| 98 Views

Penambahan Kursi Menteri adalah Pemborosan

Oleh : Ummu Abyan

Penambahan kursi menteri dalam kabinet pemerintah sering kali dianggap sebagai pemborosan sumber daya. Dengan semakin banyaknya menteri, biaya operasional dan anggaran negara meningkat, sementara efektivitas pengambilan keputusan dapat terpengaruh oleh kompleksitas struktur pemerintahan yang lebih besar.

Selain itu, penambahan ini sering kali dipandang sebagai langkah politik untuk mengamankan dukungan koalisi, bukan berdasarkan kebutuhan nyata untuk meningkatkan kinerja pemerintahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dan transparansi dalam penggunaan anggaran publik, yang seharusnya lebih fokus pada kesejahteraan rakyat.

Penambahan kursi menteri dalam pemerintahan Prabowo Subianto menuai perdebatan tentang apakah ini merupakan pemberian jabatan yang boros atau strategis.

DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang memungkinkan penambahan jumlah kementerian. Proses revisi ini dilakukan dengan cepat, hanya dalam waktu kurang dari delapan jam, dan akan membuka jalan bagi Prabowo untuk menambah jumlah kementerian setelah dilantik sebagai presiden pada Oktober 2024.

Dalam UU Nomor 39 Tahun 2008: UU ini menetapkan jumlah menteri yang dapat dipilih Presiden berdasarkan urusan pemerintahan yang harus dijalankan secara menyeluruh. Jumlah menteri saat ini adalah 34 kursi, menjadi 41, dan kemudian mungkin hingga 44 menteri yang menempatkan Indonesia sebagai negara ASEAN dengan jumlah menteri terbanyak. 

Bukan tidak mungkin selain pemborosan penambahan  jumlah kursi menteri  juga akan berpotensi meningkatkan beban biaya tunjangan dan gaji di APBN mendatang, dan juga berdampak pada pajak.

Sistem pemerintahan presidensial yang dianut sistem pemerintahan saat ini, pengangkatan menteri menjadi hak preogatif presiden. Dia memiliki wewenang untuk mengangkat menteri-menteri yang akan memimpin struktur kelembagaan negara di bawah presiden. Seorang aparatur negara memiliki tugas yang berat, membantu presiden melaksanakan pengelolaan atas urusan rakyatnya secara adil.

Dalam negara Islam pembentukan lembaga struktur negara dan pengangkatan pejabat,  berbeda dengan sistem demokrasi. Struktur jabatan yang efektif efisien adalah yang harus menjadi pertimbangan, dampaknya pada keterlaksanaan pengelolaan urusan rakyat. Beban keuangan otomatis akan mengikuti.
Dalam struktur pemerintahan, jumlah orang pasti berbanding lurus dengan jumlah kewajiban negara yang harus dibayarkan pada pejabat yang diangkat, beserta staf-staf negara.

Penambahan struktur, jabatan, dan pengangkatan orang untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan harus dilakukan dengan jelas dan tidak hanya karena alasan bagi-bagi kursi. Meskipun ditolak dengan klarifikasi, fakta menunjukkan apa yang terjadi dalam sistem politik Indonesia saat ini. Keadilan hukum bagi rakyat masih diragukan. Dasar pengangkatan dan penempatan orang-orang dalam jabatan masih dan selalu menjadi pertanyaan.

Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala negara (khalifah) memiliki tanggung jawab utama dalam mengelola urusan rakyat. Jika seorang pemimpin negara dapat menyelesaikan semua urusan rakyat sendiri, maka seharusnya ia melakukannya tanpa memerlukan bantuan. Aturan syari'at mengizinkan pemimpin negara untuk memilih individu-individu yang dianggap layak dalam mengelola urusan masyarakat. Dengan demikian, mereka dapat melakukan pengangkatan sesuai dengan kebutuhan dalam menjalankan tanggung jawab tersebut.

Dalam sistem pemerintahan Islam, tidak ada ruang untuk pengangkatan pejabat yang didasarkan pada balas budi atau praktik transaksional. Tindakan semacam itu jelas bertentangan dengan syariat dan akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat kelak.

Wallahu A'lam Bishshowab


Share this article via

100 Shares

0 Comment