| 27 Views
Raja Ampat Menjadi Sasaran Empuk Para Oligarki Dan Sistem Kapitalisme

Oleh : Dewi yuliani
Baru - baru ini viral video di media sosial tentang kondisi sejumlah pulau di Kepulauan Raja Ampat yang menjadi lokasi tambang nikel. Kondisinya tidak hanya membuat miris. Publik pun geram saat melihat kondisi Raja Ampat yang kini menjadi tempat penggalian tambang nikel. Raja Ampat yang dikenal memiliki keindahan alam lautnya, dikerat-kerat menjadi lahan galian tambang dan terancam mengalami kerusakan lingkungan.
Berita di kutib dari Jakarta, Selasa (10/6/2025). Jumpa pers ini dihadiri oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq. (Sekretariat presiden) Jakarta - Penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya menjadi sorotan. Pemerintah akhirnya menyetop dan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) 4 perusahaan tambang yang berada di pulau-pulau kecil Raja Ampat tersebut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan kronologi pencabutan IUP keempat perusahaan tersebut. Bahlil menyebut, sesuai arahan Sekretaris Kabinet (Seskab), pihaknya langsung mendalami persoalan tambang nikel yang menjadi sorotan tersebut. Tepatnya Rabu (4/6) malam, atas koordinasi saya dengan Pak Seskab, arahan Pak Seskab untuk coba kita mendalami ini dengan cepat. Ini cerita kronologisnya," kata Bahlil di Istana Presiden, Jakarta, Selasa (10/6/2025).
Jika kita mencermati semua itu, ambisi pemerintah terkait tambang nikel jelas makin besar. Bahkan semua itu harus dibayar dengan eksploitasi SDA secara ugal-ugalan. Larangan ekspor bijih nikel yang katanya menjadi angin segar bagi kedaulatan ekonomi nasional, ternyata merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat lokal. Kususnya warga sekitar pulau tersebut.
Warga Pulau Gag (salah satu lokasi tambang nikel di Raja Ampat) menyebut bahwa air di tempat tinggalnya menjadi keruh diduga karena limbah tambang nikel ketika hujan. Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi di Pulau Gag. Di Sulawesi dan Maluku sebagai sesama lokasi tambang nikel, juga mengalami hal yang sama. Warga lokal terdampak air keruh, lingkungan alam rusak, rawan banjir bandang, dan sebagainya.
Ini masih belum bicara dampak tambang mineral lainnya. Kerusakan alam akibat tambang emas Freeport di Papua sejatinya tidak terbantahkan, juga dampak eksplorasi tambang emas oleh PT Newmont Nusa Tenggara (sekarang PT Amman Mineral Nusa Tenggara) di Pulau Sumbawa, NTB. Belum lagi bekas-bekas galian tambang timah di Pulau Bangka dan Belitung yang beberapa waktu lalu terungkap melalui kasus korupsi bombastis Harvey Moeis.
Tidak pelak, publik pun ramai menyerukan hashtag SaveRajaAmpat. Ini adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap keindahan dan keberagaman ekosistem laut Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu pusat keragaman terumbu karang dunia. Sebagaimana diketahui, Raja Ampat terdiri dari lebih dari 610 pulau dan merupakan rumah bagi 75% spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang dan lebih dari 1.500 spesies ikan.
Bisa kita lihat bersama maraknya pertambangan nikel di sejumlah kawasan di Indonesia tidak terlepas dari ambisi pemerintah untuk menjadi produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia. Ambisi yang sudah dipupuk sejak rezim Jokowi itu kini tengah digenjot. Diketahui, pada 2 Juni 2025, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut bahwa Indonesia ditargetkan masuk sebagai lima besar negara produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia pada 2040.
Terkait dengan tambang nikel di Raja Ampat, yang diketahui baru di empat pulau menunjukkan bahwa keberadaannya melimpah. Status tambang yang demikian ini sudah jelas bahwa tambang tersebut adalah harta kepemilikan umum, tidak boleh dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja. Jadi, keberadaannya harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum muslim, dan mereka berserikat atas harta tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud).
Selanjutnya, negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama kaum muslim, dan menyimpan hasil penjualannya di baitulmal kaum muslim. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat di permukaan bumi) dan yang ada di dalam perut bumi. Khilafah akan membiayai berbagai kebutuhan masyarakat dengan pemasukan baitulmal dari hasil pengelolaan harta kepemilikan umum ini.
Demikianlah gambaran kebijakan Khilafah dalam rangka mengelola tambang sebagai bagian dari aset rakyat/milik umum. Konsep eksplorasi SDA berdasarkan dalil-dalil syarak mustahil terjadi di dalam sistem kapitalisme, melainkan Khilafah sebagai sistem pelaksana syariat Islam kafah.
Wallahualam bissawab