| 153 Views

Tarif PPN Naik, Akankah Ekonomi Membaik?

Oleh : Ratna Ummu Nida

Belum genap satu bulan pemerintahan baru dilantik namun sudah berencana menghadiahkan kado pahit buat rakyat. Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula 11 persen menjadi 12 persen dan akan diberlakukan paling lambat 1 Januari 2025. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan bahwa penerapan tarif PPH tersebut sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) (republika.co.id, 14/11/2024).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan PPN tersebut guna menjaga kesehatan Anggaran Belanja Negara (APBN) pasca krisis global akibat pandemi covid-19 yang banyak memakai dana APBN. Kenaikan tarif PPN ini juga bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Selain itu Sri Mulyani juga menambahkan, penyesuaian tarif ini juga dimaksudkan agar sejalan dengan standar internasional, mengingat tarif PPN di Indonesia sebelumnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain (antaranewas.com, 16/11/2024).

Kenaikan PPN ini tentu berdampak pada perekonomian masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Karena berpotensi menimbulkan kenaikan harga-harga, termasuk harga kebutuhan bahan pokok makanan. Banyak masyarakat mengeluhkan kenaikan harga barang dan jasa, bahkan sebelum PPN ini diberlakukan sehingga masyarakat tambah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh para pengusaha. Adanya penambahan tarif PPN membuat biaya faktor input produksi, yaitu bahan baku produksi, menjadi semakin mahal. Bertambahnya biaya tersebut akan membuat pengusaha mempertimbangkan untuk melakukan penambahan harga jual produk mereka di pasar (kumparan.com, 17/11/2024).

Arin Setyowati, Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), mengatakan bahwa kebijakan ini akan mempengaruhi konsumsi, investasi dan stabilitas ekonomi nasional. Bagi ekonomi rumah tangga, kenaikan PPN di angka 12% akan langsung meningkatkan harga barang dan jasa. Dengan kontribusi konsumsi rumah tangga sekitar 55%-60% terhadap PDB, tentu kenaikan harga dapat menurunkan daya beli masyarakat terutama dari kelas bawah (um-surabaya.ac.id, 21/11/24).

Pertanyaannya, benarkah dengan menaikkan tarif PPN akan memperbaiki kesehatan ekonomi dan lepas dari ketergantungan utang? Ataukah hanya akan menambah lagi angka kemiskinan?

Pemerintahan yang menganut sistem ekonomi kapitalisme memang hanya mengandalkan pendapatan utamanya yaitu dari pajak dan utang. Sementara sumber kekayaan alam yang harusnya dikelola untuk kepentingan rakyat justru diserahkan kepada pihak asing dan swasta. Alhasil seluruh lapisan masyarakat harus menanggung beban pajak dan beban hidup yang kian tahun kian meningkat, namun tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan. Sehingga angka kemiskinan akan terus bertambah.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang hanya mengandalkan 2 sumber pendapatan, yang bahkan keduanya justru selalu menambah beban rakyat, dalam sistem Islam (Khilafah) memiliki banyak sumber pendapatan yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sungguh akan kita temukan perbedaan yang mendasar dan mencolok dari sistem Kapitalisme.

Dalam kitab Al-amwal, Abdul Qadim Zallum menuliskan bahwa sumber pendapatan dalam negara Islam (Khilafah) terdiri dari 12 kategori: pendapatan dari harta rampasan perang (anfaal, ghaniimah, fai dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; pungutan dari non-Muslim yang hidup dalam Negara Islam (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; harta rikaz dan tambang; harta yang tidak ada pemiliknya; harta orang-orang murtad; pajak; dan zakat.

Sementara pajak hanya akan dipungut ketika kas negara benar-benar kosong, sedangkan ada kebutuhan yang wajib dipenuhi negara dan akan terjadi dharar (bahaya) jika tidak dipenuhi. Setelah kebutuhan terpenuhi maka pemungutan pajak dihentikan. Dengan kata lain pajak hanya bersifat insidental saja. Pajak tersebut hanya dipungut kepada orang laki-laki dewasa kaya dan tidak menjadi pemasukan rutin dan utama. Pajak tidak dipungut dari perempuan, anak-anak, fakir miskin dan orang kafir.

Wallahu'alam a'lam.
 


Share this article via

167 Shares

0 Comment