| 52 Views
Ribuan Pedagang Bangkrut Apakah Hanya Kebetulan?

Oleh : Haruka Sarah
Ribuan pedagang pasar tradisional di Pangandaran harus angkat kaki dari lapaknya. Dari 1.729 pedagang yang dulu aktif, kini hanya tersisa 825 pedagang yang masih bertahan. Kondisi ini bukan sekadar angka, tapi bukti getir bahwa sistem ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja.
Fenomena ini menunjukkan satu wajah muram dari sistem ekonomi kapitalistik: persaingan bebas tanpa perlindungan. Pedagang kecil harus bersaing tidak hanya dengan toko modern dan waralaba bermodal besar, tapi juga dengan gempuran produk impor dan tren belanja online yang makin masif. Ketimpangan inilah yang menjadi ciri khas dari pasar persaingan sempurna, di mana semua pelaku usaha bebas bersaing tanpa adanya intervensi negara yang memihak rakyat kecil.
Sayangnya, dalam sistem ini, negara sering kali hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelindung atau pengayom. Ketika para pedagang kecil tumbang satu per satu, negara tidak hadir memberikan perlindungan yang memadai. Padahal, tugas negara bukan hanya mengurus investasi dan proyek infrastruktur, tetapi juga memastikan keberlangsungan hidup rakyat kecil—termasuk para pedagang pasar tradisional.
Pangandaran dikenal sebagai kawasan pariwisata strategis. Bahkan statusnya sudah diarahkan menuju Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata. Namun ironisnya, geliat ekonomi yang diharapkan dari pariwisata tidak dinikmati secara merata oleh warga lokal.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran, yang membawahi Program Studi Ilmu Pariwisata, KEK seharusnya mendongkrak sektor ekonomi lokal—termasuk pelaku UMKM dan pasar tradisional. Namun jika justru ribuan pedagang lokal bangkrut, ini menjadi tanda tanya besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari proyek besar ini?
Apakah investasi pariwisata hanya memperkaya para pemodal besar dan jaringan korporasi? Lalu di mana posisi masyarakat lokal yang seharusnya menjadi subjek utama pembangunan ekonomi daerah?
Pasar persaingan sempurna yang kita lihat hari ini bukan muncul begitu saja. Ia merupakan konsekuensi langsung dari sistem ekonomi kapitalisme yang menuhankan kebebasan kepemilikan dan kompetisi. Negara tidak lagi memainkan peran aktif sebagai pengatur arah ekonomi rakyat, tapi hanya menjadi "pengamat pasar". Akibatnya, pedagang kecil dibiarkan bersaing dengan para pemilik modal besar—yang jelas punya kekuatan dari segi harga, branding, hingga teknologi.
Lihat saja bagaimana maraknya minimarket waralaba yang berdiri berdekatan di lokasi strategis, menyingkirkan toko kelontong dan kios rakyat. Mereka punya standar harga dan suplai yang tak bisa ditandingi oleh pedagang tradisional. Ini adalah wajah dari pasar yang liberal, bebas, dan tanpa belas kasihan.
Dalam Islam, negara bukan sekadar fasilitator ekonomi, melainkan raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Dalam sistem Khilafah, negara mengambil peran aktif untuk melindungi ekonomi rakyat—terutama pelaku usaha kecil.
Beberapa kebijakan konkret dalam sistem ekonomi Islam antara lain:
Negara memberikan modal usaha bagi rakyat miskin sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Negara membatasi arus impor, khususnya barang-barang yang mengancam produk lokal.
Negara tidak menetapkan harga pasar secara paksa, tapi menjaga stabilitas harga melalui kontrol terhadap distribusi dan penipuan pasar.
Pasar digital yang menyerupai pasar persaingan sempurna—seperti marketplace kapitalistik—tidak dilegalkan secara bebas jika terbukti menindas pelaku ekonomi kecil.
Sistem moneter berbasis dinar dan dirham menjaga nilai tukar riil dan mencegah manipulasi finansial yang menyengsarakan rakyat.
Dengan sistem ini, pelaku usaha lokal tidak dibiarkan bersaing sendirian dalam kerasnya dunia ekonomi, melainkan didampingi dan dijaga oleh kebijakan negara yang berpihak kepada mereka.
Kebangkrutan ribuan pedagang tradisional di Pangandaran bukan hanya soal gagal bersaing. Ini adalah potret sistemik dari rapuhnya peran negara dalam melindungi ekonomi rakyat di tengah hegemoni kapitalisme. Alih-alih menyalahkan tren digitalisasi atau perubahan zaman, kita perlu mengevaluasi ulang sistem ekonomi yang selama ini diterapkan.
Apakah kita akan terus membiarkan pasar bebas memangsa para pedagang kecil, atau saatnya mempertimbangkan sistem yang benar-benar melindungi umat?