| 87 Views
Program (MBG) Janji Politik dan Halusinasi Oligarki di Sistem Kapitalisme
Oleh : Ummu Aqilla
Aktivis Dakwah
Presiden Prabowo Subianto merasa gelisah karena dengan banyaknya anak yang belum mendapatkan Makan Bergizi Gratis (MBG). Di lain pihak, Dadan Hindayana, selaku Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) juga mengungkapkan, untuk memberi makan bergizi gratis dibutuhkan anggaran Rp 100 triliun untuk 82,9 juta penerima manfaat, Jumat (17/1/2025) di Istana Negara. Ia mengungkapkan usai rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto dengan beberapa menteri Kabinet Merah Putih yang membahas terkait dengan program MBG (Jakarta, CNBC Indonesia, 17/1/2025.
Program makan bergizi gratis merupakan program yang sudah dijalankan di beberapa negara seperti Amerika, jepang, Finlandia, dan Brazil. Program itu bertujuan untuk meningkatkan kesehatan, kecerdasan , dan mengatasi kekurangan gizi pada anak. Namun, tidak semua negara sukses menjalankan program MBG. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia selalu ingin sukses seperti negara lain, sehingga program MBG pun dijanjikan oleh calon presiden sebagai solusi stunting. Janji manis itulah yang dijadikan umpan untuk memikat hati rakyat melalui kampanye.
Meski kritik menghantam, bagi pemerintah, program Makan Bergizi Gratis (MBG) tetap harus berjalan. Berbagai masalah bermunculan sejak program ini dicanangkan, tetapi pemerintah tidak bergeming. Mulai dari kualitas makanan yang basi, berlendir, hingga keracunan massal. Seperti yang dikeluhkan siswa SDN 03 Rawa Buntu, Kota Tangerang Selatan bahwa menu makanan yang diterima terasa aneh dan berlendir. Kepala Sekolah SDN 03 Rawa Buntu Amir Mahmud menyebut bahwa tidak sedikit siswa yang membuang makanannya.
Problem keracunan massal kembali terulang di tempat berbeda pada 22 Juli 2025. Lebih dari 140 siswa SMPN 8 Kupang mengeluh sakit perut, mual, dan sakit kepala usai menyantap menu MBG sehari sebelumnya. Sedangkan kasus kedua terjadi di sejumlah sekolah di Kabupaten Sumba Barat Daya sehari setelahnya. Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan, laboratorium BPOM di Kupang melakukan penyelidikan tersebut. Masih banyak lagi kasus serupa dari keracunan massal setelah mengonsumsi paket MBG.
Miris, program unggulan tersebut memiliki banyak kekurangan, yaitu pengawasan yang lemah terhadap makanan yang akan dikonsumsi anak-anak. Pakar gizi menilai pemerintah tidak betul-betul menjalankan fungsi pengawasan, evaluasi, dan supervisi program tersebut. Pemerintah cenderung mengabaikan masalah yang muncul sehingga kembali terulang.
Apabila ditelisik, industrialisasi—yakni kepentingan ekonomi dan bisnis korporasi yang dijadikan jiwa MBG—menjadi faktor pemicu pertama dan utama berbagai persoalan MBG, termasuk keracunan makanan. Tentu saja, ini karena industrialisasi adalah spirit sistem pangan dan gizi kapitalisme; yang berlangsung di atas lanskap peradaban sekularisme dan dalam bingkai sistem ekonomi kapitalisme serta sistem politik demokrasi, yang mana nilai materi adalah satu-satunya nilai yang diakui.
Keberadaan spirit industrialisasi pangan dan gizi ini dipertegas oleh penilaian keberhasilan MBG dengan timbangan ekonomi pada saat terus berjatuhannya korban keracunan. Misalnya, membuka lapangan kerja, menyerap produksi pangan lokal, dan sebagainya. Keberadaan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai vendor korporasi, mempertegas itu, di samping jaminan asuransi sebagai solusi. Pada akhirnya, korporasi yang berorientasi bisnis mencengkeram dari hulu hingga hilir sistem pangan dan gizi.
Harus diakui bahwa persoalan yang menyelimuti Program MBG—khususnya keracunan makanan—bukan sekadar persoalan teknis yang akan tersolusi seiring berlalunya waktu, penambahan anggaran, dan penguatan kontrol keamanan pangan. Akan tetapi, ini adalah persoalan paradigmatis.
Oleh sebab itu, persoalan serius ini adalah akibat kelalaian negara, sehubungan dengan dedikasinya untuk sistem kehidupan kapitalisme sekularisme yang menjadi akar persoalan. Lebih khusus lagi sistem politik demokrasi yang mengharuskannya menjadi pelayan korporasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang mendudukkan pangan sebagai komoditas bisnis.
Program Populis, Penguasa Pragmatis
Programnya tampak populis, tetapi penguasa bersikap pragmatis. Ini adalah paradoks program MBG. Mau mendapat dukungan dengan program yang “merakyat”, tetapi kenyataannya tidak sesuai ekspektasi masyarakat. Hal ini menggambarkan sistem pemerintahan yang tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat yang menjadi ciri pemerintahan yang populis, mengeklaim membela rakyat, tetapi sejatinya hanya sekadar propaganda.
Pemerintahan populis adalah pemerintahan yang menggunakan pendekatan politik populis, yaitu gaya politik yang sering kali mengandalkan retorika emosional dan janji-janji populer untuk mendapatkan dukungan massa. Pemerintahan populis sering kali menargetkan kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan atau tidak terwakili dalam sistem politik yang ada.
Modal seminim-minimnya dan untung sebanyak-banyaknya, inilah prinsip bisnis dalam sistem demokrasi kapitalisme. Menyandarkan program negara kepada pihak swasta, semisal MBG kepada pelaku bisnis makanan, sama halnya negara berlepas diri dari tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Konsep ini sangat berbeda dengan sistem Islam.
Dalam sistem Islam, setiap individu rakyat berhak mendapatkan makanan bergizi, bukan hanya orang miskin semata. Negara mempermudah rakyat mendapatkan akses makanan bergizi, seperti harga pangan yang terjangkau dan distribusi pangan yang merata ke seluruh wilayah sehingga tidak terjadi kelangkaan pangan di salah satu wilayah.
Pada masa kenabian, Nabi ﷺ dan para sahabat sering memberi makan para ahlu shuffah, yaitu kelompok fakir miskin yang tinggal di selasar masjid Nabawi. Kebiasaan baik ini terus berlanjut pada masa sahabat hingga Kekhalifahan Utsmaniyah.
Pemenuhan Gizi Generasi, Tanggung Jawab Siapa?
Islam telah menetapkan bahwa pemenuhan gizi generasi adalah tanggung jawab bersama. Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS An-Nisa’: 9).
Ayat ini dengan jelas mengharuskan seluruh umat Islam untuk bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan generasi. Tanggung jawab utama terhadap generasi sebenarnya ada di pundak ayah sebagai kepala keluarga. Para ayah harus bekerja mencari nafkah hingga mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, termasuk memberikan makanan yang bergizi kepada anak anaknya. Hanya saja, agar peran ini terealisasi, perlu ada campur tangan negara.
Sistem Islam Menjamin Pelayanan kepada Rakyat
Penguasa dalam Islam diperintahkan Allah Taala untuk mengurus rakyat dengan penuh amanah dan tanggung jawab, berpegang pada aturan-aturan syariat, serta menjauhkan diri dari kecurangan dan populisme. Kekuasaan benar-benar berdasarkan syariat Allah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz II hlm. 158, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa tanggung jawab penguasa yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dipenuhi dalam dirinya sendiri sebagai penguasa tampak jelas dalam hadis-hadis yang dijelaskan Rasul saw. mengenai sebagian sifat-sifat penguasa. Di antaranya yang paling menonjol adalah kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati.
Jika seorang penguasa bertakwa kepada Allah, takut kepada-Nya, dan selalu merasa terawasi oleh-Nya dalam keadaan rahasia dan terang-terangan, semua itu akan mencegahnya bersikap tirani terhadap rakyat. Meski demikian, takwa tidak akan menghalanginya bersikap tegas dan disiplin. Ia senantiasa berpegang pada perintah dan larangan-Nya. Karena dia adalah seorang penguasa maka di antara tabiat pekerjaannya adalah menegakkan kedisiplinan dan tegas. Oleh karena itu, Allah memerintahkannya agar bersikap lemah lembut dan tidak menyusahkan rakyat. Allah telah mengharamkan surga bagi penguasa yang tidak memperhatikan rakyatnya dengan nasihat, sebaliknya ia malah menipu mereka. “Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memperhatikan mereka dengan nas
Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur setiap aspek kehidupan, mulai dari kehidupan individu hingga urusan bernegara. Dengan menerapkan aturan yang berasal langsung dari Allah Swt., manusia akan merasakan kemaslahatan, kedamaian, dan kesejahteraan yang tidak akan pernah tercapai dalam sistem lainnya selain Islam.
Wallahu 'alam bishawab.