| 59 Views

Menyamakan Pajak dengan Zakat? Jangan Salah Kaprah !

Oleh: Essy Rosaline Suhendi

Demi mendapatkan dukungan dari rakyat, terlihat dari isi pidato Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 yang terkesan memaksakan. Ia menyatakan, bahwa kewajiban membayar pajak sama seperti zakat dan wakaf, sebab ketiganya memiliki tujuan sama yaitu menyisihkan sebagian harta untuk diberikan kepada yang membutuhkan (www.cnbcindonesia.com, 14/08/25).

Sedangkan, beberapa pemerintah daerah menaikan pajak PBB yang memicu sejumlah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi, seperti yang terjadi di Bone, Sulawesi Selatan. Mereka menolak kenaikan PBB-P2 di depan kantor Bupati dan kantor DPRD, karena ditemukan sejumlah warga mendapati naiknya pajak bumi dan bangunan mencapai 200% hingga 300% (www.bbcnewsindonesia.com, 15/08/25).

Tidak cukup membuat rakyat menderita akibat mahalnya harga kebutuhan pokok, pemerintah menambah kesengsaraan rakyat dengan membuat kebijakan naiknya pajak. Seakan slogan andalan demokrasi dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat memang benar adanya, sebab rakyat yang memilih mereka, sekaligus juga menjadi tulang punggung negara.

Wajah busuk Kapitalisme

Di satu sisi, kelompok elite pengusaha dan oligarki bisa leluasa memesan berbagai UU kebijakan yang memanjakan mereka, sedangkan rakyat biasa harus bekerja keras banting tulang demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Akhirnya, ketimpangan sosial semakin tajam karena uang dijadikan dewa dalam setiap peraturan yang dibuat negara hingga membuat rakyat biasa semakin dalam terperosok ke dalam jurang kemiskinan.

Begitulah wajah culas sekulerisme kapitalisme, sistem ini memisahkan agama dengan kehidupan dan melegalkan hukum yang berlaku ditentukan berdasarkan hawa nafsu dan prasangka manusia. Dampaknya, aturan dan solusi yang dibuat oleh negara seringkali malah menimbulkan masalah, seperti halnya pemerintah menaikan pajak untuk memperbaiki perekonomian negara, walaupun kebijakannya sangat memberatkan rakyat.

Padahal, APBN negara 80% berasal dari pajak, termasuk rakyat miskin pun tidak luput dari pungutan pajak. Bukan kah seharusnya negara mampu mensejahterakan seluruh rakyat terutama rakyat miskin? namun pada kenyataannya pajak malah dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis. Kebijakan pajak juga meng-anak-emas kan kapitalis seperti tax amnesti.

Saatnya Ganti Sistem

Dalam Kapitalisme, harta kepemilikan tidak jelas pembagiannya, seakan seluruh yang didapat dengan keringat rakyat dari hasil berdagang, bertani dan sebagainya adalah miliki negara, rakyat membeli kendaraan, tanah, rumah, bahkan barang konsumsi pangan semua dikenai pajak. Sehingga menjadi wajar, jika kemiskinan menjadi penyebab kejahatan merajalela sebab rakyat jelata yang bukan dari bagian elite penguasa dan pengusaha merasa tak tercukupi kebutuhan hidupnya, seperti biaya pendidikan dan kesehatan rakyat dipaksa mandiri untuk mencukupinya, tapi aneh nya kapitalisme juga menjadikan mereka yang berkuasa semakin rakus dan menyebabkan para wakil rakyat melakukan korupsi.

Sungguh tidak layak, sekulerisme kapitalisme terus dipertahankan menjadi ideologi negara karena jika terus diterapkan, keadilan takan mampu diterapkan akibat aturan dan hukum yang dibuat berasal dari buatan manusia bukan berasal dari Sang Pencipta yakni Allah Swt.. Untuk itulah, seyogyanya manusia kembali pada aturan yang sesuai fitrah manusia, yaitu kembali pada penerapan syari'at Islam Kaffah.

Islam memandang, pajak berbeda dengan zakat dan wakaf. Dalam Islam, zakat hukumnya wajib bagi muslim yang kaya dan kekayaannya melebihi nisab serta mencapai haul. Sedangkan wakaf hukumnya sunnah bukan wajib. Akan tetapi perihal pajak hukumnya bukan wajib atau sunnah namun mubah atau bahkan bisa menjadi haram jika pajak dipungut paksa dan bertentangan dengan syariat.

Pajak dalam Islam hanya boleh dipungut dari lelaki muslim yang kaya untuk keperluan darurat yang sudah ditentukan syari'at, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Al-Amwal, seperti misalnya uang kas negara kosong dan sifat pemungutannya pun temporer. Terkait zakat, Islam menjadikan zakat sebagai sumber APBN negara yang penyalurannya wajib berdasarkan hukum syariat yaitu diberikan kepada 8 asnaf, Allah SWT berfirman:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَالۡمَسٰكِيۡنِ وَالۡعٰمِلِيۡنَ عَلَيۡهَا وَالۡمُؤَلَّـفَةِ قُلُوۡبُهُمۡ وَفِى الرِّقَابِ وَالۡغٰرِمِيۡنَ وَفِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَابۡنِ السَّبِيۡلِ​ؕ فَرِيۡضَةً مِّنَ اللّٰهِ​ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَكِيۡمٌ‏

Artinya: Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. At-Taubah:60)

Fungsi Baitul Mal dalam Islam

Negara dalam Islam juga memiliki Baitul mal, baitul mal berfungsi sebagai tempat penyimpanan seluruh pemasukan negara. Baitul mal memiliki banyak pemasukan tapi tidak bersandar pada zakat. Oleh karenanya, Islam mengatur harta kepemilikan. Harta kepemilikan dalam Islam yang menyangkut harta kepemilikan umum tidak boleh diswastanisasi. Rasulullah Saw bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)

Maka dari itu, sumber daya alam negara berpotensi memiliki pemasukan terbesar Baitul mal karena seluruh SDA milik negara wajib negara kelola dan hasilnya dapat digunakan untuk mencukupi kehidupan pokok yang wajib diberikan oleh negara kepada seluruh warga negara, seperti hak kesehatan dan pendidikan secara gratis. Dengan diaturnya harta kepemilikan, insyaallah seluruh rakyat dapat hidup sejahtera, karena negara bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan pokok rakyat per-kepala bukan per-keluarga.

Untuk itulah, penerapan Islam secara sempurna sangat dibutuhkan oleh manusia dan yang mampu menerapkannya hanyalah khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang mengikuti jejak Rasulullah Saw dalam mengatur dan membangun negara. Ketika sebuah negara menegakan khilafah, niscaya penguasanya atau dalam Islam disebut dengan Khalifah tidak akan berpihak pada kalangan tertentu karena seluruh warga menjadi tanggung jawabnya yang wajib diriayah, sebagaimana dalam sabda Rasulullah Saw, "Imam/Khalifah adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Wallahu'alam bishowab.


Share this article via

15 Shares

0 Comment