| 33 Views
Pesantren sebagai Pelopor Kebangkitan Islam: Antara Narasi dan Realitas

Oleh: Nuha Nabilah
Aktivis Muslimah
Dilansir dari kemenag.go.id, dalam pembukaan Musabaqah Qira'atil Kutub (MQK) Internasional di Pesantren As'adiyah Wajo, Menteri Agama Nasaruddin Umar mengimbau seluruh elemen pesantren di Indonesia untuk menjadikan ajang MQK Nasional dan Internasional sebagai langkah awal menuju kebangkitan kembali Zaman Keemasan Peradaban Islam (The Golden Age of Islamic Civilization). Ia menegaskan bahwa kebangkitan tersebut harus dimulai dari lingkungan pesantren. Menurut Menag, kebangkitan peradaban Islam perlu dimulai dengan integrasi antara “kitab kuning” (turats klasik) dan “kitab putih” (ilmu umum modern). Menurutnya, perpaduan antara kitab kuning dan kitab putih akan melahirkan insan kamil yang mampu melahirkan peradaban Islam yang paripurna (02/10/25).
Dalam konteks kehidupan modern seperti sekarang ini, yang diwarnai sekulerisme dan liberalisme, perlu dicermati lebih dalam. Jangan sampai semangat “integrasi ilmu” justru berubah menjadi pergeseran nilai yang melemahkan peran pesantren sebagai pusat lahirnya ulama dan pemimpin peradaban Islam. Dalam beberapa tahun terakhir, kecendrungan menempatkan santri yang seharusnya menjadi calon warosatul anbiya’ berganti peran dengan memposisikan sebagai duta budaya dan motor kemandirian ekonomi. Serta membelokkan arah perjuangan santri menjadi agen perdamaian dan perubahan sosial versi sekularisme, dan menjadikannya sebagai duta Islam moderat yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Secara sekilas memang berdampak positif, namun fokus utama santri yang terdistraksi ini akan bertentangan dengan tugas utamanya yaitu penegak peradaban Islam.
Maka dari itu, Pesantren sebagai pusat ilmu dan moral yang seharusnya diwujudkan kembali dengan peradaban Islam, merupakan kewajiban setiap mukmin, bukan sekedar narasi dan seruan semata. Tidak lupa, setiap muslim harus mengkaji bagaimana Islam membangun peradaban dengan mendefinisikan peradaban mulai dari asasnya (akidah), standar amalnya (hukum syara'), tujuan kebahagiaannya (ridha Allah), dan gambarannya (tatanan hidup Islam secara menyeluruh).
Pesantren hanyalah salah satu komponen yang berperan dalam mewujudkan kembalinya peradaban Islam, bukan satu-satunya ranah dalam menggapai peradaban Islam yang gemilang. Sebagai akibatnya, muslim haruslah memperjuangkan dakwah politik Islam yang terarah agar islam dapat menghirupkan napas peradaban yang paripurna.
Sebagaimana Nabi Muhammad membangun Negara Islam Madinah Al Munawwarah, yang dapat dianggap sebagai bentuk negara yang sebenarnya karena telah memenuhi unsur-unsur pokok berdirinya suatu negara, yaitu adanya wilayah, rakyat, pemerintahan, dan undang-undang dasar. Hal ini dibuktikan ketika Nabi Muhammad SAW pada tahun pertama Hijriyah menetapkan Piagam Madinah sebagai dasar pembentukan negara. Piagam yang terdiri atas 47 pasal tersebut berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar berbagai komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk, yang mencakup tiga kelompok besar: umat Islam (baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar), kaum Yahudi (dari suku Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa'), serta kelompok suku Arab yang masih menganut kepercayaan penyembahan berhala.
Salah satu pilar kekuatan umat Islam yang dibangun Rasulullah SAW adalah tasyri' atau qanun, yakni hukum yang bersumber dari syariat Allah sebagai dasar pengaturan kehidupan sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Suatu masyarakat baru dapat disebut Islam jika menerapkan syariat dalam seluruh aspek hidupnya, baik ibadah maupun sosial. Sebagai pemimpin negara, Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang sempurna. Beliau menegakkan seluruh sendi kehidupan bernegara dengan menetapkan prinsip-prinsip, aturan, serta batas-batasnya secara jelas dan menyeluruh.
Dengan demikian, dakwah politik Islam sangat diperlukan untuk mewujudkan peradaban Islam yang gemilang yang akan terwujud dalam sistem khilafah.
Wallaahu a'lam bisshawab.