| 28 Views
Pajak Rakyat, Atau Palak Rakyat

Ilustrasi Pajak. (Foto:istockphoto)
Oleh: Ummu Asma
Pemerintah pusat berencana memangkas alokasi Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2026. Keputusan ini tentu bukan kabar baik bagi daerah-daerah, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sangat bergantung pada dana transfer untuk menjalankan berbagai program pembangunan. Pemangkasan TKD akan berdampak signifikan terhadap kemampuan daerah dalam mencapai target pembangunan, baik di sektor infrastruktur, pendidikan, maupun pelayanan publik.(harianjogja.com, 11/9/2025).
Menanggapi situasi ini, Pemerintah Daerah DIY dikabarkan telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menutup potensi kekurangan pendapatan tersebut. Salah satunya dengan memperkuat pengelolaan pajak daerah, termasuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan pajak. Langkah ini tentu tampak masuk akal dari sisi administrasi pemerintahan. Namun, di sisi lain, masyarakat kembali menjadi pihak yang paling merasakan beban kebijakan.
Pemangkasan anggaran untuk daerah sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Dari tahun ke tahun, pemerintah kerap melakukan efisiensi atau rasionalisasi anggaran dengan dalih stabilitas fiskal nasional. Ironisnya, dampak dari kebijakan tersebut sering kali dirasakan langsung oleh rakyat kecil—melalui peningkatan pungutan, retribusi, dan tentu saja pajak. Ketika dana dari pusat berkurang, daerah cenderung membebankan pajak yang lebih kepada rakyatnya sendiri. Rakyat dijadikan penyelamat keuangan negara.
Dengan kalimat bijak seperti “pajak untuk pembangunan” atau “pajak untuk kesejahteraan”. Rakyat diminta untuk patuh membayar pajak. Tapi ternyata fakta di lapangan tak seindah kalimat bijak ini. Ketika masyarakat sudah taat bayar pajak, namun tak merasakan perbaikan yang signifikan dalam layanan publik. Jalan rusak masih berlubang, pendidikan tetap mahal, dan harga-harga kebutuhan pokok selalu naik. Alhasil,pajak dimata masyarakat adalah tidak lagi menjadi simbol partisipasi rakyat dalam pembangunan, melainkan beban yang harus dipikul tanpa memberikan kesejahteraan yang lebih baik.
Di negara yang menganut sistem kapitalisme, Pajak memang menjadi sumber pemasukan negara yang utama. Negara ibarat perusahaan besar yang harus terus mencari pemasukan untuk menutupi pengeluaran. Maka tidak heran jika pajak menjadi tulang punggung negara. Sistem kapitalis menempatkan rakyat sebagai objek yang bisa diperas demi keberlangsungan negara. Bukan sebagai subjek yang seharusnya dilindungi dan disejahterakan.
Berbeda jauh dengan kapitalis, sistem Islam benar-benar memberikan kesejahteraan untuk rakyat. Dalam sistim Islam, pajak bukan merupakan sumber utama keuangan negara. Islam memiliki sistem keuangan yang khas dan mandiri yang berpusat pada Baitul Mal. Baitul Mal ini merupakan lembaga yang berfungsi menampung dan mengelola seluruh harta umat sesuai ketentuan syariah. Bukan seperti Baitul Mal yang ada saat ini, yang berfungsi sebagai bank, simpan pinjam. Namun Baitul Mal dalam sistim Islam adalah sebuah lembaga negara. Di Baitul Mal terdapat harta yang berasal dari berbagai sumber harta yang telah ditetapkan secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Harta tersebut berasal dari ghanimah (harta rampasan perang), fai’ (harta tanpa peperangan), kharaj (pajak tanah dari non-Muslim), jizyah (upeti dari non-Muslim), usyur (bea perbatasan), dan hasil pengelolaan kekayaan alam milik umum. Sumber- sumber kekayaan negara ini dikelola oleh negara untuk keperluan negara dan rakyat.
Dengan demikian, pajak dalam sistem Islam bukan pemasukan pokok negara. bersifat darurat dan temporer. Negara Islam hanya boleh memungut pajak (dharibah) ketika kas Baitul Mal kosong atau tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang sangat mendesak, seperti pembiayaan jihad, penanggulangan bencana, atau pembangunan fasilitas vital yang tidak bisa ditunda. Itupun hanya dipungut dari kaum Muslimin yang mampu secara finansial. Negara tidak boleh sewenang-wenang memungut pajak tanpa alasan syar’i. Pajak tidak dijadikan alat eksploitasi, melainkan sebuah cara untuk menolong kepentingan umat.
Konsep ini sangat berbeda dengan realitas sekarang. Dalam sistem kapitalis, pajak bisa dikenakan hampir di semua lini kehidupan: dari penghasilan, , kendaraan, rumah, hingga hiburan. Rakyat “dipajaki” dari berbagai komponen, mereka telah menanggung beban pajak di setiap kini kehidupan. Beban semakin bertambah ketika subsidi dicabut dan harga-harga naik, rakyat tetap diminta taat membayar pajak dengan dalih untuk pembangunan nasional. Maka wajar, jika pajak dikatakan sebagai bentuk pemalakan. Sebuah pemaksaan yang tidak berimbang antara kewajiban rakyat dan kewajiban negara terhadap rakyat. Hal ini berbeda dengan sistim Islam.
Dalam sistem Islam, pajak tidak dikenakan pada masyarakat. Pemungutan pajak dilakukan jika kas Baitul Mal kosong. Itupun pajak dikenakan bagi orang orang yang mampu/ kaya dan muslim. Negara akan memiliki sumber pendapatan yang stabil dari berbagai pos syar’i, serta dikelola dengan transparan dan adil. Maka tidak ada alasan untuk “memalak” rakyat demi menambal kesejahteraan rakyat bukan diukur dari seberap banyak mereka membayar pajak, melainkan dari seberapa adil negara mengelola kekayaan yang dimiliki. Negara berkewajiban memastikan kebutuhan dasar rakyat—seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan—terpenuhi tanpa harus membebani mereka dengan pungutan.
Jika sistem keuangan Islam diterapkan, rakyat tidak perlu khawatir akan kebijakan semacam pemangkasan anggaran atau kenaikan pajak. Negara akan memiliki sumber pendapatan yang stabil dari berbagai pos syar’i, serta dikelola dengan transparan dan adil. Maka tidak ada alasan untuk “memalak” rakyat demi menambal defisit anggaran. Pada akhirnya, kebijakan pajak yang menekan rakyat hanya akan melahirkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Karenanya, sudah saatnya meninjau ulang paradigma fiskal yang menjadikan pajak sebagai solusi tunggal setiap kali anggaran negara bermasalah. Negeri ini membutuhkan sistem keuangan yang adil dan menyejahterakan, bukan yang membebani. Islam telah menawarkan konsep tersebut sejak berabad-abad lalu. Maka untuk melepaskan jeratan kapitalis ini butuh perubahan sistim yang menyeluruh, bukan hanya ekonomi. Semoga akan segera tegak kembali sistim yang memberikan keadilan dan kesejahteraan umat.