| 191 Views
Potret Kelam Sistem Pendidikan Sekuler

Oleh : Dewi yuliani
Banyak kasus bunuh diri pada mahasiswa, juga berbagai persoalan yang menimpa mahasiswa menggambarkan kompleksnya persoalan yang dihadapi Semua erat kaitannya dengan sistem hidup yang dijalankan hari ini termasuk sistem Pendidikan sekuker.
Baru baru ini REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- IPB University berduka setelah seorang mahasiswa mahasiswa barunya bernama Sulthan Nabinghah Royyan (18 tahun) ditemukan meninggal dunia. Mahasiswa asal Bojonegoro itu diduga meninggal dunia karena gantung diri di kamar mandi sebuah penginapan OYO di dekat Kampus IPB University Dramaga Bogor, Jawa Barat.
Jenazah pelajar itu pertama kali ditemukan pegawai penginapan berinisial IF di Perum Dramaga Hijau, Desa Babakan, Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selasa, 6 Agustus 2024 sekitar pukul 13.30 WIB. Setelah mendapatkan laporan tentang temuan jenazah laki-laki yang tergantung di kamar OYO, pteugas SPKT Polsek Dramaga langsung meluncur ke lokasi kejadian.
Pihak kepolisian telah mengomunikasikan kejadian ini kepada pihak keluarga mahasiswa yang bersangkutan.
Pihak kampus juga mengkonfirmasi bahwa betul korban SNR ini merupakan mahasiswa baru IPB University yang masih sedang menjalani masa ospek atau masa pengenalan kampus.
"Mahasiswa baru IPB akan mengikuti kegiatan MPKMB pada tanggal 6 hingga 10 Agustus 2024 mendatang. Sebelumnya ada pra MPKMB pada 2-3 Agustus berupa Ruang Eksplorasi, Simulasi Rekor, dan Ruang Talenta," ujar Kepala Biro Komunikasi IPB University, Yatri Indah Kusumastuti, Rabu (7/8/2024).
Yatri Indah Kusumastuti menjelaskan bahwa mahasiswa baru IPB University sebelumnya telah mendapatkan pembekalan berupa Pembentukan 7 Kebiasaan Efektif (7 Habits) melalui pelatihan dan pendampingan secara berkelompok oleh fasilitator dan penanggung jawab kelompok masing-masing.
Kata Kampus Soal Dugaan Perpeloncoan.
Yatri menegaskan, pengenalan kampus untuk mahasiswa baru di IPB University berlangsung secara edukatif, tertib dan jauh dari perpeloncoan.
Potret Kelam Sistem Pendidikan Sekuler
Sistem ini gagal melahirkan generasi yang berkepribadian Islam, padahal generasi akan menjadi penerus dan pembangun peradaban
Islam memiliki sistem Pendidikan Islam yang kuat, karena berbasis akidah Islam, dan dengan dukungan sistem lain sesuai negara islam, akan tercipta lingkungan hidup yang mendukung yang menguatkan terwujudnya kepribadian islam.
Pendidikan dalam Islam merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan bagi umat. Pendidikan telah diwajibkan oleh syariat, juga kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan kaum muslim, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia.
Islam adalah satu-satunya sistem kehidupan yang begitu kuat mendorong umatnya untuk meraih ilmu. Frasa ululalbab, yakni orang-orang yang mengerahkan akalnya untuk berpikir cemerlang sehingga tertuntun pada keimanan, diulang didalam Kitabullah. Allah Swt. juga memuji orang-orang berilmu melalui firman-Nya,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Tahu atas apa yang kalian kerjakan.” (TQS Al-Mujadilah [58]: 11).
Kewajiban meraih ilmu di antaranya ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw.,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Meraih ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Dengan begitu, pendidikan dalam Islam bukan pilihan, apalagi kebutuhan tersier, tetapi pokok bahkan fardu. Islam menetapkan dua tujuan pendidikan. Pertama, mendidik setiap muslim supaya menguasai ilmu-ilmu agama yang memang wajib untuk dirinya (fardu ain), seperti ilmu akidah, fikih ibadah, dan lainnya.
Kedua, mencetak pakar dalam bidang tsaqâfah/ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan umat, seperti ahli fikih, ahli tafsir, ahli hadis, dan sebagainya. Dalam hal ini hukumnya fardu kifayah. Jika jumlah ulama dalam bidang ini telah mencukupi kebutuhan umat secara keseluruhan, maka gugurlah kewajiban tersebut. Dasarnya adalah firman Allah Swt.,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi kaum Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali, supaya mereka itu dapat menjaga diri mereka.” (TQS At-Taubah [9]: 122).
Termasuk dalam fardu kifayah ini adalah mencetak pakar sains dan teknologi yang dibutuhkan umat. Para ulama bersepakat akan hukum ini, di antaranya dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn.
Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan bagi umat. Pendidikan telah diwajibkan oleh syariat, juga kebutuhan vital untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan kaum muslim, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam bukanlah kebutuhan tersier atau kepentingan orang-orang kaya saja.
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai salah satu sumber utama pembiayaan pendidikan. Di sejumlah negara kapitalis, pendidikan bisa gratis hingga perguruan tinggi karena pemerintah memungut pajak yang tinggi dari rakyat. Namun, ada juga yang tidak sepenuhnya gratis sehingga rakyat harus membayar mahal untuk bisa masuk perguruan tinggi. Bahkan di Amerika Serikat banyak mahasiswa terjerat utang karena pinjaman dari bank untuk biaya kuliah. Bahkan terdapat berita dari Majalah ekonomi Forbes, pada 2019, melaporkan ada 44 juta mahasiswa perguruan tinggi terjerat utang dengan total nilainya 1,5 triliun dolar.
Di dalam Islam, negara tidak boleh membebani rakyat dengan pajak, termasuk untuk membiayai pendidikan warganya. Pasalnya, Islam sudah menetapkan sumber pembiayaan pendidikan sesuai dengan hukum syariat. Sumber ini bisa berasal dari sejumlah pihak. Pertama, warga secara mandiri. Artinya, individu rakyat membiayai dirinya untuk bisa mendapatkan pendidikan. Harta yang dikeluarkan untuk meraih ilmu akan menjadi pahala besar. Nabi saw. bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ
“Siapa saja yang menempuh jalan untuk meraih ilmu, maka Allah memudahkan bagi dirinya jalan menuju surga.” (HR Ahmad).
Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan bahwa negara memiliki sejumlah pemasukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum, seperti tambang minerba dan migas. Negara dalam Islam juga masih mendapat pemasukan dari kharaj, jizyah, infak, dan sedekah, dsb.. Seluruhnya bisa dialokasikan oleh khalifah untuk kemaslahatan umat, termasuk membiayai pendidikan.
Wahai kaum muslim, sejarah telah memperlihatkan kejayaan pendidikan Islam dari berbagai aspeknya, khususnya sepanjang era Kekhalifahan Islam. Islam bukan saja menghasilkan para ulama dalam ilmu agama, tetapi juga para ilmuwan yang karyanya dikagumi dan menginspirasi dunia Barat hingga sekarang. Dunia Islam pada masa Kekhalifahan Islam juga bukan saja dengan lembaga-lembaga pendidikan tetapi perpustakaan umum yang penuh dengan karya juga para ulama dan ilmuwan.
Kejayaan ini terwujud karena umat dan negara setia menjalankan syariat Islam, termasuk menyelenggarakan pendidikan sebagai pelayanan untuk umat seluas-luasnya hingga jenjang yang tinggi. Khilafah Islam akan menjadikan umat ini sebagai kekuatan adidaya dan tidak bergantung, apalagi ditekan oleh negara-negara lain seperti saat ini. Semua hanya bisa terwujud jika umat mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ يُبَاهِي بِهِ الْعُلَمَاءَ، أَوْ يُمَارِي بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفُ أَعْيُنَ النَّاسِ إِلَيْهِ تَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Siapa saja yang meraih ilmu hanya untuk bersaing dengan para ulama, atau untuk berdebat dengan orang bodoh, atau supaya dipandang manusia, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR Al-Hakim).
Wallahu 'alam bissawab