| 25 Views

Perempuan Dan Anak Butuh Solusi Nyata Atas Kejahatan Siber

Oleh : Mila Ummu Azzam

Sepanjang tahun 2025, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami lonjakan yang signifikan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi mengatakan, dari Januari hingga pertengahan Juni 2025 ada 11.800 kasus yg terlapor, kemudian dari pertengahan juni menuju 7 Juli 2025 angka kasus melonjak menjadi 13.000 kasus.

Selanjutnya, ia mengatakan media sosial atau gadget merupakan penyebab  sebagian besar dari kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain faktor media sosial, faktor pola asuh juga mempengaruhi. Menurutnya, masalah ini harusnya menjadi perhatian serius mengingat tingginya keterpaparan anak terhadap dunia digital yang tidak disertai kontrol. (Tempo, 11-7-2025)

Senada dengan itu, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, mengatakan saat ini remaja Indonesia tak bisa lepas dari pemakaian yang sangat berlebihan terhadap handphone. Menurutnya, penggunaan gawai yang terlalu masif di usia remaja dapat menjadikan generasi muda semakin rentan terhadap ancaman siber.

Ada banyak masalah yang dapat terjadi akibat penggunaan handphone yang berlebihan. Salah satunya terkait kasus pornografi anak di ruang digital. Mengacu dari survei National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia saat ini menempati peringkat keempat secara global dan peringkat kedua di kawasan ASEAN dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital.

Memang, pada saat ini penggunaan handphone berbasis internet sudah menjadi kebutuhan semua orang. Melalui internet ada banyak hal yang dapat dilakukan, seperti digunakan untuk alat komunikasi jarak jauh, media pembelajaran, media interaksi, media untuk mencari berbagai informasi, sumber penghasilan, hiburan, bahkan alat pertahanan dan perlindungan negara.

Tak bisa di pungkiri, perkembangan dunia digital hari ini tak memiliki kendali, sehingga selain manfaat, ada banyak masalah yang ditimbulkan karenanya. Semua orang bebas mengakses apapun di media sosial, termasuk anak-anak. Ini menjadikan anak rentan terhadap ancaman siber. Apalagi konten-konten pada media sosial banyak yang tidak mendidik, bahkan menjadi pemicu kekerasan anak. Lihat saja, konten apapun seperti bullying, kekerasan, judol, pornografi dan lainnya tersedia di media sosial dan mudah diakses.

Terlebih tidak ada pengawasan orang tua atau orang dewasa pada penggunaan media sosial terhadap anak. Mereka para  orang tua secara sukarela memberikan handphone kepada anak. Padahal memberikan handphone pada anak, apalagi masih dibawah umur sama saja  orang tua telah memberikan racun yang membahayakan masa depannya.

Terus berkembangnya kejahatan dan kekerasan siber terhadap perempuan dan anak ini butuh penyelesaian yang benar. Pemerintah sendiri telah bekerjasama dengan berbagai pihak untuk terus mengkampanyekan anti kekerasan, sampai mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak atau PP TUNAS sebagai model ketentuan  yang bisa menjadi standar global dalam melindungi anak-anak di ruang digital kepada organisasi telekomunikasi internasional, yakni International Telecommunications Union (ITU).

Ketentuan ini mengatur platform digital untuk menyediakan fitur yang sesuai dengan usia dan tingkat risiko anak, serta mewajibkan anak-anak dan remaja untuk menyaring konten di ruang digital yang berpotensi membahayakan, akan tetapi semua upaya itu nampaknya tidak membuahkan hasil yang signifikan. Bukannya berkurang, kasus kejahatan dan kekerasan siber terhadap anak selalu mengalami peningkatan.

Artinya, penyelesaian ini belum menyentuh akar persoalan. Karena faktor yang menjadi penyebabnya saling terkait satu sama lain yang terjadi secara sistematis. Yaitu karena penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem yang memberikan kebebasan tanpa terikat dengan aturan agama dalam menjalani kehidupan yang menjadikan lemahnya iman. Aturan yang diberikan hanya melihat penyelesaian dari satu sisi tanpa melihat sisi lainnya.

Apalagi arus digitalisasi dalam sistem ini diduga membawa keuntungan materi, sehingga aspek keselamatan tak terlihat lagi selama mendapatkan keuntungan. Ini semua akibat dari sistem sekuler kapitalisme yang menghasilkan orang-orang dengan penggunaan teknologi tanpa ilmu dan iman.

Itu semua menunjukkan telah gagalnya negara dalam memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Sistem ini menjadikan negara tidak dalam posisi yang semestinya, yaitu sebagai junnah (pelindung dan penjaga), sebagaimana dalam negara Islam. Dalam Islam, negara akan membangun sistem teknologi digital yang mandiri tanpa terikat dengan infrastruktur teknologi asing. Sehingga negara mampu memberikan informasi sehat bagi masyarakat, ruang siber syar'i, konten yang mendidik bahkan menjaga data keamanan negara.

Selain itu, negara juga memberikan sistem pendidikan dan pergaulan yang berbasis akidah Islam yang akan membentuk kepribadian Islam yang sesuai pola pikir dengan pola sikapnya, yang secara otomatis menjadi benteng diri agar tidak mudah terpengaruh berbagai kerusakan dan kejahatan berbasis siber. Maka dari situ akan lahir generasi yang mempunyai iman dan takwa yang kuat kepada Allah Swt, menjadi generasi yang cemerlang di masa depan.

Negara Islam berfungsi sebagai junnah (pelindung dan pengurus) rakyat, karena tegak diatas akidah Islam dimana seluruh syariat Islam diterapkan di semua aspek kehidupan. Islam memberikan solusi atas semua persoalan manusia. Penerapan syariat Islam secara keseluruhan akan mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan bagi semua umat manusia.

Wallahu'alam bishawab.


Share this article via

17 Shares

0 Comment