| 131 Views

Standar Zalim Kesejahteraan Sistem Kapitalisme

Oleh : Elly Waluyo
Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam

Sistem zalim yang diterapkan oleh suatu negara pastilah dibarengi dengan pemberlakuan standar yang zalim pula. Standar hidup layak yang tidak mampu menggambarkan realita bahwa kesejahteraan masih jauh dari kata layak. Penentuan standar yang sarat diboncengi kepentingan-kepentingan individu tentu hanyalah standar semu untuk menutupi kegagalan negara dalam mensejahterakan rakyatnya.

Data hasil perhitungan standar hidup layak perkapita rilisan BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan sebesar Rp1,02 juta per bulan pada tahun 2024. Standar tersebut hanya dihitung dari pengeluaran baik dari pangan maupun bukan pangan, namun tidak memperhitungkan komponen lain yang kemungkinan besar dapat mempengaruhinya, seperti biaya pendidikan, kesehatan, pemenuhan makanan bergizi dan lain-lain. Hasil perhitungan pun tidak dapat menggambarkan secara riil keadaan di masyarakat dan cenderung mengaburkan persentase kemiskinan.

Standar baru yang dirilis Bank Dunia di tahun sebelumnya tersebut menunjukkan bahwa pengeluaran sebesar Rp1,02 juta per bulan tidak termasuk kategori miskin ekstrem karena kategori miskin ekstrem pengeluarannya sebesar US$2,15 per hari atau setara dengan Rp999.750 per bulan dengan asumsi kurs Rp15.500 per dolar Amerika. Oleh karenanya berbagai data sanggahan atas data pemerintah tersebut pun disajikan. Seperti data hasil Survei Sosial Ekonomi yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin kurang lebih 25 juta orang, sedangkan hasil survei Kementerian Pendidikan memperlihatkan sebesar 4 juta anak-anak yang mengalami putus sekolah. Demikian pula hasil Survei Kesehatan Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian kesehatan menunjukkan hampir 30% responden mengaku kesulitan mengakses layanan kesehatan. (https:// www.tempo.co : 22 November 2024). 

Pengukuran standar kelayakan dari pendapatan per kapita tidak akan pernah mampu menggambarkan kondisi masyarakat secara nyata dan mengaburkan tingkat kemiskinan. Pada dasarnya ukuran tersebut digunakan untuk mengelabui rakyat terhadap kegagalan negara dalam memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Seolah-olah seluruh rakyat mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang layak. Namun, sejatinya data tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah tak mau mempedulikan nasib rakyatnya yang masih dalam keterbatasan dan kekurangan.

Hal ini tak lepas dari cara pandang sistem kapitalisme yang dijalankan negara terhadap rakyat. Kecenderungan kepedulian dan perhatian yang diletakkan pada manfaat secara materi saja. Tak heran jika kemudian berbagai macam kamuflase diluncurkan untuk menutupi kebobrokan negara yang tak mau memposisikan dirinya sebagai pengurus umat dan hanya mampu memuluskan kepentingan-kepentingan para kapital melalui legalitas.

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang menjadikan negara sebagai pengurus umat atau ra’in. Penerapan Islam secara kaffah mampu mewujudkan kesejahteraan setiap individu. Standar kesejahteraan dalam Islam tak diukur secara per kapita namun orang per orang, sehingga akan nampak dengan jelas kondisi masyarakat.

Dalam sistem ekonomi Islam, konsep kepemilikan harta terbagi menjadi tiga yakni ;
1) kepemilikan harta individu seperti rumah yang dihuni dan dijual, makanan yang dibeli atau dijual, dan seterusnya.
2) harta kepemilikan umum yakni harta yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti sumber daya alam, air, padang rumput, dan sebagainya, pengelolaannya diserahkan kepada negara namun hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat seperti fasilitas dan layanan kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan. 3) harta kepemilikan negara merupakan harta yang menjadi hak seluruh umat namun pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara.

Konsep baitul mal yang diterapkan dalam sistem Islam untuk mengatur harta kepemilikan umum dan harta kepemilikan negara sangat memungkinkan negara menopang segala kebutuhan untuk memberikan kesejahteraan pada rakyatnya melalui layanan yang sangat mudah diakses bahkan gratis. Demikian sistem Islam mengatur secara detil setiap aspek kehidupan yang keindahannya tidak hanya di dunia namun sampai akhirat.


Share this article via

64 Shares

0 Comment