| 186 Views
Pelecehan Seksual di Era Digital: Ancaman Baru bagi Dunia Demokrasi

Oleh : Welly Okta
Miris sekali, seharusnya seorang wanita dilindungi, namun kenyataan di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, menunjukkan hal sebaliknya. Seorang sales minuman diperkosa oleh tiga pria pada Rabu, 16 Oktober 2024, di bawah jembatan di Jalan Raya Tengku Umar. Saat ini, polisi masih menyelidiki ketiga pelaku yang keji tersebut (detik.news, 17/10/24).
Di tengah sistem demokrasi, kita sering menemukan berbagai kasus asusila yang tidak hanya terjadi di dunia kerja, tetapi juga di dunia pendidikan. Korban dari kekerasan seksual ini tidaklah sedikit. Menurut data yang dipublikasikan oleh Rape, Abuse & Incest National Network (RAINN) pada 2017, kasus kekerasan seksual terjadi setiap 98 detik di Amerika Serikat. Jumlah korban mencakup 80.600 tahanan, 18.900 personel militer, 60.000 anak-anak, dan 321.500 warga sipil. Angka ini terus meningkat dan menjadi fenomena gunung es, karena banyak korban yang tidak melaporkan kejahatan yang menimpa mereka.
Pernyataan di atas menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak penerapan prinsip sekuler dan liberal dalam kehidupan sosial di negara-negara seperti Indonesia, yang sebelumnya dikenal memiliki nilai-nilai adat ketimuran yang kuat. Sekulerisme dalam konteks ini merujuk pada pemisahan antara agama dan kehidupan publik atau politik, sementara liberalisme seringkali dikaitkan dengan kebebasan individu dalam berbagai aspek, termasuk gaya hidup.
Islam memandang naluri seksual sebagai bagian alami manusia yang harus diatur dengan baik. Satu-satunya cara yang dihalalkan untuk menyalurkan naluri ini adalah melalui pernikahan, guna mencegah kerusakan sosial seperti pemerkosaan, pelecehan, sodomi, dan kejahatan seksual lainnya. Islam menerapkan aturan interaksi antara laki-laki dan perempuan, seperti larangan khalwat, ikhtilat, serta menjaga batasan aurat. Negara juga berkewajiban melindungi masyarakat dari konten yang membangkitkan syahwat dan membersihkan media dari informasi yang menyesatkan. Selain upaya preventif, negara harus menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku zina dan perilaku seksual menyimpang.
Adapun para pelaku yang memanfaatkan kejahatan seksual sebagai lahan bisnis akan dijatuhi sanksi, mulai dari pemenjaraan hingga hukuman mati, sesuai ijtihad. Jika terkait perzinaan, had zina akan diterapkan. Sanksi tegas ini bertujuan memberi efek jera dan mencegah kasus serupa. Berulangnya kejahatan seksual disebabkan oleh sanksi yang tidak efektif. Aturan Islam diyakini mampu menyelesaikan kejahatan seksual secara global, namun diperlukan perjuangan untuk menegakkan sistem sebagai pelaksana aturan Allah. Allah SWT berfirman: "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini agamanya?" (TQS. Al-Maidah: 50).