| 5 Views

Sekolah Dimerger, DPR Dimanjakan : Solusi Islam atas Ketimpangan Anggaran Publik

Oleh : Widiawati A.Md.A.K
Aktivis Dakwah Remaja

Dinas Pendidikan Kota Bekasi berencana menggabungkan sekitar 50 Sekolah Dasar Negeri (SDN). Langkah ini diambil untuk meningkatkan efisiensi pembelajaran dan mengoptimalkan penggunaan fasilitas, serta tenaga pengajar. Menurut Sekretaris Disdik, Warsim Suryana, kebijakan ini bukan karena kekurangan murid secara umum, melainkan karena adanya sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang relatif sedikit (di bawah 500 siswa), serta lokasi sekolah yang berdekatan satu sama lain. Di beberapa wilayah, jumlah anak usia sekolah juga mulai menurun, atau banyak yang memilih sekolah swasta. Beberapa gedung sekolah yang tidak lagi dipakai nantinya bisa digunakan untuk pembangunan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN)  baru, terutama di daerah yang belum memiliki sekolah lanjutan tingkat pertama negeri.

Dari total sekitar 56 sekolah yang masuk usulan merger, ada kemungkinan 28 sekolah akan dihapus, digabung, atau diubah statusnya. Namun, semua ini masih dalam proses kajian dan perlu melalui sosialisasi ke para kepala sekolah dan para orang tua siswa sebelum benar-benar diterapkan. Langkah ini diharapkan bisa menjawab tantangan pendidikan di tengah perubahan demografi dan kebutuhan fasilitas yang lebih merata. (Rakyatbekasi.com, 22/5/2025)

Dalam Islam, prinsip keadilan adalah fondasi dalam kepemimpinan dan pengelolaan sumber daya umat. Seorang pemimpin diwajibkan untuk bersikap adil dan memastikan bahwa pengeluaran negara bermanfaat luas, terutama untuk rakyat yang paling membutuhkan.

Allah taala berfirman yang artinya,
"Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS. An-Nisa: 58) 

Jika merger dilakukan untuk meningkatkan efisiensi tanpa mengurangi kualitas pendidikan, maka hal itu sejalan dengan prinsip efisiensi dan keadilan dalam Islam. Pengelolaan sumber daya publik harus diarahkan untuk kemaslahatan umat, bukan hanya mempertahankan struktur yang tidak efektif.

Namun, kontrasnya muncul ketika rakyat diminta untuk berhemat hingga sekolah-sekolah digabung, sedangkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) justru menerima gaji dan tunjangan yang sangat tinggi, bahkan berlipat-lipat dari kebutuhan pokok, tetapi tidak sepadan dengan kinerjanya. Gaji pokok DPR yang tinggi, ditambah sederet tunjangan, seperti tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan, dapat menjadi beban moral bila tidak disertai dengan produktivitas tinggi, mengingat minimnya RUU yang diselesaikan, kemudian transparansi, akuntabilitas, serta kepedulian terhadap urusan rakyat, termasuk kebutuhan pendidikan. (Kompas.com, 26/8/2025)

Pendidikan seharusnya menjadi sektor utama, bukan malah ditekan atau dipangkas dengan dalih efisiensi. Ketika sekolah-sekolah negeri digabung karena keterbatasan siswa, sementara sekolah swasta berkembang, maka ada krisis distribusi sumber daya dan kepercayaan publik terhadap pendidikan negeri.

Dalam sistem pemerintahan Islam, keuangan negara dikelola dalam lembaga bernama Baitul Mal, yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan dana publik secara adil dan terukur. Jika sistem Baitul Mal diterapkan, gaji para pejabat negara tidak akan melebihi batas wajar. Semua tunjangan harus dibenarkan berdasarkan maslahat umat, bukan kesepakatan elite. Islam tidak melarang pejabat menerima gaji, tetapi Islam menolak tunjangan berlebihan yang tidak sepadan dengan beban tugas dan manfaatnya bagi umat.

Khalifah Umar bin Khattab pernah memotong tunjangan pejabat gubernur yang dinilai hidup terlalu mewah, padahal hasil kerjanya baik. Pada masa kepemimpinannya, pejabat bernama Mu’adz bin Jabal dan Amr bin Ash dibatasi pengeluarannya dan diperiksa kekayaannya secara berkala. Pejabat harus memberikan laporan kekayaan dan penghasilan (mirip: LHKPN), dan tidak boleh menerima hadiah pribadi selama menjabat.

Islam membangun sistem sosial yang menjamin kebutuhan dasar masyarakat tanpa harus mengorbankan mutu layanan publik. Tidak perlu menekan sekolah-sekolah untuk berhemat, jika sistem wakaf dan zakat dikelola profesional untuk mendukung pendidikan. Islam melarang sistem utang berbasis riba, yang dalam banyak kasus menyebabkan defisit anggaran negara, penghematan di sektor publik (seperti pendidikan) karena beban cicilan utang. Dengan menghapus riba dan reformasi sistem ekonomi Islam, negara tidak perlu "mengorbankan sekolah" demi bayar cicilan utang.

Islam bukan hanya agama, tapi juga sistem pemerintahan dan keuangan yang menjunjung tinggi keadilan, efisiensi, dan amanah. Saat negara menerapkan prinsip-prinsip Islam secara kafah (menyeluruh), maka kebijakan seperti pemangkasan sektor pendidikan di tengah kemewahan pejabat tidak akan terjadi.

Wallahu a'lam bish shawab


Share this article via

0 Shares

0 Comment