| 8 Views

Resuflle Kabinet, Jawaban Keresahan Masyarakat Atau Solusi Perubahan

Foto/SindoNews

Oleh : Ummu Fahri
Aktivis Muslimah

Selama bertahun-tahun, resuflle Kabinet selalu menjadi peristiwa politik yang menarik perhatian publik. Setiap kali presiden mengumumkan perombakan menteri, masyarakat penuh dengan harapan, tidak peduli apakah itu adalah upaya nyata untuk meningkatkan kinerja pemerintahan atau sekedar taktik politik untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan. Pada 8 September 2025 Presiden Prabowo telah melakukan resuflle Kabinet sebanyak lima menteri di copot, satu kementrian baru di bentuk, dan seorang tokoh berpengaruh seperti Sri Mulyani harus rela kehilangan kursinya sebagai Menteri Keuangan.

Namun, pertanyaan yang menggema di ruang publik tetap sama yakni reshuffle kabinet ini sebenarnya demi apa?

Reshuffle kali ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang tengah memanas. Sejak akhir Agustus, gelombang protes melanda berbagai kota di Indonesia. Akar masalahnya adalah tingginya biaya hidup dan kebijakan tunjangan baru bagi anggota legislatif yang dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyat.

Demonstrasi meluas, memicu bentrokan dengan aparat, hingga menelan korban jiwa. Dalam situasi penuh tekanan ini, reshuffle kabinet hadir sebagai jawaban cepat Istana untuk meredakan kemarahan publik.

Dalam reshuffle 8 September, Presiden Prabowo mencopot lima menteri sekaligus antara lain Sri Mulyani Indrawati diganti oleh Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan. Budi Gunawan dicopot dari posisi Menko Polhukam, kursinya sementara kosong. Budi Arie Setiadi digantikan Ferry Juliantono sebagai Menteri Koperasi. Abdul Kadir Karding digantikan Mukhtarudin sebagai Menteri P2MI. Dito Ariotedjo dicopot dari kursi Menpora, penggantinya belum diumumkan.

Selain itu, Prabowo juga membentuk Kementerian Haji dan Umrah dengan menunjuk Mochamad Irfan Yusuf sebagai menteri dan Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai wakil menteri.

Resuflle Kabinet yang di lakukan Presiden Prabowo menghadirkan wajah baru di Kementerian Keuangan, wajar publik optimis perubahan akan terjadi mengingat posisi Menteri Keuangan sangat strategis dalam menentukan kesehatan fiskal negara. Namun, Purbaya dalam sejumlah pernyataannya menegaskan akan tetap melanjutkan kebijakan fiskal yang telah ditetapkan sebelumnya, menjaga stabilitas makro dan mengoptimalkan pajak. Artinya, ia tidak menawarkan perubahan fundamental, melainkan hanya meneruskan pola lama yakni tidak ada keberanian untuk keluar dari jebakan utang dan pajak.

Meredam atau Menyelesaikan?

Bagi rakyat, reshuffle mungkin memberi kesan bahwa presiden bertindak cepat. Dengan mencopot sejumlah nama, Prabowo seolah ingin menegaskan bahwa ia mendengar suara publik dan tidak segan menyingkirkan pembantunya yang gagal.

Namun, persoalan mendasar rakyat bukanlah siapa yang duduk di kursi menteri, melainkan harga kebutuhan pokok yang naik, pengangguran, dan ketidakadilan sosial. Pergantian wajah di kabinet tidak serta-merta membuat harga beras turun atau daya beli meningkat.

Dengan kata lain, reshuffle bisa saja menenangkan suasana politik sesaat, tetapi belum tentu menyelesaikan akar persoalan.

Keputusan reshuffle ini memperlihatkan dilema klasik: antara stabilitas politik dan kepentingan publik. Dari kacamata politik, langkah ini bisa meredam tekanan demonstrasi dan mengirim sinyal bahwa presiden responsif. Tapi dari sisi ekonomi, dampaknya justru menimbulkan ketidakpastian.

Publik pun makin kritis, apakah reshuffle ini dilakukan demi rakyat, atau demi menjaga stabilitas pemerintahan dari krisis legitimasi?

Reshuffle kabinet 8 September 2025 menjadi salah satu reshuffle paling dramatis dalam sejarah politik Indonesia modern. Dengan mencopot figur sekaliber Sri Mulyani, Presiden Prabowo mengambil risiko besar. Di satu sisi bisa meredakan amarah publik, di sisi lain membuka kerentanan ekonomi.

Pada akhirnya, jawaban atas pertanyaan “Demi apa reshuffle ini dilakukan?” akan sangat ditentukan oleh kinerja para menteri baru dalam beberapa bulan ke depan. Jika kebijakan mereka mampu menurunkan harga, meningkatkan kesejahteraan, dan mengembalikan kepercayaan, maka reshuffle bisa dianggap langkah tepat.

Namun, jika tidak, reshuffle ini hanya akan tercatat sebagai manuver politik jangka pendek yakni sebuah cara meredam badai, bukan menenangkan lautan.

Waktu reshuffle ini dilakukan tidak bisa dilepaskan dari tekanan publik. Demonstrasi besar pada Agustus lalu membenturkan kenyataan bahwa masyarakat lelah dengan kebijakan yang tak dirasakan manfaatnya, biaya hidup yang tinggi, dan persepsi bahwa elit politik jauh dari suara rakyat.

Tetapi yang perlu diingat adalah ketika kekuasaan merespon demonstrasi dengan mengganti menteri, belum tentu masalah yang dipicu demonstrasi sistem ekonomi, distribusi kekuasaan, struktur regulasi, atau korporasi ikut ter optimasi.

Seandainya reshuffle tidak dibarengi audit kebijakan, evaluasi program secara terbuka, dan perubahan struktural, maka pergantian menteri bisa seperti mengganti seragam tanpa mengganti isi.

Sosok baru ternyata tidak menawarkan perubahan mendasar untuk keluar dari lilitan utang dan pajak. Padahal utang bukan sekadar catatan angka, namun terus menghabisi belanja negara. Sebagian besar anggaran tersedot cicilan dan bunga. Alhasil rakyat menjadi korban. Layanan publik yang diharap jauh panggang dari arang.

Kapitalisme Biang Keladi

Sejatinya dalam kapitalisme, negara dikelola oleh entitas ekonomi yang harus terus mempertahankan aliran dana agar dapat membiayai pengeluaran publik, infrastruktur, dan proyek pembangunan. Sumber daya domestik sering saja dianggap terbatas, alhasil utang luar negeri menjadi bagian utama dalam  menutupi defisit anggaran.

Kapitalisme menjadikan utang membiayai proyek besar yang tidak mungkin dibiayai hanya dari pendapatan domestik, sekaligus menciptakan kewajiban pembayaran bunga yang makin membebani anggaran pada masa depan. Utang membuat negara memiliki keterikatan politik dan ekonomi terhadap lembaga pemberi pinjaman atau negara donor sehingga kedaulatan kebijakan pun terpengaruh.

Sudah jatuh tertimpa utang, tak tanggung-tanggung kapitalisme pun menjadikan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara. Berbagai jenis pajak ditarik. Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, hingga pajak konsumsi lainnya, dipungut dituntut untuk  menutupi pengeluaran negara. Jadilah pajak ini untuk membayar gaji aparatur dan menyediakan layanan publik, juga  dialokasikan untuk membayar bunga dan cicilan utang negara. Siapa yang di korbankan? Kembali lagi, rakyat tak henti menjadi korban. Rakyat menjadi sumber pendanaan utama bagi negara melalui pajak.

Lagi-lagi reshuffle kabinet jauh dari visi misi mengurusi urusan umat. Pragmatisme politik masih saja menjadi lekat dengan aji mumpung mengamankan kantong-kantong politik menyambut hajatan kekuasaan. Mereka yang tadinya belum mendapat jatah, selama ini ibarat sedang antre menunggu pencopotan orang-orang lama untuk mereka gantikan. Terlebih jika di tangan orang-orang lama itu ada kebijakan-kebijakan yang lambat/mandek, orang-orang baru diharapkan bisa menjadi “pelumas” untuk memuluskan kebijakan-kebijakan tersebut.

Come back to Islam

Dalam Islam,Pemimpin dan menteri diposisikan bukan sebagai penguasa yang mencari keuntungan pribadi atau memperluas kekuasaan, tetapi sebagai pelayan rakyat yang mengemban amanah, memastikan keadilan dan kesejahteraan menjadi prioritas utama. Dengan pengelolaan yang adil dan berlandaskan syariat Allah, kesejahteraan negara dan rakyat tidak lagi bergantung pada utang atau kepentingan politik, melainkan pada keberkahan dan manajemen yang benar, menjadikan setiap kebijakan menyentuh kebutuhan nyata rakyat dan membawa berkah bagi seluruh negeri.

Saat masih berharap ada perubahan besar dengan bergantinya orang, menjadi orang yang akan dihadapkan kembali dengan persoalan yang sama atau lebih buruk harus bersiap. Belajar dari perubahan waktu, pergantian orang dengan pengaturan pada sistem yang sama hanya akan menghasilkan berbagai kekecewaan lainnya.

Ketika kapitalisme masih diminati sebagai sistem yang diusulkan, orang pengganti hanya meneruskan kebijakan lama. Utang menggunung, pajak menggila, rakyat berteriak menahan derita dan membendung luapan amarah yang sekalinya meledak membabi buta tak tentu arah.

Sudah saatnya menyadari bahwa perubahan ke arah yang baik tidak mungkin bisa hanya dengan perubahan sosok. Dibutuhkan pergantian sistem yang mampu mengarahkan pada kebenaran pengaturan hingga kesejahteraan sejati akan terwujud. Mendesak pergantian sistem yang buruk dengan sistem terbaik. Dan tentunya yang terbaik lahir dari Yang Maha Segalanya, Allah Ta'ala. Dengan sistem Islam Kaffah saja lah, in syaa Allah, bangsa ini terbebas dari jeratan yang menyengsarakan. Terlepas dari kapitalisme yang menyesakkan siapa pun yang menerimanya. Terbebas dari kapitalisme yang membuat derita seluruh jagat raya.

Wallaahu a'laam bisshawaab.


Share this article via

0 Shares

0 Comment