| 170 Views

Polemik Kenaikan Upah Buruh dalam Sistem Kapitalisme

Oleh : Agnes Aljannah 
Aktivis Dakwah Kampus

Wacana kenaikan upah minimum kembali mencuat usai Dewan Pengupahan Nasional melakukan sidang yang dimulai dari Sabtu-Minggu hingga Senin. Hal ini diungkap Ketua Komimte Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia, Subchan Gatot. Bahkan di hari Minggu pun menteri ada rapat khusus di mana semua bahas soal pengupahan. (CBNC Indonesia, 7/11/2024)

Jika mengikuti PP51/2023, Apindo ingin membuat skala upah. Karyawan dengan masa kerja satu tahun atau lebih dapat mengharapkan kenaikan gaji sebesar 1-3% berdasarkan kinerja perusahaan. Upah minimum yang tidak terlalu tinggi membuat perusahaan punya ruang untuk tumbuh. Pasalnya kenaikan upah tinggi sebelum pandemi di kisaran 8% per tahun telah membuat banyak perusahaan tidak kuat bahkan hengkang.

Kenaikan upah buruh pada tahun 2025 ternyata rendah dan tidak sebanding dengan kenaikan pajak yang terjadi pada tahun yang sama. Hal ini menimbulkan situasi yang tidak menguntungkan bagi buruh, di mana meskipun pendapatannya sedikit meningkat, namun beban biaya hidup yang saat ini terus meningkat. Selain itu, peraturan upah minimum yang ada semakin memperumit masalah ini.

Masalah upah memang tidak pernah mendapatkan titik keadilan. Di satu sisi buruh terus meminta kenaikan gaji, di sisi lain pengusaha senantiasa mengupayakan bagaimana cara mengupah buruh seminim mungkin. Pemikiran seperti ini wajar terjadi di negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Karena sistem kapitalisme didasarkan pada ideologi yang memisahkan kehidupan dari agama, maka tidak mengherankan jika aturan yang muncul hanya berorientasi seputar materi. 

Dalam sistem kapitalisme, buruh dianggap sebagai faktor produksi yang dapat dimanfaatkan seminimal mungkin untuk memaksimalkan keuntungan. Konsep upah dalam kapitalisme cenderung menempatkan buruh dalam posisi yang sulit, di mana gaji mereka hanya disesuaikan dengan standar hidup minimum di lokasi kerja mereka. Hal ini berimplikasi pada kehidupan buruh yang sering kali berada dalam keadaan pas-pasan, tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Regulasi yang ada cenderung berpihak kepada pengusaha, menciptakan ketidakadilan di mana buruh tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Keberadaan upah minimum tidak selalu menjamin kesejahteraan buruh, karena sering kali angka tersebut masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat.

Persoalan buruh yang kita lihat saat ini, seperti upah rendah dan ketidakadilan, tidak akan muncul dalam sistem Islam. Dalam pandangan Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan semua warganya, termasuk buruh. Sistem Islam menekankan prinsip keadilan dalam hubungan kerja, di mana upah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara buruh dan pengusaha tanpa adanya eksploitasi.

Dalam hal ini, hubungan antara buruh dan pengusaha bersifat setara dan saling menguntungkan. Negara berperan aktif dalam menyediakan layanan publik yang mendukung kebutuhan dasar masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian, persoalan buruh akan lebih bersifat personal atau kasuistik, karena setiap masalah dapat diselesaikan berdasarkan akhlak dan prinsip syariat yang adil.

Dalam sistem Islam, buruh dibayar sesuai dengan kontribusi kerja mereka berdasarkan kesepakatan yang adil antara buruh dan pengusaha. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan dalam muamalah, di mana setiap pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Jika terjadi perselisihan mengenai besarnya upah, ada khubara (ahli) yang dapat menentukan solusi yang adil. Islam menempatkan buruh dan pengusaha dalam posisi yang setara, mengakui bahwa buruh adalah manusia yang berhak hidup layak.

Wallahu'alam


Share this article via

110 Shares

0 Comment