| 186 Views
Retret Kepala Daerah, Urgenkah?

Oleh : Nani cahaya
Baru beberapa hari yang lalu diselenggarakan Retret Kepala Daerah, namun sudah menuai banyak kritikan dari banyak kalangan. Bagaimana tidak, di tengah kebijakan pemerintah yang berupaya mengefisiensikan anggaran, di waktu yang bersamaan justru menghambur-hamburkan dana milyaran hanya untuk acara yang katanya untuk menyelaraskan visi antara pemerintah pusat dan daerah.
Retret Kepala Daerah yang berlangsung selama 8 hari, yakni tanggal 21-28 Februari 2025 diikuti oleh 503 kepala daerah, dengan dua hari terakhir melibatkan wakil kepala daerah, sehingga jumlah peserta mencapai 1.006 orang. Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, mengungkapkan bahwa retret yang diselenggarakan di Kompleks Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, menghabiskan anggaran sebesar Rp 13 miliar (Tirto.id, 19/2/2025).
Selain kebijakan yang inkonsisten, acara retret juga rawan korupsi. Di sisi lain, terdapat sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan orientasi tersebut, salah satunya adalah penunjukan PT. Lembah Tidar Indonesia (LTI) sebagai pihak yang mengelola kegiatan retret.
Melansir TribunKaltim.co (3/3/2025), PT LTI yang notabene relatif baru namun dipercaya mengorganisir program besar, memiliki keterkaitan dengan lingkaran kekuasaan, sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Proses pengadaan untuk kegiatan retret yang tidak dilakukan secara terbuka menjadi landasan kecurigaan publik.
Sebenarnya, apa itu retret, dan seberapa urgen Retret Kepala Daerah?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), retreat atau dalam bahasa baku retret adalah memiliki makna religius, yakni menarik diri sejenak dari rutinitas untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Dalam konteks pemerintahan, retret adalah acara pembekalan bagi kepala daerah terpilih yang digunakan sebagai kesempatan untuk menyatukan perspektif dan memperkuat koordinasi antar pemimpin. Dalam acara tersebut, diberikan materi tentang pemahaman program prioritas pemerintah, geopolitik, Hak Asasi Manusia, hingga anti korupsi, yang bertujuan membentuk kepala daerah yang lebih profesional dalam mengelola anggaran daerah.
Sekilas, memang terlihat bagus. Namun, pada kenyataannya acara tersebut sejatinya hanya seremonial belaka tanpa manfaat bagi masyarakat. Selain nihil output, acara retret jg dilaksanakan pada waktu yang kurang tepat.
Sebagai seorang pemimpin seharusnya mampu memilah skala prioritas demi kestabilan suasana daerah yang dipimpin pasca pergantian kepemimpinan. Apalagi waktunya mendekati bulan Ramadhan.
Waktu yang tersisa sedianya digunakan untuk memaksimalkan pemerintah dalam mengantisipasi ketersediaan bahan pangan dan kestabilan harga sembako, pengaturan arus mudik demi kelancaran dan keamanan pemudik, serta pengendalian inflasi daerah.
Inilah realita kehidupan di negara yang mengadopsi sistem demokrasi. Terlihat bagus di luar, namun bobrok di dalam. Terdapat ketimpangan-ketimpangan antara satu kebijakan/aturan dengan kebijakan/aturan yg lain. Tentu saja, yang demikian karena sistemnyalah yang memberi celah kepada pejabatnya untuk membuat dan mengeluarkan peraturan sesuai keinginan penguasa dan pengusaha. Karena untuk mencapai posisi dalam pemerintahan tidak boleh tidak membutuhkan bantuan pengusaha yang mampu memuluskan jalan menuju kekuasaan. Maka, ketika sudah mencapai kekuasaan, tak pelak harus membayar balas budi dengan membuat/merevisi aturan yang pro terhadap pengusaha (korporasi). Karena dalam politik, tak ada makan siang gratis.
Demikianlah wajah asli demokrasi, yang dari nya lahir paham kapitalisme. Salah satu pengusung paham kapitalisme, yakni Karl Marx menyatakan bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi bebas, bebas dari pembatasan penguasa dan bebas dari pembatasan produksi. Ideologi ini memiliki ruang lingkup yang tak terbatas pada lapangan ekonomi saja, melainkan juga politik.
Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa wajar saja banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan pengusaha (korporasi), karena dalam sistem demokrasi yang memiliki modal lah yang berkuasa. Sedangkan fungsi penguasa/pejabat hanya sebagai operator dan fasilitator saja.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam mampu menghasilkan generasi pemimpin yang siap menjalankan amanah kepemimpinan. Ketika dibutuhkan pembekalan, maka diadakan seefektif dan seefisien mungkin dan fokus pada konten pembekalan, bukan pada seremonial dan kemewahan yang menghambur-hamburkan uang rakyat.
Kepemimpinan Islam yang shohih adalah yang menjalankan visi riayah (pengurus) urusan rakyat dan menjalankan fungsinya secara benar, yakni sebagai raain (pelayan), dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Akan tetapi, tujuan tersebut tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi. Karena ketimpangan-ketimpangan tersebut muncul dari sistemnya. Maka yang diganti seharusnya sistemnya, bukan ganti kebijakan, yakni dengan penerapan sistem Islam kaffah, yang mengacu pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Wallahu a’lam bishowab.