| 173 Views

Tapera, Solusi Atau Ilusikah?

Oleh : Ummu Raffi 
Ibu Rumah Tangga 

Memiliki rumah layak huni merupakan dambaan setiap masyarakat. Sebagaimana sandang dan pangan, kebutuhan papan atau tempat tinggal adalah hal pokok yang harus terpenuhi agar masyarakat dapat hidup dengan layak. Namun sayang, saat ini harapan memiliki rumah hanyalah impian yang tak jelas kapan terwujud bagi sebagian kalangan masyarakat. Mengingat harga hunian kian meroket, serta upah yang minim.

Ditambah lagi, dengan rencana pemerintah akan memotong upah setiap pekerja di sektor formal untuk pelaksanaan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Alhasil penghasilan pun semakin berkurang, berdampak menambah beban penderitaan rakyat.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2024, mewajibkan para pekerja swasta menjadi peserta Tapera. Dalam hal ini, menuai reaksi penolakan di kalangan masyarakat khususnya pekerja dan pengusaha. Tersebab diberlakukannya kebijakan baru, yakni akan memotong upah pekerja sebesar 3 persen. Bagi pekerja swasta 2,5 persen ditanggung pekerja, dan 0,5 persen dibayar pengusaha. Padahal, sebelumnya hanya berlaku untuk pegawai negeri sipil saja. Kini kepesertaan Tapera diwajibkan bagi seluruh pekerja, meliputi TNI, Polri, ASN, karyawan BUMN/BUMD/BUMDes, pekerja mandiri yang berpenghasilan UMR, pekerja swasta. (Kompas.id, 4/6/2024)

Pemerintah memperluas kepesertaan Tapera dengan alasan, dana yang terkumpul dari program ini bertujuan untuk membantu masyarakat memiliki rumah layak huni dan terjangkau. Melalui program Tapera inilah rakyat dipaksa saling menanggung, baik yang kaya maupun miskin, sama seperti halnya BPJS.

Pemerintah seakan-akan berempati atas kondisi masyarakat yang belum memiliki rumah. Padahal ini membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Khususnya kebutuhan papan yakni tempat tinggal yang layak, aman, nyaman dan murah bagi masyarakat miskin.

Dalam sistem kapitalisme liberal, iuran atau pajak dan utang merupakan sumber pendapatan negara. Dananya diperoleh dari setiap kebijakan pemerintah, digulirkan melalui undang-undang, dan dibebankan kepada seluruh rakyat. Tak peduli halal haram, sebab bertolok ukur hanya mendapatkan keuntungan semata.

Tapera bukanlah solusi agar masyarakat segera memiliki rumah, melainkan ilusi yang mendzalimi rakyat. Sungguh miris, nasib rakyat dalam sistem kapitalisme. Rakyat dipaksa berjuang sendiri demi memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti kesehatan, pendidikan, sandang, dan pangan yang kian melonjak. Negara seolah berlepas tangan dari kewajiban memenuhi dan melayani kebutuhan rakyatnya. Negara hanya berperan sebagai regulator dan berpihak pada kepentingan segelintir orang.

Kebobrokan kapitalisme, membuktikan gagalnya sistem ini dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan perumahan bagi rakyat miskin. Apalagi mencapai kesejahteraan, hanyalah isapan jempol belaka.

Sangat berbeda penanganan pemenuhan kebutuhan pokok dalam sistem Islam. Sistem yang berasal dari Dzat Sang Maha Pencipta. Aturannya membawa rahmat bagi seluruh alam.

Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat seperti, sandang, pangan, dan papan merupakan tanggung jawab negara. Rasulullah Saw bersabda, "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan Ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya." (HR Bukhari)

Oleh karena itu, sosok pemimpin sebagai pelayan rakyat, harus berupaya mencukupi semua kebutuhan individu masyarakat termasuk menyediakan hunian yang layak. Hal ini akan terealisasi jika syariat Islam diterapkan secara kaffah. Dengan begitu, ketika kebijakan diberlakukan dapat memudahkan masyarakat memiliki rumah yaitu dengan mekanisme sebagai berikut: 
Pertama, negara menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Bukan malah sebaliknya, meraup  keuntungan dari rakyat, atau mengalihkan dana perumahan kepada pihak properti untuk dikomersilkan demi mendapatkan pundi-pundi rupiah. 

Kedua, negara akan memberikan kemudahan mendapatkan lapangan kerja. Kemudian memfasilitasi kredit hunian yang terjangkau sesuai syariat tanpa bunga dan denda. Sedangkan bagi rakyat miskin, negara langsung membangunkan rumah di lahan-lahan milik negara dengan cara gratis, untuk kesejahteraan umat.

Dalam Islam, pajak atau iuran bukanlah sumber pendapatan negara. Kecuali kas negara kosong, pada saat terjadi bencana sehingga sangat dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat yang terdampak. Namun pajak yang dipungut pun hanya dari orang kaya, tidak dibebankan kepada semua rakyatnya.

Ketiga, dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Negara mengambil harta baitul mal, yang berasal dari pos fa'i dan kharaj serta pos milkiyah ammah yakni kepemilikan umum seperti, hutan, tambang, laut dan lainnya. Kepemilikan umum harus dikelola negara. Haram hukumnya diserahkan kepada korporat. Kemudian hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan seluruh umat, termasuk pemenuhan tempat tinggal.

Dengan demikian, hanya sistem Islam solusi atasi masalah pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, baik sandang, pangan, maupun papannya. Didasari keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Sosok pemimpin dalam Islam, memiliki sifat wara' (kehati-hatian). Sehingga ketika memberikan kebijakan, berusaha untuk tidak menimbulkan kemudharatan, apalagi hingga menyengsarakan rakyatnya. Alhasil, kesejahteraan dan keberkahan pun dapat dirasakan seluruh umat, baik muslim maupun non muslim mendapatkan perlakuan yang sama.

Wallahua’lam bissawab.


Share this article via

114 Shares

0 Comment