| 40 Views
PPN Naik, Penguasa Bersukacita Rakyat Jadi Tumbalnya

Oleh : Anggun
Ibu Rumah Tangga
Pemerintah resmi menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% terhitung sejak pergantian tahun 1 Januari 2025. Rakyat semakin nelangsa dengan kebijakan yang ada. Janji hanyalah sebatas janji, tidak ada bahagia yang ada hanyalah dusta. Tidak akan ada transparansi dalam negeri ini, yang ada hanyalah manipulasi yang terus terjadi.
Masyarakat di seluruh Indonesia menyambut pergantian tahun dengan penuh sukacita dan bahagia. Dengan harapan, pergantian tahun akan ada perubahan yang lebih baik menuju Indonesia emas dan gemilang. Namun, pada kenyataan rakyat kembali dibuat kecewa dengan kebijakan yang ada. Meskipun ada petisi penolakan dari berbagi pihak, pemerintah seakan abai dan keputusan tetaplah keputusan.
Dikutip melalui Tempo.co (15-11-2024), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyebutkan bahwa keputusan untuk menaikkan PPN 12% sudah dipertimbangkan dengan sangat matang. Dengan melihat dari berbagai sudut pandang dan pertimbangan yang cukup lama sehingga keputusan ini diresmikan. Kebijakan ini diambil karena melihat masyarakat semakin memiliki kesadaran dan minat yang tinggi dalam wajib pajak. Karena itu, pemerintah mencari upaya agar kesadaran ini terus tumbuh dalam diri masyarakat.
Kenaikan PPN ini bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang semakin berkembang dan maju. Sebagai salah satu sumber penghasilan negara, PPN mempunyai peran yang cukup besar dalam mendanai berbagai program pemerintah. Dengan meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah berupaya untuk mengurangi penggunaan utang luar negeri dan menjaga stabilitas ekonomi negara dalam jangka waktu panjang. Pasalnya, sampai saat ini Indonesia masih terus bergantung pada utang luar negeri untuk menutupi defisit anggaran agar perekonomian negara menjadi lebih stabil.
Dengan kenaikan PPN 12%, pemerintah memperkirakan pendapatan negara akan meningkat sebesar 12,8–12,77% terhadap produk domestik bruto (PDB), 14,21–15,22% untuk anggaran belanja negara, dan untuk defisit PDB sebesar 2,13–2,45%. Kenaikan PPN ini masih dikatakan rendah jika dibandingkan dengan negara maju lainnya. Pemerintah berasumsi bahwa kenaikan pajak hanya untuk menyesuaikan dengan standar internasional di seluruh dunia. Seperti negara yang termasuk dalam organisasi for economic cooperation and development (OECD) yang memiliki tarif PPN sebesar 15%.
PPN Naik, Rakyat Makin Sulit, Bukti Pemerintah Abai pada Rakyat
Kenaikan PPN saat ini membuktikan bahwa pemerintah seakan abai atas tanggung jawabnya dalam mengurusi rakyat. Dalam sistem kapitalisme, rakyat bukan hanya harus memenuhi kebutuhan dirinya, tetapi seolah dipaksa untuk memenuhi kebutuhan mereka yang menjabat dalam pemerintahan. Mirisnya lagi, semua sumber daya alam yang harusnya dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat dan kemajuan negara, justru dikuasi oleh para pemilik modal sehingga tidak bisa dinikmati oleh rakyat yang ada di negeri itu sendiri.
Bukan hanya itu, berbagai fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lainnya, harusnya dibiayai dari kekayaan alam dan bukan dari penghasilan pajak yang terus dibebankan kepada rakyat. Namun, saat ini malah dibebankan kepada rakyat dengan mengatasnamakan pajak. Hal ini sangat wajar jika dilakukan oleh negara yang mengemban sistem kapitalisme. Pasalnya, dalam sistem kapitalisme tidak ada batas apa pun, siapa saja yang memiliki modal maka mempunyai peluang untuk melakukan privatisasi terhadap sumber daya alam. Fungsi negara hanya menjadi regulator belaka.
Masyarakat pun dipaksa agar bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhannya. Berbagai bantuan sosial dari pemerintah seperti PKH, BPNT, dan diskon listrik yang saat ini berlaku selama dua bulan, nyatanya tidak bisa memberikan dampak yang signifikan dan tidak mampu meringankan beban rakyat. Dampak jangka panjangnya, bantuan sosial dan diskon listrik yang diterima masyarakat saat ini bukan mengatasi masalah yang mendasarinya, tetapi justru akan menimbulkan masalah baru, yaitu ketergantungan masyarakat pada bantuan tersebut.
Kenyataan yang bisa dilihat saat ini bahwa sistem kapitalisme yang masih dipegang teguh dan diemban dalam negeri ini semakin merampas kesejahteraan rakyat. Sistem ini memisahkan antara prinsip agama dengan norma masyarakat serta merusak pemahaman tentang apa yang benar dan salah. Pemisahan ini menjadikan para pemimpin sering kali menyalahgunakan kekuasaan sehingga mereka mengabaikan tugas dalam melayani rakyat.
Kenaikan pajak tidak hanya akan meningkatkan pemasukan negara, tetapi juga berpotensi mengurangi aktivitas ekonomi mikro. Hal ini karena pada saat produksi tentu akan memerlukan biaya tambahan sehingga dapat mengurangi profitabilitas perusahaan dalam melakukan produksi. Saat ini, kondisi ekonomi masyarakat sudah mengalami ketidakstabilan karena harga bahan pokok yang terus meningkat. Kenaikan PPN semakin memperburuk kondisi tersebut, terutama bagi masyarakat yang berada pada golongan menengah ke bawah.
Mekanisme Islam dalam Mengatasi Kebijakan Pajak
Dalam Islam, pemimpin (penguasa) dikenal sebagai khalifah. Khalifah memiliki peran yang sangat besar dalam negara, yaitu sebagai pelayan yang melindungi rakyatnya.
Seperti sabda Rasulullah saw. yang artinya, "Imam (pemimpin) adalah pelayan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanannya." (HR. Bukhari)
Karena itu, kebijakan yang diambil oleh penguasa tidak boleh sampai memberatkan rakyat, bahkan sampai membuat rakyat sengsara. Seorang penguasa dalam membuat kebijakan harus mempunyai tujuan yang jelas, yaitu untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya tanpa terkecuali. Pemungutan pajak harus dikelola secara adil dan proporsional. Sangat berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam Islam pajak yang dikenakan harus memperhatikan kemampuan masyarakat dalam membayar pajak. Tidak semua lapisan masyarakat boleh dikenakan pajak, tetapi hanya mereka yang sudah mampu memenuhi semua kebutuhannya dan masih memiliki kelebihan harta yang akan dikenakan pajak. Dengan demikian, hal ini tidak memberatkan masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, penggunaan dana pajak juga harus transparan dan digunakan untuk kebutuhan masyarakat umum.
Sungguh, sangat penting adanya keadilan dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Seperti firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 135 yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan, sebagai saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu."
Ayat ini semakin memperjelas bahwa keadilan harus ditegakkan dalam segala aspek kehidupan tanpa terkecuali, termasuk ketika mengambil kebijakan dalam perpajakan. Dengan demikian, pada saat pemerintah menetapkan kebijakan menaikkan tarif PPN, meskipun menerima penolakan dari berbagai pihak dapat dianggap sebagai tindakan populis otoriter.
Sedangkan dalam Islam, penguasa diwajibkan untuk mendengarkan serta mempertimbangkan aspirasi dari rakyat. Kebijakan yang diambil harus berdasarkan dari hasil musyawarah dan tidak boleh memberatkan rakyat. Seperti firman Allah Swt. dalam surah Ali Imran ayat 159 yang artinya, "Dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu."
Dalam Islam, keadilan harus diterapkan di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sistem perpajakan. Islam memiliki mekanisme yang adil dalam mengatur sistem perpajakan.
Pertama, harus ada keadilan dalam mendistribusikan pajak.
Maksudnya adalah bahwa pajak harus dipungut secara proporsional, yaitu sesuai dengan kemampuan ekonomi setiap individu. Pemungutan pajak harus adil dan tidak diskriminatif terhadap individu tertentu. Hal ini karena Islam sangat menentang setiap praktik pemungutan pajak dengan cara yang tidak adil, menindas atau bahkan menyalahgunakan kekuasaan. Setiap individu diberlakukan dengan cara yang sama tanpa melihat status sosial ataupun latar belakangnya.
Kedua, keadilan dalam tujuan pajak.
Dalam Islam, pemungutan pajak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan secara umum dan memberikan keadilan sosial pada setiap individu. Pendapatan dari pajak yang dipungut digunakan untuk membiayai program-program yang bermanfaat bagi masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lainnya. Tidak ada pengeluaran yang digunakan untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Ketiga, keadilan dalam pelaksanaan pajak.
Islam mengajarkan perlunya transparansi dan kejujuran dalam pelaksanaan pajak. Pemerintah dan otoritas pajak diharapkan bisa bekerja dengan adil pada saat mengumpulkan, mengelola, dan menggunakan dana pajak. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa pajak dipungut dengan cara yang tidak memberatkan atau mengeksploitasi rakyat, serta memberikan perlindungan hukum kepada setiap individu tanpa melihat latar belakang mereka.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali tentang kebijakan kenaikan PPN, dengan mempertimbangkan dampak yang terjadi bagi masyarakat luas. Dengan demikian, keputusan yang diambil benar-benar untuk tujuan menyejahterakan rakyat.
Wallahualam bissawab.[]