| 90 Views
Pajak, Zakat, dan Wakaf: Benarkah Sama?

Oleh: drh. Siska Pratiwi
Dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (13/8/2025), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut bahwa pajak sama halnya dengan zakat dan wakaf. Menurutnya, pajak termasuk salah satu jalan untuk menyalurkan sebagian dari harta dan rezeki yang dimiliki warga negara, karena dalam harta dan rezeki tersebut ada hak orang lain, dilansir detik.com.
Sehari sebelumnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengusulkan 10 potensi pajak baru kepada Wamenkeu Anggito Abimanyu yang diklaim akan menghasilkan pajak sebesar Rp 388 Triliun. Kajian Celios ini disambut baik dan diapresiasi oleh Staf Ahli Menkeu, Yon Arsal.
Realitanya, Indonesia memang sangat bergantung pada pajak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, >80% sumber pendapatan negara adalah pajak. Sementara Sumber Daya Alam (SDA), BUMN, dan lainnya mengambil porsi yang jauh lebih kecil. Paradigma kapitalisme yang mendasari roda ekonomi di negeri ini, telah meniscayakan ketergantungan atas pajak. Sementara, kekayaan alam yang melimpah ruah justru diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing dan swasta sehingga tidak bisa diandalkan menjadi sumber utama pendapatan negara.
Pernyataan Sri Mulyani yang menyebut bahwa pajak sama halnya dengan zakat dan wakaf telah memancing berbagai reaksi publik. Warganet ramai membuat meme/video komparasi antara "nasib" pembayar pajak vs penguasa yang dibayar dari pajak. Banyak komentar kontra atas pernyataan Menkeu tersebut, karena tidak setuju pajak disamakan dengan zakat dan wakaf.
"Zakat dari orang kaya untuk orang miskin, sementara pajak dari orang miskin untuk orang kaya", bunyi salah satu cuitan warganet usai menanggapi video pernyataan Menkeu Sri Mulyani.
Dikutip dari buku Perpajakan: Implementasi Peraturan Terkini karya Agustina Prativi Nugraheni, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, pajak berlaku umum tanpa memandang status agama warga negara dan latar belakangnya, serta diperuntukkan bagi kepentingan umum misalnya infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Adapun zakat dalam terminologi Islam adalah kewajiban khusus bagi umat Islam yang dalilnya berasal dari Al Qur'an dan hadist, dimana pada sebagian harta (menurut sifat dan ukuran tertentu) terdapat kewajiban untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya (dengan syarat tertentu). Aktifitas zakat menyiratkan makna pemeliharaan terhadap kesucian dan keberkahan harta.
Wakaf juga berasal dari terminologi Islam, yaitu ibadah yang bersifat sunnah, namun ganjaran pahalanya akan terus mengalir selama manfaatnya masih dirasakan. Wakaf dapat berupa tanah, bangunan, uang, atau aset lainnya yang akan dimanfaatkan sesuai niat wakif (pemberi wakaf).
Meskipun menurut pandangan Kemenkeu pajak, zakat, dan wakaf memiliki tujuan yang sama mulianya untuk kemaslahatan manusia, ternyata Islam memiliki pandangan berbeda. Pajak tidaklah sama dengan zakat dan wakaf, baik dari segi landasan, sifat kewajiban, hingga penerima manfaatnya. Dalam paradigma Islam, pajak hanya boleh dipungut dalam kondisi baitul mal/kas negara kosong dan hanya bersifat temporer serta dibebankan kepada umat yang kaya. Baitul mal dalam Islam memiliki banyak sumber pemasukan, dan SDA menjadi yang diutamakan. Karena Islam memandang kepemilikan atas SDA adalah kepemilikan umum yang dikelola oleh negara. Sehingga, SDA tidak boleh diserahkan kepengurusannya atau bahkan menjadi milik individu dan korporasi tertentu. Adapun zakat yang juga termasuk sumber baitul mal, disyariatkan Allah SWT. atas harta yang telah melebihi nisab dan mencapai haulnya, serta penerimanya ditentukan oleh syariat. Sementara wakaf hukumnya sunnah, bukan wajib.
Wallahu a'lam bishshawab