadap anak laki-lakinya yang masih di bawah umur. Sang ibu tega melakukan hal itu, bahkan kemudian direkam karena diiming-imingi uang. Sungguh perbuatan ini sangat tidak pantas dilakukan, apalagi oleh seorang ibu terhadap anaknya sendiri.

Banyaknya kasus kejahatan dalam rumah tangga akhir-akhir ini tentu saja membuat miris, mengernyitkan dahi, sekaligus menyimpan tanya, mengapa semua itu bisa terjadi? Apakah masyarakat bangsa ini sudah kehilangan akal sehatnya atau telah rusak naluri kasih sayangnya? Di manakah fitrah kasih sayang antaranggota keluarga yang semestinya terjalin kuat yang membuat mereka saling mengasihi dan melindungi?

Kejahatan dalam keluarga sudah sedemikian maraknya, bahkan makin sadis dan tidak pandang bulu. Semua bisa jadi korban, entah anak, istri, ataupun suami. Tidak sedikit pula yang berujung pada kematian. Kondisi ini sesungguhnya menggambarkan masyarakat yang sakit. Kebebasan yang diagungkan sistem saat ini telah menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri, hingga ayah bahkan ibu kandung tega mencabuli darah dagingnya sendiri.

Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar, hawa nafsulah yang menjadi penentu. Begitulah ketika liberalisme telah menghilangkan ketakwaan individu. Tatkala kapitalisme menjadi pijakan dalam kehidupan, setiap orang merasa bebas berbuat semaunya. Agama tidak lagi dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan. Akal sehat dan naluri mereka terkalahkan oleh hawa nafsu. Masyarakat pun abai melakukan amar makruf nahi mungkar karena kapitalisme cenderung melahirkan sosok-sosok individualis.

Terlebih lagi, negara dalam sistem rusak ini sangat lemah dalam memperhatikan urusan rakyatnya. Keamanan rakyatnya pun tidak mampu mereka berikan. Mau tidak mau, rakyat harus melindungi dirinya sendiri dan keluarganya. Namun, ketika orang yang bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya hari ini pun tidak mampu melindungi, jelas makin hancurlah tatanan keluarga di negeri ini.

Sistem hidup kapitalisme yang mencengkeram sungguh telah membunuh naluri kasih sayang antar-anggota keluarga. Bagaimana tidak? Sistem ini menciptakan berbagai tekanan hidup, kerusakan moral, dan gaya hidup bebas yang menjadi latar belakang kejahatan di tengah keluarga.

Kapitalisme juga merusak sendi-sendi kehidupan manusia, menyebabkan porak-porandanya bangunan keluarga. Pernikahan yang sejatinya merupakan ikatan suci yang seharusnya dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang, dijaga agar langgeng sampai maut memisahkan, ternyata malah hancur berantakan.

Saat ini, kita dihadapkan pada rapuhnya ketahanan keluarga yang berakhir pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tidak jarang, anak-anak menjadi korban—kekerasan, kerusakan mental, hingga pembunuhan—akibat problem orang tua yang tidak berkesudahan. Kerapuhan itu akan terus menjadi memori negatif dalam perkembangan anak di masa depan.

Hal tersebut tentu didorong oleh sejumlah faktor, mulai dari rendahnya kesejahteraan dalam rumah tangga, kebutuhan ekonomi yang kurang terpenuhi, ketidaksiapan mentalitas dalam menghadapi sejumlah tantangan berkeluarga, hingga trend hidup hedonis dan cenderung berlebih-lebihan.

Maka ketahanan keluarga perlu menjadi perhatian khusus sejumlah pihak. Membangun ketahanan keluarga menmbutuhkan kemampuan dalam mengelola sumber daya dan masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan keluarga. Menurut UU 10/1992, ketahanan keluarga adalah kemampuan dan keuletan keluarga dalam menghadapi kondisi dinamik yang membutuhkan kematangan fisik dan psikis.

Dewasa ini, ketahanan keluarga dihadapkan pada sejumlah tantangan kompleks yang mempengaruhi dinamika keberlanjutan keluarga. Beberapa persoalan yang melatar belakanginya diantaranya adalah perubahan pola hidup modern di mana globalisasi dan teknologi membawa perubahan signifikan dalam pola hidup masyarakat. Kesibukan yang tinggi, ketergantungan pada teknologi, dan mobilitas tinggi dapat menyebabkan keluarga terfragmentasi dan sulit untuk menjaga kualitas waktu bersama. Kondisi ekonomi yang tidak stabil seringkali menambah tingkat stres di dalam keluarga. Tidak hanya itu, hal ini juga turut menyumbang peningkatan angka perceraian, penikahan anak usia muda dan menggeser nilai-nilai keluarga tradisional. Selain itu, terjadinya krisis ekonomi yang disebabkan oleh faktor global seperti resesi ekonomi, dapat memberikan tekanan ekstra pada keluarga.

Pengaruh selanjutnya adalah perkembangan media sosial dan digitalisasi yang berdampak signifikan pada interaksi keluarga. Tidak semua anggota keluarga memiliki akses yang setara terhadap pendidikan berkualitas. Ketidaksetaraan ini dapat membatasi potensi perkembangan anggota keluarga dan menambah tekanan ekstra pada sistem keluarga. Selanjutnya adalah kurangnya kesehatan mental, dimana masih banyak keluarga yang kurang menyadari dalam mengatasi masalah kesehatan mental. Hal ini dapat berdampak pada hubungan dan ketahanan keluarga secara keseluruhan.

Menganalisis lebih dalam dengan kondisi keluarga hari ini, dimana banyak faktor yang menyebabkan hancurnya sebuah pernikahan yang mengakibatkan anak-anak mengalami kondisi broken home, ketika tidak ada pendidikan yang sempurna. Sebetulnya penyebab dari semua penyebab yang terjadi atas banyaknya permasalahan keluarga ataupun pernikahan karena diterapkannya sistem sekulerisme dengan kapitalismenya yang telah menjauhkan kaum muslim dari agamanya sehingga menyebabkan rapuhnya akidah dan pemahaman akan Islam, menjadikan kondisi kaum muslim terbawa arus tatanan globalisasi yang notabenenya menjadikan materi sebagai sumber kebahagiaan, Padahal bagi seorang muslim kebahagiaan hakiki adalah menjadikan Islam sebagai way of life (jalan hidup), menjadikan hidup ada dalam sistem Islam sehingga kelak akan masuk surga.

Jauh dari panggang api, ketika mengharapkan ketahanan keluarga yang kokoh tapi masih bertahan dalam suatu tatanan sistem yang rusak hari ini, seakan ini solusi tambal sulam. Tatanan keluarga hari ini dibina oleh aturan yang menjauhkan mereka dari fitrahnya sebagai seorang muslim, mereka di didik dengan faham sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, moderasi beragama, hedonisme, materialisme dan isme-isme lainnya. Bukan Islam yang menjadi standar dalam kehidupan, Harusnya kaum muslim berprogres menuju keluarga yang kokoh hanya bisa terwujud dalam tatanan sistem yang shahih yakni sistem Islam, jika masih menggunakan sistem dan tatanan globalisasi tidak akan mampu mewujudkan keluarga yang kokoh. Maka, Jadikanlah akidah Islam sebagai sumber dari segala sumber dalam menyelesaikan problematika yang terjadi dalam keluarga, sebagian dalam Islam sudah ditanamkan pemahaman bahwa pernikahan bertujuan untuk ibadah dan untuk melanjutkan kehidupan manusia. Kemudian ada peran suami dan istri dalam hak dan kewajiban masing-masing yang sudah diatur dalam Islam dengan rinci. Misalnya, suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga juga berkewajiban pencari nafkah, sedangkan istri sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga. Hak dan kewajiban ini tidak akan pernah bisa ditukar ataupun tertukar.

Keluarga adalah sel yang membentuk inti dari masyarakat. Dalam dinamika kehidupan sehari-hari, keluarga memainkan peran yang tak tergantikan dalam membentuk karakter, memberikan dukungan, dan menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis. Katahanan keluarga diartikan sebagai kemampuan sebuah keluarga untuk bertahan dan pulih dari tekanan, tantangan, serta krisis yang mungkin dihadapi selama perjalanan kehidupan.

Membangun ketahanan keluarga menjadi suatu keharusan, karena keluarga yang kuat akan menciptakan individu-individu yang stabil secara emosional dan psikologis. Ketahanan keluarga juga menjadikan keluarga mampu sebagai pelindung dan penyeimbang dalam menghadapi krisisi-krisis seperti permasalahan ekonomi, kesehatan, atau perubahan dalam dinamika keluarga. Katahanan keluarga juga memberikan dasar kuat untuk menanamkan nilai-nilai positif, moralitas, dan etika kepada anggota keluarga, yang kemudian membentuk individu yang berkontribusi positif pada masyarakat. Selain itu ketahanan keluarga akan memberikan keseimbangan antara hidup pribadi dan professional, pencegahan terhadap pergeseran nilai, peningkatan kesehatan mental dan emosional dan pemantapan generasi penerus serta konribusi pada pembangunan sosial.

Oleh karena itu, ketahanan keluarga dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Perbaikan internal dapat dilakukan dengan mengaktivasi kembali fungsi kehidupan berkeluarga, yang meliputi fungsi edukatif, fungsi spiritual, fungsi ekonomis, dan fungsi biologis

Fungsionalisasi kehidupan berkeluarga tentu melibatkan semua anggota keluarga di dalamnya. Setiap anggota keluarga memiliki kewajiban dan haknya masing-masing. Peran setiap masing-masing dari mereka saling mempengaruhi satu sama lain.

Inilah mengapa Alquran menekankan pentingnya memelihara keluarga dari perkara-perkara yang mengancam ketahanannya dalam bentuk bentuk apapun.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS at-Tahrim ayat 6). 

Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar, hawa nafsulah yang menjadi penentu. Begitulah ketika liberalisme telah menghilangkan ketakwaan individu. Tatkala kapitalisme menjadi pijakan dalam kehidupan, setiap orang merasa bebas berbuat semaunya. Agama tidak lagi dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan. Akal sehat dan naluri mereka terkalahkan oleh hawa nafsu. Masyarakat pun abai melakukan amar makruf nahi mungkar karena kapitalisme cenderung melahirkan sosok-sosok individualis.

Terbukti, selama belasan abad, sejarah peradaban Islam tertulis dengan tinta emas. Sampai-sampai sejarawan Barat bernama Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization menulis, “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah, dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.”

Jelaslah, ke-sakînah-an, kebahagiaan dan kesejahteraan hanya bisa diraih dalam keluarga yang menerapkan aturan Islam.  Keluarga yang terikat syariah dalam menjalani biduk rumah tangganya akan menjadi keluarga Muslim pembangun peradaban.

Padahal telah sangat nyata bahwa ada sebuah sistem kehidupan yang datang dari Allah SWT, sang Pencipta Yang Maha Pengatur, Yang sangat paham tentang mahluk ciptaan-Nya. Itulah sistem Islam yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal yang pada akhirnya akan membawa pada ketentraman.

Semua ini akan terwujud jika Khilafah tegak di muka bumi ini. Hanya Khilafah yang akan mampu menjamin ketahanan keluarga. Betapa Islam dengan hukum-hukum syariah yang diterapkan oleh Khilafah bakal mampu memposisikan umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak, pada posisi yang mulia dan terhormat.


Share this article via

18 Shares

0 Comment