| 45 Views

Pembunuhan Sadis Buah Dari Sistem Kapitalisme Sekuler

Oleh : Dewi yuliani
Aktivis Dakwah Idiologis

Kediri, Jawa Timur – Pengadilan Negeri (PN) Kediri menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup kepada Rohmad Tri Hartanto pada Selasa (09/09/2025). Ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana yang disertai dengan memutilasi korban lalu dimasukan ke dalam koper berwarna merah.

Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup," ucap Ketua Majelis Khairul didampingi Hakim Anggota Novi Nuradhayanty dan Alfan Firdauzi Kurniawan di Ruang Sidang PN Kediri, Jl. Jaksa Agung Suprapto No.14, Mojoroto, Kota Kediri. Kronologis kasus ini bermula dari hubungan asmara antara Terdakwa dengan Korban Alm. Uswatun Hasanah yang dikenalnya pada tahun 2020. Mereka berpacaran hingga tahun 2025.

Sungguh miris jika kita membahas masalah remaja dan pemuda hari ini yang justru lebih dekat dengan aksi kekerasan, kriminal, senjata tajam, tawuran, pembunuhan, dan kejahatan lainnya. Generasi muda yang semestinya dikenal dengan usia emas malah terjerumus pada perbuatan mengerikan hingga menjadi pelaku kejahatan.

Berbagai upaya sudah dilakukan, tetapi selalu ada celah bagi kejahatan dengan beraneka cara dan bentuknya. Bagaimana agar generasi kita tidak terjerembap ke dalam lembah kenistaan yang lebih dalam? Sungguh ngeri membayangkan masa depan negara dengan kualitas generasi yang rendah seperti ini. Mau jadi apa negeri ini.

Betapa mirisnya Nyawa perempuan di Indonesia seolah tidak berharga. Hanya gegara asmara, ekonomi, atau utang piutang, nyawa dengan mudah melayang. Lebih miris lagi, pembunuhnya tidak puas hanya membunuh, tetapi tega memutilasi dengan sadis.

Penerapan Sistem Sekuler
Pembunuhan sadis yang dilakukan oleh para pelaku sesungguhnya menggambarkan rusaknya pemikiran yang ada pada diri pelaku. Pemikiran rusak itu merupakan buah dari penerapan sekularisme yang telah merusak masyarakat.

Rusaknya masyarakat ditengarai merupakan akibat dari, pertama, tercerabutnya nilai-nilai agama (Islam) dalam diri individu masyarakat sehingga perbuatannya memperturutkan hawa nafsu. Tidak ada kontrol individu agar selalu dalam koridor perilaku manusia yang mulia. Kepuasan individu menjadi tujuan, tanpa peduli nilai kemanusiaan. Saat menemukan realitas yang tidak sesuai kehendaknya, ia bisa melampiaskan kemarahan dengan membunuh, memutilasi, bahkan tindakan sadis lainnya.

Kedua, pendidikan sekuler yang diterapkan negara telah memisahkan agama dari kehidupan sehingga melahirkan generasi rapuh tanpa adab. Ketiga, prinsip kebebasan yang dijamin oleh negara menjadikan orang bebas berbuat, bebas memiliki, bebas beragama, dan bebas berpendapat. Dari beberapa indikasi di atas, diketahui bahwa sekularisme telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia dan meletakkan manusia pada derajat yang lebih rendah dari hewan.

Klaim pegiat gender yang menyatakan bahwa pembunuhan sadis itu sebagai femisida sehingga harus mendapatkan hukuman yang lebih berat, juga tidak menemukan faktanya. Klaim itu sekadar persepsi berdasarkan paradigma berpikir gender. Klaim itu sama saja dengan menghukumi sesuatu yang ada di benak seseorang ketika membunuh, bukan menghukumi perbuatan membunuhnya. Persepsi semacam itu muncul ketika akal menjadi standar dalam menghukumi perbuatan.

Setiap orang pasti akan menetapkan sesuatu yang menurutnya baik. Namun, dengan akalnya yang terbatas, manusia tidak akan mampu memikirkan apa yang terbaik untuk dirinya, apalagi terbaik untuk orang lain. Alhasil, saat manusia membuat hukum, hanya akan menguntungkan dirinya, keluarganya, kelompoknya, komunitasnya, ataupun gendernya.

Akibat sekularisme, hukum syariat yang memberikan jaminan perlindungan kepada perempuan, jadi tidak bisa diterapkan, baik di ranah domestik maupun publik. Sekularisme malah memberikan kebebasan kepada perempuan untuk melakukan apa pun yang tidak jarang justru memicu pertengkaran dalam keluarga yang berakhir dengan pembunuhan.

Dalam negara sekuler, regulasi yang ada tidak berfungsi efektif, baik karena tidak berefek jera maupun tidak menyelesaikan masalah. Misalnya saja, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan yang akan memberikan efek jera bagi pelakunya, justru dianggap bertentangan dengan HAM.

Banyak negara di dunia mulai menghapus hukuman mati karena dianggap bertentangan dengan hak hidup mutlak yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun, termasuk negara. Beberapa ahli hukum pidana berpendapat bahwa hukuman mati bukanlah solusi tepat, bahkan tidak relevan di Indonesia.

Sementara itu, hukuman yang ada (seperti penjara) selain tidak pernah menimbulkan efek jera, juga tidak menyelesaikan masalah. Setelah selesai menjalani hukum penjara, tidak jarang pelaku melakukan perbuatan yang sama sehingga kasus pembunuhan makin bertambah, penjara kian penuh, dan perempuan tetap tidak aman.

Islam Tidak Mengenal Konsep Gender
Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak mengenal konsep gender. Dalam Sistem Pergaulan dalam Islam halaman 21, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan, “Allah telah menciptakan manusia, baik pria maupun wanita, dengan satu fitrah tertentu yang berbeda dengan hewan. Wanita adalah manusia sebagaimana halnya pria. Masing-masing tidak berbeda dari aspek kemanusiaannya. Yang satu tidak melebihi yang lainnya dalam aspek ini.”

Allah Swt. menciptakan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama, yakni sebagai hamba Allah. Masing-masing diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Ini sebagaimana firman-Nya, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat [51]: 56).

Oleh karenanya, hampir seluruh syariat Islam dan hukum-hukumnya berlaku untuk laki-laki dan perempuan secara seimbang. Begitu pun dengan pahala siksa, tidak dibedakan satu dengan yang lainnya. Masing-masing memiliki kewajiban dan hak yang sama di hadapan Allah sebagai hamba-Nya.

Namun demikian, bukan berarti laki-laki dan perempuan menjadi sama dan setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan, status sosial, pekerjaan, maupun jenis kewajiban dan hak, sama saja melanggar kodrat.

Selain itu, Allah telah menganugerahi keduanya dengan kekhasannya sebagai laki-laki maupun perempuan. Misalnya, perempuan mendapat hukum haid, laki-laki tidak. Laki-laki yang punya tubuh kekar dan fisik yang kuat akan mendapat tugas mencari nafkah, sedangkan perempuan tidak. Inilah adil dan manusiawi versi Islam.

Kemuliaan manusia bukanlah ditentukan oleh gendernya, melainkan ketakwaannya. Allah Swt. menegaskan dalam QS Al-Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Ayat ini menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki akan sama-sama mulia dalam Islam ketika menjalankan perintah Allah (bertakwa) dan akan tercela ketika melanggar perintah-Nya. Takwa ini akan mencegah seseorang berbuat superior dan menganiaya yang lainnya.

Perlindungan Islam
Islam sebagai sebuah sistem hidup sempurna yang berasal dari Zat Yang Maha Sempurna memberikan perlindungan berlapis agar perempuan dan masyarakat terhindar dari perbuatan sadis.

Lapis pertama, Islam memerintahkan agar setiap keluarga menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS At-Tahrim ayat 6, “Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka.”

Realisasi penjagaan ini diwujudkan dengan menjadikan keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak-anak agar memiliki pemahaman akidah dan syariat Islam yang utuh untuk membentuk ketakwaan dalam diri anak yang akan menjadi bekal kelak saat ia terjun di kancah kehidupan. Takwa inilah yang akan mencegahnya dari perbuatan melanggar syariat, termasuk melakukan pembunuhan.

Lapis kedua, negara akan menerapkan kurikulum pendidikan Islam untuk semua warga negara. Dalam kitab Muqadimah Dustur/Rancangan UUD Negara Khilafah disebutkan. Pasal 165, “Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Mata Pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikit pun dalam pendidikan dengan asas tersebut.”

Sedangkan strategi pendidikannya dijelaskan dalam Pasal 166, “Strategi pendidikan adalah membentuk pola pikir islami (akliah islamiah) dan jiwa islami (nafsiah islamiah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disesuaikan atas dasar strategi tersebut.”

Sedangkan pasal 167 menjelaskan tentang tujuan pendidikan, “Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam (syahsiah islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan.”

Dengan kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan yang diterapkan negara inilah yang memungkinkan seluruh warga negara memiliki tsaqafah Islam yang akan menjadi bekal melakukan kontrol di tengah masyarakat apabila ada hal-hal yang melanggar syariat Islam. Berjalannya kontrol di tengah masyarakat akan meminimalkan terjadinya tindak kejahatan, termasuk pembunuhan.

Lapis ketiga, negara akan menerapkan sistem pergaulan Islam. Penerapan sistem pergaulan Islam akan mencegah manusia bergaul tanpa batas yang akan menimbulkan kecemburuan, perzinaan, dan sebagainya yang memicu tindak kekerasan. Di antaranya adalah larangan berkhalwat, wajibnya memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan, dan kebolehan ikhtilat dalam perkara-perkara yang disyariatkan saja.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam hlm. 54, “Dikecualikan dari itu jika Allah telah membolehkan adanya interaksi di antara keduanya, baik dalam kehidupan khusus maupun kehidupan umum. Allah Swt., misalnya, telah membolehkan kaum wanita untuk melakukan jual beli serta mengambil dan menerima barang, mewajibkan mereka untuk menunaikan ibadah haji, membolehkan mereka untuk hadir dalam salat berjemaah, berjihad melawan orang-orang kafir, memiliki harta dan mengembangkannya, dan sejumlah aktivitas lain yang dibolehkan atas mereka. Semua aktivitas di atas yang dibolehkan atau diwajibkan oleh syariat Islam terhadap kaum wanita, harus dilihat dahulu. Jika pelaksanaan berbagai aktvitas di atas menuntut interaksi/pertemuan (ijtima’) dengan kaum pria, boleh pada saat itu ada interaksi dalam batas-batas hukum syariat dan dalam batas aktivitas yang dibolehkan atas mereka. Ini misalnya aktivitas jual beli, akad tenaga kerja (ijârah), belajar, kedokteran, paramedis, pertanian, industri, dan sebagainya.”

Lapis keempat, negara akan membentuk departemen penerangan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kerja media, baik media massa maupun digital. Tujuannya, menjaga masyarakat dari pengaruh negatif media yang merusak.

Dalam Ajhizah ad-Daulah al-Khilâfah hlm. 246 dijelaskan bahwa negara akan mengeluarkan undang-undang yang menjelaskan garis-garis umum politik negara dalam mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariat. Hal itu dalam rangka menjalankan kewajiban negara dalam melayani kemaslahatan Islam dan kaum muslim, juga dalam rangka membangun masyarakat islami yang kuat, selalu berpegang teguh dan terikat dengan tali agama Allah Swt., serta menyebarluaskan kebaikan dari dan di dalam masyarakat islami tersebut.

Yang  kelima, negara akan menegakkan sistem sanksi pidana Islam yang tegas dan menimbulkan efek jera. Ketika pencegahan sudah dilakukan secara maksimal, tetapi masih ada yang melakukan maksiat atau pelanggaran, lapisan terakhir yang bisa dilakukan adalah penerapan sistem sanksi pidana yang tegas. Hukum Islam memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penebus dosa (jawabir) dan memberikan efek jera (zawajir). Dengan begitu, mereka yang melanggar tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Sebagai contoh, seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja akan diberi pilihan satu di antara tiga sanksi pidana pembunuhan. Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizhâm al-‘Uqûbât hlm. 91 dan 109 menyebutkan tiga sanksi itu, yaitu hukuman mati (kisas), membayar diat (tebusan/uang darah), atau memaafkan (al-’afwu).

Sanksi-sanksi pidana Islam tersebut didasarkan pada firman Allah Swt., “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Namun, barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah ia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS Al-Baqarah [2]: 178).

Pilihan pertama, menuntut kisas, yakni hukuman mati. Jika keluarga korban menuntut hukuman mati, pelaku pembunuhan sengaja akan dijatuhi hukuman mati (kisas) oleh hakim syariat (kadi).

Pilihan kedua, meminta diat (tebusan). Hal ini dapat menjadi pilihan jika ada salah satu dari anggota keluarga korban yang memaafkan si pembunuh. Diat dalam kasus pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amdu) termasuk diat mughallazhah, yaitu diat kelas berat, berupa memberikan 100 ekor unta—40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (hamil)—kepada keluarga korban.

Dengan hukum pidana Islam, masyarakat akan terlindungi dari berbagai tindak kejahatan. Keamanan dan rasa aman bagi semua orang akan terwujud. Jumlah pelaku tindak kejahatan di masyarakat akan minimal. Penuh sesaknya penjara dan lembaga pemasyarakatan, seperti yang terjadi saat ini hampir di seluruh dunia, tidak akan terjadi saat hukum pidana Islam diterapkan.

Dengan lima lapis perlindungan ini, negara akan menjadi benteng kokoh bagi perempuan dari tindak pembunuhan sadis. Penerapan secara total seluruh hukum Islam itu tentu hanya mungkin diwujudkan dalam institusi pemerintahan Islam, Khilafah ’ala minhâj an-nubuwwah.

Sudah tiba saatnya kaum muslim mencampakkan sistem sekuler yang rusak dan merusak saatnya kembali mengambil sistem sahih yang datang dari Allah Swt. agar terwujud masyarakat yang aman, termasuk terlindunginya perempuan dari segala tindak kejahatan.

Wallahu allam bishawab


Share this article via

13 Shares

0 Comment