| 22 Views

Tanah Terlantar Diambil Negara, Akankah Dikelola Untuk Rakyat?

Oleh : Rifdah A Brahim

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih negara.  Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.

Tanah-tanah telantar itu jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara, terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak, nah itu akan diidentifikasi oleh negara,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, Rabu (16/7/2025). Lantas kriteria tanah terlatar apa saja yang bisa diambil oleh negara? 

Harison menjelaskan bahwa seluruh tanah dengan hak sesuai hukum pertanahan di Indonesia bisa menjadi objek tanah telantar.  Ini meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL), dan Hak Pakai. Ia mencontohkan, pada lahan berstatus HGU dan HGB, pemilik wajib melampirkan proposal usaha, rencana bisnis, hingga studi kelayakan saat pendaftaran.  Umumnya, HGU digunakan untuk perkebunan, sedangkan HGB diperuntukkan bagi pembangunan perumahan, ruko, dan pusat perbelanjaan.

Jika tidak ada perkembangan usaha dalam waktu dua tahun, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN akan menginventarisasi dan mengidentifikasi lahan tersebut sebagai potensi tanah telantar. Lahan berstatus Hak Milik juga dapat ditetapkan sebagai tanah telantar jika sengaja tidak digunakan atau dimanfaatkan hingga akhirnya dikuasai pihak lain. Misalnya, tanah berubah menjadi permukiman selama 20 tahun tanpa sepengetahuan pemilik atau tanpa hubungan hukum. Menurut Harison, banyak konflik lahan berawal dari tanah kosong yang dianggap tidak bertuan lalu diduduki orang lain. “Padahal kalau dia bisa, pasang pagar saja, pagar sederhana, pagar bambu, pagar seng, yang menunjukkan bahwa tanah ada yang punya. Syukur-syukur kalau memang di atas lahannya sudah ada rumah atau bangunan, atau ada apa gitu,” jelasnya

Meski begitu, Harison menegaskan bahwa tanah Hak Milik jarang ditelantarkan karena umumnya bersifat turun-temurun, seperti pekarangan atau rumah warisan. Tanah seperti itu tidak masuk kategori tanah telantar karena identitas kepemilikannya jelas dan diketahui oleh warga sekitar serta pemerintah desa, apalagi jika sudah bersertifikat.

Kementerian ATR/BPN tidak serta-merta mengambil alih tanah yang tidak digunakan. Pihaknya akan memeriksa alasan di balik kondisi lahan yang kosong. “Dicek dulu kenapa kosong? Misalnya pemilik bilang, ‘Oh ini Pak, dari planning bisnis kami, tahun ini memang akan begini,’ atau ada alasan-alasan teknis lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Harison, Kamis (17/7/2025). Jika pemilik tidak bisa memberikan penjelasan yang layak, kementerian akan mengirimkan surat peringatan hingga tiga kali. Jika tidak ada perubahan, tanah itu bisa ditetapkan sebagai tanah telantar dan diambil alih negara. Oleh karena itu, aturan ini lebih menyasar tanah kosong yang dibiarkan begitu saja tanpa pagar, bangunan, atau pemanfaatan seperti  perkebunan

Segala sesuatu yang dilangit dan di bumi ini miliknya Allah Subhanallahu wata'ala termasuk didalamnya adalah tanah.

Tanah adalah kebutuhan dasar manusia dalam membuat tempat tinggal, mata pencaharian, perkebunan atau perdagangan namun sayangnya dalam sistem Kapitalisme tanah dijadikan sebagai komoditas, bukan amanah publik.

Faktanya lebih banyak tanah yang dikuasai olah korporasi besar, padahal di saat yang sama rakyat kecil kesulitan memiliki lahan Untuk tempat tinggal, bertani atau berdagang.

Negara memberikan fasilitas kepada pemodal, bukan sebagai pelindung dan penyedia hak rakyat. Dikhawatirkan Penarikan tanah telantar ini dapat menjadi celah pemanfaatan tanah untuk oligarki 

Di saat yang sama, banyak tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum justru dibiarkan terbengkalai. Pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan. Kapitalisme menjadikan semua hal  termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan investor.

Dalam Khilafah atau sistem islam tanah terbagi menjadi tiga jenis kepemilikan: individu, negara, dan umum. Negara tidak boleh menyerahkan tanah negara untuk dikuasai individu/swasta tanpa batas. Begitu pula tanah individu tidak boleh di kuasai oleh negara atau korporat.

Islam dengan sistemnya akan mengelola tanah-tanah milik negara untuk proyek strategis yang menyentuh kebutuhan rakyat: permukiman, pertanian, infrastruktur umum. Bukan untuk dijual ke asing atau dikuasai korporasi yang tujuannya untuk mencari keuntungan melainkan kesejahteraan dan keberkahan untuk semua rakyat 

Islam memiliki mekanisme pengelolaan tanah termasuk tanah terlantar dan tanah mati, tidak serta merta tanah yang mati di ambil negara melainkan dikaji lebih dalam,  tanah yang sudah jelas statusnya tanah mati atau tanah terlantar dalam islam akan diambil negara dan diberikan ke pada individu yang benar benar ingin menghidupi tanah tersebut. Negara tidak memberikannya kepada perusahaan swasta apalagi asing yang keuntungannya dinikmati oleh segelintir orang.

Begitulah islam memandang tanah adalah poros kehidupan yang allah berikan kepada manusia untuk dimanfaatkan sebenar benarnya agar terwujudnya kesejahteraan.

Wallahu'alam bishowab.


Share this article via

18 Shares

0 Comment