| 10 Views
PPN Tetap Naik, Petisi Penolakan Rakyat Diabaikan
Oleh : Rifdatul Anam
Rencana mengenai kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari semula 11 persen menjadi 12 persen yang mulai berlaku 1 Januari 2025 menuai banyak penolakan. Berbagai pendapat mencuat di tengah masyarakat mengenai dampak akibat kenaikan PPN. Untuk itu, dikalangan masyarakat melakukan aksi damai atas penolakan kenaikan PPN. Berharap suara rakyat di dengar, tapi yg terjadi malah diabaikan.
Petisi penolakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang ditandatangani lebih dari 113.000 orang sudah diterima Sekretariat Negara (Setneg). Penyerahan petisi itu dilakukan pada aksi damai di depan Istana Negara, yang dilakukan secara online oleh Risyad Azhary sebagai perwakilan massa, juga selaku inisiator petisi tolak PPN 12 persen. (Beritasatu,20-12-2024)
Risyad mengungkapkan, respons yang diterima saat penyerahan petisi dari Setneg terkesan sebatas administratif, hanya sebatas formalitas saja. Hal ini menjelaskan seakan pemerintah mengabaikan petisi yang diserahkan dan tetap akan memberlakukan kenaikan pajak.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku 1 Januari 2025 menjadi salah satu alasan untuk program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yakni makan bergizi gratis yang akan memerlukan pendanaan jumbo. Bisa dikatakan, hal ini sebagai bukti bahwa pemerintah tetap akan melanjutkan rencana kenaikan pajak pada tahun depan.
Airlangga juga menjelaskan, pada tahun depan, alokasi anggaran program tersebut mencapai Rp 71 triliun dalam APBN 2025. Jadi, kenaikan tarif PPN sebesar satu persen tersebut dinilai dapat meningkatkan pendapatan negara ini, sehingga dapat mendukung program prioritas pemerintahan Prabowo pada bidang pangan dan energi.
Jika kita teliti, rakyat sebenarnya tak butuh makan siang gratis tapi akhirnya membuat sakit hati. Sakit hari rakyat atas kenaikan pajak ini tak mungkin terobati walaupun pemerintah memberikan bantuan sosial dan subsidi, yang sebagaimana di klaim pemerintah bahwa pemberian bantuan pangan, diskon tarif listrik, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun untuk buruh di sektor tekstil dan lainnya, dapat mengurangi beban masyarakat.
Dan meski pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, namun sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan rakyat. Karena dibalik itu, akan mempengaruhi jalannya ekonomi dan akan menambah sulitnya rakyat memenuhi kebutuhan hidupnya karena pengeluaran rakyat semakin besar, sedangkan upah tidak mengalami kenaikan yang signifikan untuk mengimbangi pengeluaran.
Kebijakan kenaikan pajak yang dilakukan terus menerus oleh pemerintah tanpa memperhatikan kesulitan rakyat, semua berasal dari sistem yang diterapkan di negara ini. Sistem kapitalisme menjadikan pajak adalah sumber pemasukan utama. Walaupun pemerintah menyadari dengan menaikan pajak akan memukul perekonomian rakyat, tapi sistem kapitalisme telah memaksa pemerintah untuk tetap memberlakukan kebijakan ini. Protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN pun juga tidak dihiraukan.
Sejatinya kenaikan pajak ini bukan untuk kemaslahatan rakyat, tapi merupakan konsekuensi penerapan sistem kapitalisme yang menempatkan penguasa sebagai regulator dan fasilitator. Negara merasa sudah menjalankan tugasnya hanya dengan memungut pajak dan mendistribusikannya dalam belanja negara. Negara tidak peduli, kebijakan tersebut membawa kesengsaraan pada rakyat. Ini adalah contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter, yang mana rakyat sengaja dirangkul untuk mencari simpati tapi dibalik itu ada maksud terselubung, yaitu agar rakyat mau mengikuti kehendak penguasa yang akhirnya menyusahkan rakyat.
Berbeda dengan Islam, yang menempatkan penguasa adalah raa'in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Rakyat merupakan tanggung jawab negara. Rasulallah saw bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR. Bukhari)
Islam menetapkan bagaimana profil penguasa dalam Islam dan juga mengatur bagaimana relasi penguasa dengan rakyatnya. Pertama, kepribadian seorang pemimpin harus kuat, dengan memiliki pola pikir yang memahami tugas pemerintahan Islam. Kedua, seorang pemimpin harus mempunyai ketakwaan kepada Allah Swt. Ketiga, mencintai dan menyayangi rakyat, memberikan kabar gembira, serta memudahkan urusan rakyat bukan mempersulitnya.
Dalam Islam, pemimpin wajib mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Tanggung jawab ini tidak boleh dialihkan negara kepada pihak lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, negara didukung dengan sistem ekonomi islam, yang sumber pemasukan atas baitulmal berasal dari sumber daya alam, seperti tambang, minyak bumi, gas dan lainnya. Selain itu, jizyah, fa'i dan kharaj juga menjadi sumber pendapatan bagi negara islam.
Namun jika terjadi kekosongan pada baitulmal, negara hanya akan memungut pajak dari laki-laki yang memiliki kekayaan saja, bukan dari setiap individu rakyat, apalagi rakyat yang miskin. Islam mewajibkan penguasa membuat kebijakan yang tidak menyulitkan hidup rakyat. Tidak seperti kondisi hari ini, seluruh rakyat dijadikan wajib pajak tanpa terkecuali. Padahal Rasulallah Saw mengancam keras bagi sebuah bangsa yang mengambil pajak secara paksa, "sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (di azab) di neraka." (HR. Ahmad)
Wallahu'alam bishawab.