| 180 Views

Penista Agama Tumbuh Subur di Sistem Demokrasi

Oleh : Huda Reema Naayla
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Negara demokrasi adalah negara yang katanya bebas berekspresi. Ekspresi yang ditunjukkannya pun tampaknya terlewat batas. Di saat kebebasan berekspresi ini diagungkan, ternyata banyak oknum yang justru memanfaatkannya demi ketenaran, popularitas, bahkan mencari cuan. Tidak sedikit oknum yang berani menyenggol agama demi meningkatkan ketenaran dirinya. Lalu bagaimana seharusnya penanganan dan pencegahan agar kasus ini tidak terjadi kembali?

Salah satu kasusnya yang sedang viral dikabarkan Tvonenews.com (13/6/2024), Abuya Ghufron Al-Bantani yang kerap disapa Abuya Mama Ghufron mengaku telah merilis 500 kitab yang bertuliskan bahasa Suryani. Hal tersebut memancing publik menantang terhadap pembuktiannya. Namun, Abuya Mama Ghufron tetap mempertahankan diri bahwa dirinya benar-benar telah menulis 500 kitab tersebut. Sontak, video ceramahnya saat Abuya Mama Ghufron membela kitabnya disorot publik karena dilakukan dengan cara emosi.

Aktivis Islam, Farid Idris dalam suaranasional.com (19/6/2024)mengatakan bahwa Mama Ghufron dan pengikutnya terus menyebarkan kesesatan di media sosial. Farid menuntut MUI Banten harus memanggil Mama Ghufron atas penyebaran ajaran sesat, karena ajaran Mama Ghufron telah meresahkan masyarakat dan pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) harus bertindak. Pasalnya, menurutnya, masyarakat yang pemahaman Islamnya masih lemah bisa terpengaruh ajaran sesat Mama Ghufron.

Memang, kasus penistaan agama kali ini cukup menghebohkan, karena berani mempublikasikannya secara langsung. Penistaan agama seperti ini memang sudah ada dari dulu dan isi dari kontennya lebih banyak menyesatkan bahkan tidak sedikit orang yang langsung percaya. Perlu digarisbawahi bahwa penistaan agama yang kembali terjadi ini karena negara tidak memberi sanksi tegas dan menjerakan, seakan dibiarkan atas nama kebebasan berpendapat sehingga tak mampu mencegah kejadian serupa. Umat pun terancam bahaya yang dapat merusak akidahnya. 

Di sisi lain, hal serupa akan mudah terjadi, mengingat kebebasan berpendapat diakui dalam sistem hidup hari ini, yaitu sistem demokrasi sekuler. Akibatnya penistaan agama dapat tumbuh subur atas nama kebebasan berpendapat dan berperilaku. Namun sayangnya, ketika ada seseorang yang menyatakan kebenaran dan bertentangan justru cenderung ditangkap bahkan dipenjarakan tanpa sebab. Tapi sekali lagi, ini fenomena yang wajar adanya pada sistem demokrasi sekuler.

Namun, kasus seperti ini tidak akan pernah kita temukan dalam sistem Islam, karena Islam merupakan agama paripurna yang mengatur semua aspek. Pasalnya, dalam sistem Islam,  negara sebagai penjaga akidah umat dan menetapkan semua perbuatan terikat hukum syara. Tidak ada kebebasan dalam berbuat dan berbicara, apalagi menyangkut agama. 

Pelanggaran hukum syara adalah kemaksiatan, ada sanksi tegas dan menjerakan dari negara sehingga seseorang tidak akan berani menista ajaran Islam. Menurut ahli hadits, Ibn al-Mundzir berkata, jumhur ulama sepakat bahwa, hukuman atas penista Nabi adalah hukuman mati.[]


Share this article via

56 Shares

0 Comment