| 6 Views
Sudah Delapan Dekade Merdeka, Namun Pendidikan Masih Sangat Jauh Dari Harapan

Oleh : Sumarni Ummu Suci
Setelah 80 tahun merdeka, wajah pendidikan negeri ini masih menyisakan banyak catatan. Kurikulum yang belum berhasil melahirkan generasi berkepribadian mulia hanyalah satu sisi masalah.
Disisi lain ketidak merataan infrastruktur pendidikan menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Delapan dekade kemerdekaan tentu bukan waktu yang singkat. Seharusnya sudah banyak perbaikan yang bisa dirasakan oleh seluruh anak bangsa.
Namun kenyataannya tidak demikian. Fasilitas pendidikan di pelosok negeri kerap terabaikan. Seolah tak pernah menjadi prioritas.
Salah satu potret nyata itu bisa dilihat di Sekolungu Utara Selawesi Selatan. Disana berdiri SD Negri 84 Ambalong Desa Embonatana. Para siswa harus belajar diruang kelas sederhana dengan lantai tanah dan dinding papan. Sebagian papan dinding sudah lapuk, bahkan berlubang. Papan tulis kayu dibagian depan sudah rentah dengan 2 lubang menganga tepat ditengahnya.Ruang kelas yang mereka tempati sungguh jauh dari gambaran ruang kelas yang layak di kota. (Sumber : www.kompas.id)
Meski demikian, semangat para siswa tetap menyala dan para guru pun tak lelah mendidik. Mereka bertahan di tengah keterbatasan sambil menyimpan harapan sederhana. Suatu saat akan ada perbaikan. (Sumber : www.kompas.id)
Kondisi samakin menyedihkan ketika menengok akses jalan menuju desa ini. Jalan tanah yang belum tersentuh aspal berubah jadi kubangan lumpur saat hujan turun.
Jalur terjal penuh tanjakan dan turunan hanya bisa dilewati motor. Itupun dengan modifikasi khusus agar mampu menembus becek genangan hingga sungai. (sumber : www.kompas.id)
Jembatan kayu kecil yang menghubungkan desa - desa pun sudah rapuh menambah berat perjuangan warga untuk sekedar menjalani kehidupan sehari - hari.
Ironisnya, hingga hari ini listrik pun belum pernah benar - benar tersambung ke desa tersebut.Anak - anak harus belajar dengan penerangan seadanya.
Kisah di Seko hanyalah secuil dari potret buram pendidikan di pelosok negeri. Masih banyak di sekolah - sekolah serupa yang ada di wilayah terkecil seperti Seko.
Dibalik semangat anak - anak yang tetap belajar meski duduk di lantai tanah tersimpan pilu tentang janji kemerdekaan yang belum benar - benar mereka rasakan.
Kesenjangan pendidikan yang terjadi hari ini sejatinya bukan sekedar persoalan teknis kurikulum atau lemahnya pemerataan fasilitas. Masalah ini jauh lebih mendasar yaitu buah dari sistem yang diterapkan di negeri ini.
Pendidikan tidak akan berdiri kokoh jika tidak di timpang oleh sistem ekonomi dan politik yang benar. Dari sinilah arah kebijakan, pemerataan pembangunan, distribusi kekayaan hingga akses layanan publik diputuskan.
Fakta di lapangan menunjukan adanya polarisasi yang sangat tajam. Kota - kota besar tumbuh dengan pembangunan yang masif, karena dianggap punya nilai ekonomi, kaya sumber daya, strategis sebagai jalur distribusi barang dan jasa.
Wajar jika fasilitas publik, termasuk pendidikan lebih mudah diakses di daerah - daerah ini. Sebaliknya daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) nyaris terabaikan.
Masyarakat disana dipaksa bertahan dalam kondisi serba terbatas, termasuk ketika harus mengenyam pendidikan dengan fasilitas yang sangat minim.
Sejatinya diskriminasi pendidikan tidak hanya terjadi di daerah terpencil, bahkan di kota - kota besar banyak keluarga tidak mampu menyekolahkan anak mereka ke sekolah berkualitas karena biaya yang tinggi.
Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan membuat kualitas sekolah akhirnya ditentukan oleh isi dompet. Semua ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem Kapitalisme liberal. Sistem yang berorientasi pada keuntungan segelintir korporat bukan pada kesejahteraan rakyat.
Disisi lain, negara hanya berperan sebagai regulator yang abai terhadap tanggung jawabnya dalam menjamin pendidikan berkualitas dan merata bagi seluruh rakyatnya. Dan pemimpin seperti ini niscaya lahir dalam sistem demokrasi Kapitalisme.
Islam menawarkan jalan yang mencerahkan. Dalam negara Islam yang disebut khilafah, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan dasar publik yang wajib dipenuhi negara. Paradigmanya jelas.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
"Imam (Kholifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya". (HR.Al Bukhori)
Karena itu khilafah memastikan seluruh warga negaranya, muslim maupun non muslim, kaya atau miskin, di kota atau di pelosok mendapatkan akses pendidikan yang sama, gratis dan berkualitas.
Tidak ada komersialisasi, tidak ada liberalisasi semua yang terkait pendidikan mulai dari sarana prasarana, gaji guru, media pembelajaran hingga tunjangan siswa menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya.
Tak hanya itu, semua sarana dan prasarana infrastruktur juga disediakan oleh negara. Jalan , jembatan dan sarana transportasi lainnya tidak akan dibiarkan rusak atau terabaikan.
Karena semua itu adalah fasilitas publik yang menunjang aktivitas masyarakat termasuk dalam menempuh pendidikan.
Negara akan memastikan adanya jalan yang memadai hingga ke pelosok. Sehingga akses menuju sekolah, pasar, layanan kesehatan maupun pusat aktivitas lain dapat ditempuh dengan mudah.
Untuk menempuh itu, khilafah menjalankan kebijakan ekonomi syari'ah. Sumber daya alam tidak boleh dikuasai individu atau swasta.
Kekayaan alam dikelola negara dan hasilnya masuk ke kas Baitul Maal, tepatnya pada pos kepemilikan umum. Dari pos ini lah negara membiayai pendidikan dan layanan publik lainnya.
Dengan sistem Islam bukan hanya pendidikan yang di jamin tetapi juga kebutuhan pokok lain seperti pekerjaan, pangan dan kesehatan.
Negara memastikan setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan layak agar bisa memenuhi gizi keluarganya. Dengan cara ini kesejahteraan rakyat benar - benar terwujud. Bukan sekedar selogan kosong.
Wallahua'lam bisshawab.